26.8.13

GagasCeria Special Weeks (GSW) - SD GagasCeria Bandung: Belajar, Pengalaman Langsung, Kontribusi Terhadap Lingkungan, & 7 Habits

Salah satu pepatah Cina mengatakan:

I hear and I forget
I see and I remember
I do and I understand

Untuk mengajarkan pada anak, memang dibutuhkan multi gaya belajar. Tidak hanya diberikan melalui bicara dan anak mendengar (auditori) atau melihat (visual), anak-anak juga perlu diajak untuk melakukannya (kinestetik). Diharapkan, dengan anak ikut melakukan, anak akan lebih ingat dengan apa yang dilakukannya.

Teknologi yang semakin modern, tempat main fisik yang berkurang, tidak sedikit membuat anak-anak akhirnya lebih banyak melakukan kegiatan yang bersifat soliter. Gadget, dengan kemudahan untuk mendapatkannya, cenderung dipilih anak-anak untuk bermain. Mengajak anak-anak dalam suatu tindakan nyata merupakan suatu bentuk pembelajaran yang memberikan pengalaman langsung dan terjadi interaksi sosial yang nyata yang tidak didapatkan ketika anak-anak memainkan gadget-nya. 

GagasCeria Special Weeks atau biasa disingkat GSW merupakan kegiatan rutin di SD GagasCeria Bandung pada setiap akhir semester sesudah ulangan akhir semester. Salah satu visi SD GagasCeria adalah memberikan kontribusi bermakna bagi Indonesia. Untuk mewujudkan visi ini, serangkaian kegiatan dilakukan untuk memberikan pengalaman aksi di dalam masyarakat melalui kegiatan GSW. Pengalaman langsung ini diharapkan dapat terus diingat oleh anak-anak dan dapat diaplikasikan pada masa-masa yang akan datang. 

GSW, menitikberatkan pada pengembangan keterampilan (skills) yang tidak bisa diajarkan dalam mata pelajaran. Pengembangan keterampilan ini tercakup dalam suatu tema yang berbeda pada semester satu dan dua.

Semester satu menekankan pada pengembangan practical life skills untuk kelas satu sampai dengan kelas tiga, dan entrepreneurship untuk kelas empat sampai dengan kelas enam. Semester dua menitikberatkan pada social service untuk kelas satu sampai dengan kelas lima. Kenapa kelas enam tidak ikut? Karena pada GSW semester dua, kelas enam sudah melakukan ujian nasional sehingga mereka sedang mempersiapkan diri untuk memasuki jenjang Sekolah Menengah Pertama. Tujuan tema social service ini adalah supaya kepekaan terhadap lingkungan menjadi terasah. 

Practical Life Skills
Pengembangan practical life skills ini bertujuan agar anak-anak belajar mandiri dan bertanggung jawab mengurus dirinya serta dapat melakukan tugas-tugas kerumahtanggaan sesuai dengan tahapan perkembangan usianya. Anak-anak belajar keterampilan yang dapat digunakan dalam keseharian seperti memasang tali sepatu, memakai baju, mandi, mencuci rambut, memotong kuku, mencuci, menyeterika, menjahit, menyiapkan diri sebelum sekolah, menyiapkan sarapan, dan lain-lain.

Entrepreneurship
Anak memperoleh pengalaman dalam menemukan peluang-peluang gagasan atau karya kreatif hingga dapat menghasilkan nilai tambah atau manfaat bagi diri dan lingkungan. Anak diajak untuk mewujudkan ide atau mimpi menjadi rencana atau proyek nyata. Anak belajar mencipta, mengambil keputusan, memiliki keberanian dalam mengambil risiko, bekerjasama, memotivasi diri dan tim, bertanggung jawab dengan keputusan yang diambil. 
Beberapa kegiatan yang pernah dilakukan dalam rangka belajar kewirausahaan adalah anak belajar membuat perencanaan kegiatan untuk lelang, berjualan makanan dan hasil kerajinan tangan, melakukan kegiatan hiburan. Semua ini dilakukan dengan tujuan untuk mengumpulkan dana pada kegiatan social service di semester dua atau membantu korban bencana alam.

Entrepreneruship: Lelang Karya


Proses seleksi karya yang akan dilelang. Juri terdiri dari guru dan perwakilan orangtua,
presentasi karya oleh anak kelas 6 dan proses lelang karya. 

