18.7.13

Tidak Beruntung

Suatu sore yang cerah ketika aku berkunjung ke rumahmu. Untuk kesekian kalinya kita berhadapan. Kuhadapi lagi keraguanmu yang aku benci terutama saat ini. Padahal, aku membutuhkan keputusanmu sekarang. Ya, atau tidak? Sudah dari sebulan lalu aku memintamu untuk memikirkan hal ini. Tapi, setiap kali kutanyakan apa keputusanmu, kamu bilang masih dipikir, lagi berpikir, sedang dipikirkan dan selalu seperti itu. Aku beri waktu kamu sebulan untuk berpikir karena aku tahu kamu adalah orang yang sudah memutuskan. Keputusan mudah saja sulit kau ambil apalagi yang susah? Memilih baju apa yang akan dipakai bisa memakan waktu satu jam. Memutuskan untuk membeli pasta gigi apa memerlukan waktu sepuluh menit. Apalagi sekarang aku meminta kamu untuk memutuskan jadi ikut atau tidak travel ke negera impian kita berdua. Sampai kapan aku harus menunggu lagi? Pernah aku mengambil keputusan sendiri, dan kau seminggu marah padaku. 

Cepat putuskan sekarang! 

Aku berkata padamu. Tapi kamu tetap diam. 

Jika kamu tidak putuskan, aku yang akan memutuskan.

Ketidaksabaranku akhirnya menelurkan ucapan itu. Kamu masih tetap diam. Perasaan kesal sudah menggunung dalam hatiku. Hampir membuncah kemarahanku karena sikapmu. Sekarang, keputusanku sedang ditunggu oleh pihak travel. Jika tidak ada keputusan, maka tiket promo ke negara yang ingin kukunjungi akan diberikan oleh orang lain. Dan aku harus menunggu keputusanmu yang entah kapan akan kudapatkan. 

Kalau kamu tidak putuskan sekarang, aku ambil keputusan sendiri. 

Aku kembali mengancammu. Apa lagi yang harus kulakukan agar kamu membuka mulutmu dan mengambil keputusan? Aku putus asa. Kamu masih tetap diam. 

Nay, kamu kan tahu, aku sungguh menginginkan pergi ke sana. Aku butuh kerjasama kamu. Kalau kamu tidak putuskan sekarang, aku akan pergi sendiri. 

Kamu masih tetap diam. Aku heran, bagaimana kamu bisa tahan dengan diammu itu. Aku sudah akan membuka mulut ketika dering telepon rumah berbunyi dari dalam. Kamu beranjak pergi. Aku tidak bisa berbuat apa-apa selain menunggu. Kuhempaskan badanku di kursi teras menunggu datangnya kamu kembali. Tiba-tiba, ponselku berbunyi. Dari biro perjalanan. Aku celingukan ke dalam rumah tapi kamu tidak kunjung keluar. Aku angkat ponselku.

Hallo!

Mbak Kara?

Iya. 

Bagaimana keputusannya, Mbak. Sekarang harus diputuskan karena jika tidak saya akan menelpon orang lain.

Aku menengok lagi ke dalam rumah. Sebenarnya aku ragu. Berharap Naya segera keluar tapi harapanku sia-sia. Bagaimana ini?

Boleh tunggu sebentar, Pak?

Tidak bisa, Mbak, harus sekarang. Kalau tidak diputuskan sekarang, saya akan memberikan pada orang lain.

Tidak bisa. Oke aku putuskan sendiri.

Baiklah, Pak. Saya ambil satu tempat. 

Oke, Mbak.

Hubungan terputus. Aku siap dengan segala resikonya. Aku hembuskan napasku. Kususun kata-kata untuk Naya. Naya keluar saat aku sedang memikirkan apa ucapan yang pantas kutujukan untuk Naya. Aku berdiri. Naya hendak membuka mulutnya untuk berbicara dan aku langsung memotongnya.

Nay, aku dulu yang mau bicara. Aku sudah memberikan keputusan pada biro perjalanan bahwa aku jadi memesan tiket. Tapi hanya satu. Maaf, Nay. Kamu masih ragu jadi tidak kupesankan. Aku tidak mau kehilangan kesempatan ini. Sekarang, apa yang mau kamu katakan?

Aku akhirnya memberikan kesempatan pada Naya untuk bicara. Naya menatapku dengan tatapan getir.

Kemarin, aku mendapat doorprize. Tiket ke Korea, negara yang ingin kita datangi bersama-sama. Pulang-pergi. Gratis. Aku masih berpikir-pikir siapa yang akan pergi bersamaku. Tadi aku mendapat telepon dari keluargaku. Tidak ada yang bisa pergi bersamaku. Jadi, aku memutuskan untuk mengajakmu. Tapi, kamu sudah memutus sendiri. 

Aku jatuh terduduk di kursi teras. Kuambil ponselku. Ku-dial nomor telepon biro perjalanan yang tadi menghubungiku. Aku ingin membatalkan keputusanku. 

#ngabubuwrite, keraguan

No comments:

Post a Comment