Ini lho.. karya-karya yang lolos seleksi untuk lelang. Keren, kan?
Karya anak-anak kelas 5 dan 6 SD GagasCeria Bandung.

Entrepreneurship: Pameran dan penampilan untuk penggalangan dana sosial


Ini lho, karya-karya yang dipamerkan.
Kerajinan tangan (gantungan kunci, jepit rambut, kantong flanel, bros, dll) dan lukisan.
Pameran
Gerai-gerai untuk menggalang dana. Ada gerai makanan, kerajinan tangan, pembatas buku, dan gambar. Semuanya hasil karya  anak-anak kelas 4 - 6 SD GagasCeria Bandung. Semuanya habis terjual kecuali lukisan karena lukisan tidak dijual.

Penampilan dari kelas 4 dan 6 SD GagasCeria Bandung
Salah satu bentuk aksi untuk penggalangan dana

Social service
Kegiatan social service ini bertujuan untuk mengasah kepekaan anak terhadap lingkungan sekitar. Kegiatan-kegiatan yang pernah dilakukan antara lain: membantu perpustakaan, membersihkan lingkungan sekolah, melakukan pemilahan sampah, membersihkan taman umum, mengecat pagar taman umum, memberikan sumbangan pada lingkungan sekitar sekolah, bermain bersama siswa sekolah lain, dan lain-lain.

Memasak 
Kegiatan memasak pernah juga dilakukan pada tema social service. Kegiatan ini memberikan banyak pengalaman, misalnya belajar tentang bumbu masak, jenis sayuran, mengapa sayuran tidak boleh direbus dalam waktu yang lama, mengapa sayuran harus dicuci lebih dahulu, bagaimana memotong sayuran dan bahan masakan lainnya, dan juga bagaimana harus bekerja sama dengan teman, guru, dan orangtua. Oh ya, pada kegiatan memasak ini, orangtua diajak serta untuk terlibat. Mereka membantu memasak bersama anak-anak. 

Setelah memasak, hasil masakannya disumbangkan pada panti asuhan di sekitar sekolah. Banyak kejadian-kejadian unik dalam kegiatan ini. Misalnya, ada anak yang tidak mengetahui jenis masakan urap, gado-gado, dan sayur lodeh. Banyak anak yang sangat menggemari tempe goreng sehingga mereka diberi kesempatan mencicipi tempe yang baru selesai digoreng. Hmmm... menarik, kan? 


Memasak
Banyak yang bisa dipelajari dari kegiatan memasak. Sinergi terjalin antara anak-anak, orangtua, dan guru.

Menyerahkan hasil masakan ke panti asuhan


Membersihkan area sekitar sekolah

Bersih-bersih area sekolah


Social service di area sekitar sekolah

GagasCeria Special Weeks dan 7 Habits
GSW merupakan suatu wadah untuk mengembangkan kebiasaan-kebiasaan seorang pemimpin terutama bagi diri sendiri yang terangkum dalam 7 habits. Practical life skills melatih anak untuk memiliki kebiasaan proaktif. Be proactive berarti belajar untuk menjadi pribadi yang bertanggung jawab terhadap diri sendiri, mandiri dalam mengurus diri sendiri, dan memiliki inisiatif. 

Begin with the end in mindMembuat perencanaan untuk mencapai suatu tujuan sangat kental dalam kegiatan entrepreneurship. Ketika menentukan kegiatan apa yang akan dilakukan untuk mengumpulkan dana, di situlah anak-anak belajar untuk menentukan adanya tujuan yang akan dicapai. Selanjutnya, rencana dibuat untuk mencapai tujuan tersebut. Kegiatan social service merupakan suatu bentuk kontribusi terhadap pencapaian misi dan visi sekolah. 

GSW terdiri dari berbagai kegiatan. Hal ini mengembangkan kebiasaan memilih mana yang menjadi prioritas. Ada hal penting yang perlu dilakukan lebih dahulu, ada yang dilakukan kemudian. Ketika suatu perencanaan dibuat dan anak mengikuti rencana yang sudah dibuatnya, maka anak belajar untuk melakukan hal yang penting terlebih dahulu. Put first things first menjadi kebiasaan yang harus dilakukan

Kegiatan berkelompok akan banyak ditemui selama GSW. Ada saat berkegiatan dengan level dan kelas yang sama, level yang sama dengan kelas yang berbeda misalnya sama-sama level 1 tapi kelas A dengan kelas B, atau bahkan berkelompok campuran yang terdiri dari anak kelas 1 sampai dengan kelas 5. Hal ini memberikan pengalaman berkelompok dengan berbagai orang dengan kemampuan yang berbeda, dan usia yang berbeda. Beberapa kebiasaan (habits) seperti think win-win, seek first to understand then to be understood dan synergize akan sangat dibutuhkan


Kerja Kelompok
Ayo, belajar think win-win, seek first to understand then to be understood, dan synergize!
Kegiatan berkelompok memungkinkan terjadinya konflik. Ketika terjadi konflik dan anak berusaha untuk mencari solusi yang sama-sama menguntungkan, maka anak belajar untuk think win-win. Begitu juga ketika anak-anak menghadapi suatu pertandingan yang juga sering diadakan pada saat GSW. Belajar menerima hasil keputusan kelompok, menerima kekalahan dengan lapang dada, merayakan kemenangan dengan tidak berlebihan, adalah proses belajar untuk think win-win. Anak akan belajar untuk menerima adanya perbedaan antara keinginan diri dan orang lain lalu belajar menyeimbangkan antara keduanya. 

Seek first to understand then to be understood adalah suatu kebiasaan penting dalam berhubungan dengan orang lain. Kebiasaan untuk mendengarkan orang yang sedang mengungkapkan pendapat, ide-ide, dan perasaannya, kebiasaan menyimak dan fokus pada inti pembicaraan, tidak menyela orang yang sedang berbicara, dan mengungkapkan ide-idenya sendiri merupakan kebiasaan-kebiasaan yang dapat dilatih. Pada kegiatan berkelompok, banyak diskusi dilakukan. Hal ini memberikan kesempatan pada anak untuk belajar menerapkan kebiasaan (habit) seek first to understand then to be understood. Anak belajar berinteraksi dengan banyak orang, menghargai kelebihan orang lain, bekerja dengan anggota kelompok yang memiliki kemampuan berbeda merupakan latihan untuk bersinergi dengan orang lain. Sinergyze.  


Pertandingan
Media untuk belajar think win-win, seek first to understand then to be understood, dan synergize.
Habit yang terakhir adalah  sharpen the saw, menyeimbangkan antara raga, hati, pikiran, dan jiwa. GSW melakukan olah raga pagi, makan sayur dan buah, pertandingan olahraga, merupakan cara-cara untuk mengasah raga kita. Bermain bersama teman di sekolah ataupun dari sekolah lain sebagai salah satu kegiatan social service berarti belajar untuk mengasah hati. Belajar dari berbagai tempat untuk mengasah pikiran. Misalnya, pergi ke tempat pemilahan sampah, berkunjung ke pabrik pembuatan kaos dan sepatu, mengamati lingkungan sekitar untuk menambah wawasan anak tentang lingkungan di luar sekolah. Meluangkan waktu untuk membuat rencana dan kegiatan demi menolong orang lain dalam kegiatan entrepreneurship dan social service merupakan bentuk mengasah jiwa.


Sharpen The Saw
Mengasah raga, hati, pikiran, dan jiwa 
Semoga, dengan mengalami secara langsung, anak-anak mendapatkan pelajaran dan pengalaman berharga untuk diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Selanjutnya, kontribusi yang bermakna terhadap Indonesia diharapkan akan tetap diberikan oleh mereka sebagai penerapan dari apa yang pernah diperolehnya di GSW- GagasCeria Special Weeks.

#
Foto-foto dokumentasi GagasCeria
Daftar Pustaka: 7 Habits- Steven Covey

24.8.13

Di angka 12

Sambungan dari #cerita24jam hari-7 'Potret Bunda'
#cerpen24jam hari ke-8
#bagian 8

****

     "Tidak pernah aku membayangkannya. Ternyata begitu." 

Keluar juga perkataan dari mulutku. Ibu datang dari luar. Aku tidak meneruskan perkataanku.

     "Diminum, Nak Niko!" 
     "Iya, Tante." 

Ibu masuk.

     "Jadi, jangan menuduh orang sembarangan. Mama Kevin bukan istriku meskipun Kevin memanggilku 'Papa'." 

Sambil mengangkat minuman, Niko berkata padaku. Aku mendelik padanya. 

Apa ini? Aku mendengar ada yang bernyanyi. Nyanyian hatikukah?

Ada rasa senang di dadaku ketika mendengar ternyata Niko masih belum beristri. 

Pacar? Mungkin saja dia punya pacar.

     "Tidak usah diulang juga aku masih ingat, Nik." Aku menimpali perkataan Niko dengan sebal.
     "Sekarang tidak usah marah-marah lagi padaku. Aku kesal melihat kau baik pada Kevin, tertawa-tawa bersama sedangkan aku kau acuhkan."
     "Kamu cemburu?" Aku bertanya pada Niko.
     "Iya. Kekanak-kanakan. Masa cemburu sama Kevin." 

Jujur sekali Niko, aku berkata dalam hati.

     "Ngomong-ngomong, kenapa kamu masih memakai sepatu itu?" Niko bertanya lagi.
     "Kamu juga kenapa masih memakai sepatu butut, itu?" Aku balik bertanya.
     "Aku sering kangen kamu. Kalau aku kangen kamu, aku pakai sepatu itu."
     "Sama." Malu-malu aku 'menyamakan' pendapat dengan Niko
     "Kenapa kangen aku?"
     "Kamu kan sahabatku. Memangnya tidak boleh kangen dengan sahabat?"
     "Hanya sahabat?" Tanya Niko lagi.
     "Maksud kamu?" Aku mulai dag dig dug setelah Niko bertanya seperti itu.
     "Setelah aku kita berpisah, aku merasakan hal lain. Aku merasa kekosongan dalam diriku. Awalnya aku tidak mengerti mengapa dan apa yang membuatku begitu. Ternyata, setelah kupikir-pikir, karena tidak ada kamu. Aku berusaha mencari-cari kamu tapi ternyata tidak berhasil."

Hatiku berdesir mendengar pengakuan Niko. 

     "Kupakai sepatu itu untuk memenuhi rasa kangenku. Mungkin karena dulu kita selalu bersama-sama sehingga aku tidak merasa apa yang sebenarnya kurasakan. " 

Niko melanjutkan pengakuannya. Nyanyian di hatiku semakin jelas.

     "Sekarang giliran kamu. Jawab pertanyaanku, kenapa kamu memakai sepatu itu?" 
     "Kan tadi aku sudah menjawabnya."
     "Jawab dengan kalimat panjang, dong, Iliana! Mana Iliana yang cerewet dan banyak omong yang sering membuatku tak tahan dengan ocehannya?"
     "Ehmm... Aku juga sering kangen denganmu. Tapi aku tidak pernah berharap bertemu kamu lagi." Aku menjawab dengan suara pelan.

Niko kaget mendengar jawabanku.

     "Kenapa, Iliana? Kamu tidak mau bertemu aku lagi?" Ada nada kecewa pada suaranya.
     "Tidak, tidak! Bukan begitu. Aku takut kalau aku berharap, aku akan kecewa karena harapanku tidak terkabul. Jadi, aku hanya bisa memakai sepatu yang kita beli bersama sebagai gantinya."
     "Kenapa tidak kau cari?"
     "Hey! Aku sudah mencarimu ke mana-mana. Suruh siapa pindah tidak bilang apa-apa."

Aku menjawab pertanyaannya dengan kesal. Menyebalkan.
     "Dan kamu kaget setelah melihat Kevin."
     "Iya."
     "Lalu kamu sekarang merasa senang karena ternyata aku masih sendiri."
     "...."
     "Aku melihat itu tadi. Ingat, mata dan wajahmu bicara."
     "Kamu terlalu percaya diri."
     "Jadi, sekarang kamu mau, kuajak pergi? Kita kencan."
     "Ge-er. Kamu tidak bertanya apakah aku punya pacar atau tidak?"
     "Kamu belum punya pacar, kan? Kalau kamu punya, kenapa malam minggu kamu di rumah saja. Ponselmu tidak berdering selama kita pergi tadi malam. Seorang yang memiliki pacar setidaknya akan ditelepon atau pesan singkat. Tapi kamu tidak."
     "Tadi malam aku tidak membawa ponsel."
     "Bohong. Kamu bohong."

Iya, aku bohong. 

Sampai kapan aku akan menyembunyikan perasaanku? Oh tidak, aku tidak menyembunyikan perasaanku. Pasti Niko dapat menangkapnya dari ekspresi wajah dan mataku. Aku hanya tidak mengatakan yang sebenarnya.

     "Yuk, kita pergi sekarang. Kita pakai sepatu butut itu, yuk!" 
     "Lho, kamu kan tidak memakainya?"
     "Ada di mobil."
     "Oke."

Aku melangkah dengan ringan ke dalam rumah. Hatiku berbunga-bunga. Kudekati rak sepatu. Mataku terbelalak. Sepatu itu tidak ada di sana.

     "Bu, sepatu kets-ku mana?" Aku bertanya pada Ibu
     "Sudah Ibu buang. Kebetulan tadi ada tukang loak waktu Ibu buang sampah. Kamu ini bagaimana, sih? Katanya ikhlas mau melepasnya. Ibu kan sudah bertanya lagi padamu."

Aku lemas. Ya, betul. Aku memang sudah meminta Ibu untuk membuangnya. Aku menemui Niko dengan lunglai. Niko menatapku heran.

     "Kenapa? Ada masalah apa?"

Ya, Niko memang selalu bisa melihat ada 'sesuatu' dengan hanya melihat wajahku.

     "Sepatu itu tidak ada. Ibu tadi memberikannya pada tukang loak sewaktu membuang sampah. Tadi, waktu Ibu menyapamu. Kemarin, sepulang dari taman, aku memang membolehkan Ibu membuangnya. Ibu sudah memintanya dari dulu karena menurut Ibu, sepatu itu sudah sangat jelek sekali. Maafkan aku." 

Ada rasa penyesalan di hatiku. Niko terdiam mendengar penjelasanku. Tiba-tiba, ia tertawa terbahak-bahak.
     
     "Hahaha.. kenapa kamu melepasnya setelah pulang dari taman? Kecewa karena menganggap aku punya istri dan anak?"

Aku diam saja. Ya, waktu itu aku marah dan kecewa. Aku berkata dalam hatiku.

     "Sudahlah. Lupakan saja sepatu itu. Kita beli sesuatu yang baru. Jangan sepatu, ya. Kita beli cincin saja. Kamu tidak mau pergi kalau aku tidak mengajak istriku. Nah, sekarang aku mau mengajak istriku, eh..calon istriku. Kamu! Kamu mau kan, sekarang?"

Entahlah, apa yang ada di hatiku sekarang. Rasanya dunia bernyanyi untukku. Tak sengaja aku melirik jam tanganku. Jarum panjang dan pendeknya tepat di angka dua belas. Betul. Tepat di angka dua belas. Entah ini pertanda atau kebetulan semata. Aku ingat perkataan Ibu tentang sepatu itu setelah aku mengikhlaskan sepatu tua itu untuk dibuang. 

Alhamdulillah. Akhirnya kau lepaskan juga sepatu butut itu. Ibu sudah sebal melihatnya. Semoga jodohmu datang setelah sepatu itu pergi, Nak.

Rasanya, dunia begitu bersahabat denganku. 

                                    Tamat

Potret Bunda

Sambungan dari #cerita24jam hari-6 'Pengantar Pesan'
#cerpen24jam hari ke-7
#bagian 7

****
Niko sudah berada di depanku. Aku agak kesal karena ia datang sendiri. 

     "Yuk, pergi!" Niko 
     "Tidak. Sudah kubilang, aku tidak akan pergi kalau tidak ada istrimu."

Niko tersenyum. 

     "Baiklah. Kita di sini saja."
     "Kevin baik-baik saja?"
     "Kenapa sih, dari tadi kamu bertanya terus tentang Kevin?"
     "Sikapnya aneh."
     "Aneh kenapa?"
     "Ia seperti ingin berbicara tentang mamanya. Tapi, ia hanya bilang 'mama' dan tidak melanjutkannya. Tatapan matanya sedih."

Niko terdiam. Aku semakin heran. Ada apa sebenarnya dengan mama Kevin dan kenapa Niko saat ini pergi sendiri menemuiku. Apakah mereka berpisah?

     "Kenapa sih, kamu tertarik sekali dengan mama Kevin?"

Niko bertanya padaku. Iya, aku sendiri belum pernah benar-benar berpikir kenapa aku tertarik dengan mama Kevin. Atau karena ia istri Niko? Lalu apa hubungannya juga denganku? Kuteringat dengan pernyataanku 'tidak pernah berharap bertemu Niko'. Kalau tidak berharap, kenapa aku begini?

     "Oke, aku akan ceritakan tentang mama Kevin. Tapi, sebelum itu, aku mau bertanya dulu dan jawablah dengan jujur." 

Persyaratan apa pula itu? 

Tapi demi memenuhi rasa ingin tahuku, aku menyetujuinya.

     "Oke." Jawabku dengan setengah hati.
     "Pertama, waktu di taman. Kamu berubah ekspresi setelah Kevin datang dan memanggilku 'Papa'. Kenapa?"
     "Berubah ekspresi?"
     "Tidak. Aku biasa-biasa saja." Tentu saja aku berbohong.
     "Aku sahabatmu. Aku tahu bagaimana ekspresi wajahmu kalau suasana hatimu berubah. Aku belum lupa."

Kenapa pertanyaan Niko bukan seperti Niko sahabatku, tapi seperti seorang penyidik yang sedang menginterogasiku?

     "Aku kaget ternyata kamu sudah punya Kevin?"
     "Kenapa kaget? Bukannya kamu seharusnya senang karena sahabatmu sudah punya anak?"
     "Aku tidak tahu." Ini jujur. Sejujurnya aku tidak tahu kenapa aku bukannya senang tapi kaget yang tidak senang.
     "Kenapa tadi malam kamu marah padaku?"
     "Jelas aku kesal. Pertama, kamu menggunakan rahasiaku untuk mengancamku agar aku ikut denganmu. Kedua, aku pergi dengan suami orang dan anaknya. Aku tidak enak pada istrimu. Sebagai seorang suami, tidakkah lebih baik kalau kamu pergi dengan istrimu daripada denganku?"

Niko tersenyum. 

     "Bagaimana kamu bisa menyimpulkan kalau aku sudah punya istri?"

Pertanyaan macam apa itu?

     "Lho, ada Kevin, kan?"
     "Memangnya aku pernah mengatakan kalau aku sudah punya anak dan istri?"

Aku makin bingung dengan pertanyaan Niko? Lalu Kevin? Bukankah Kevin memanggilnya 'Papa'? Sebodoh itukah aku?

     "Kamu cemburu, ya?" 

Pertanyaan to the point dari Niko mengagetkanku. Tiba-tiba Ibu datang dengan membawa kantong plastik besar. Mungkin hasil beres-beres di dapur. Kehadiran Ibu menyelamatku dari pertanyaan Niko dan membuat Niko tidak melanjutkan mendesakku.

     "Na, minumannya mana?"
     "Oh, iya. Tunggu, ya, Nik." 

Kesempatan. Ini kesempatan untuk memikirkan jawabannya. Niko menatapku sebal. Aku pergi ke dalam rumah dan datang lagi beberapa lama kemudian. Aku sengaja memperlama membuat minuman. 

     "Kamu melarikan diri?" Niko berkata pelan padaku saat aku datang lagi. "Jadi jawab pertanyaanku sekarang. Kamu cemburu?"
     "Cemburu pada siapa?"
     "Cemburu pada orang yang kamu sebut sebagai mama Kevin atau istriku, yang sering kau sebut-sebut, yang membuatmu marah padaku tadi malam karena aku tidak mengajaknya, yang membuatmu tidak mau kuajak pergi sekarang karena aku tidak membawa istriku."

Aku diam saja. Kulihat Niko. Ia sepertinya hendak bicara lagi. Mulutnya mulai terbuka.
     
     "Itulah yang dari dulu tidak aku suka dari dirimu. Kamu sering mengambil kesimpulan sendiri. Dari mana kamu tahu aku sudah beristri? Dari mana kamu tahu kalau mama Kevin adalah istriku? Hanya karena Kevin memanggilku 'Papa' kamu langsung mengambil kesimpulan sendiri. Pernahkah kamu bertanya padaku secara langsung? Tidak, kan?" Ada nada kesal pada suaranya.

Oh Tuhan, apakah Niko sedang memarahi aku saat ini? Jadi kesimpulannya?

     "Oke, aku tanya kamu, apakah kamu sudah punya istri?" Aku bertanya pada Niko.
     "Belum. Aku belum beristri."

Aku kaget. Kenapa akhir-akhir ini aku sering terkaget-kaget jika sedang bersama Niko? Lalu Kevin? Niko meneruskan perkataannya.

     "Kaget? Makanya, jangan membuat kesimpulan sendiri tanpa bukti.Itulah mengapa aku tidak segan mengajakmu pergi. Aku tidak takut istriku marah, aku tidak takut meneleponmu malam-malam, aku ingin kita pergi berdua. Itu karena aku belum beristri. Jelas?"
     "Tanpa bukti? Kevin adalah buktinya." Aku ngotot membela diri.
     "Karena memanggilku 'Papa''?"

Aku diam. Katanya diam tanda setuju.

     "Kevin. Tiga tahun lalu, aku menemukannya menangis di pinggir jalan. Aku tidak melihat ada orangtua di sekitarnya. Ketika kutanya, ia kehilangan mamanya. Katanya, mamanya akan mengajaknya ke taman bermain. Lalu mamanya berkata mau ke kamar mandi. Mana ada kamar mandi di tengah-tengah jalan yang tanpa bangunan di sekitarnya? Awalnya, aku kira itu kejahatan. Banyaknya isu tentang kejahatan yang menggunakan anak menangis sempat membuatku curiga. Namun, hati kecilku tidak bisa membiarkan anak itu menangis. Kudekati dirinya. Ia mengatakan bahwa namanya adalah Kevin. Tapi ia tidak dapat menjelaskan siapa orangtua dan alamatnya. Kevin bercerita bahwa tadi ia pergi dengan mamanya naik angkutan umum lalu turun di tempat ia ditemukan menangis. Tidak ada identitas yang ditinggalkan pada Kevin. Kubawa Kevin ke kantor polisi terdekat. Tapi aku tidak tega meninggalkannya di sana. Akhirnya aku bawa pulang ke rumah. Aku tinggalkan nomor ponselku di kantor polisi kalau-kalau ada yang mencari. Namun, sampai sekarang, tiga tahun setelahnya, tidak pernah ada yang mencarinya. Mamaku akhirnya mengurusnya. Mamaku senang karena sejak pensiun, ia tidak memiliki kegiatan. Sejak itu, Kevin memanggilku 'Papa'. Aku tidak pernah memintanya memanggilku 'Papa' tapi aku juga tidak keberatan dengan panggilan itu. Seminggu ia terus menangis memanggil mamanya. Setiap hari aku menelepon kantor polisi untuk menanyakan perkembangan. Tapi nihil. "

Niko berhenti bicara. Aku tercenung teringat Kevin. Anak yang ceria, ramah, menyenangkan, dan sorot mata sedih ketika ia mengucapkan 'mama' sebelum ia meninggalkan rumahku tadi. Terbayang bagaimana ia begitu menuruti perkataan Ibu saat Kevin membantu memasak. Tak kukira dibalik tawa gembiranya, tersimpan kenangan yang menyedihkan dalam diri Kevin. Mulutku tercekat, tenggorokanku kering, aku merinding. Tega sekali ibunya meninggalkan Kevin.

     "Iliana, kamu tidak apa-apa?"

Suara Niko membuyarkan bayangan tentang 'potret bunda' yang dimiliki Kevin. Aku memandang Niko. Entah bagaimana ekspresiku saat itu. Niko pasti bisa menangkapnya. Seperti biasa. 

                                                          ***
....bersambung

Pengantar Pesan

Sambungan dari #cerita24jam hari-5 'Menulis Takdir'

#cerpen24jam hari ke-6
#bagian 6

****

  "Iliana, besok aku jemput jam 11, ya. Tidak. Kita pergi berdua saja. Sampai ketemu besok."

Kalimat sepihak dari Niko masih terngiang di telingaku. Aku benci kalau Niko sudah bersikap otoriter begitu. Kalau saja aku tidak ingat dengan resolusi yang baru kutulis, rasanya mulutku sudah siap melontarkan segala kekesalan yang kuterima karena Niko. Pergi berdua saja? Setelah aku pergi bersama Niko dan Kevin? Bagaimana dengan istrinya? Kembali aku memikirkan istri Niko. Aku tidak ingin menjadi orang ketiga di antara mereka. 

Suara pesan masuk.

Besok jam 11 aku jemput. Kita bicara.

Aku balas.

Tidak kalau cuma berdua.

Pesan dari Niko datang lagi.

Aku akan datang. Jangan coba-coba kabur.

Kubiarkan pesan itu tak kubalas. Jam sudah menunjukkan pukul 23.11. Aku tekan tombol power ponselku. Niko gila!. Aku mau tidur. Ngantuk!

                                                            ***

     "Iliana, benar sepatunya boleh dibuang?" Ibu menanyaiku sekali lagi.
     "Absolutely yes, Ibu."
     "Oke, jangan menyesal nanti. Jangan salahkan Ibu, ya.
      "Tidak akan, Bu."

Aku masih meyakinkan Ibu ketika ada suara anak kecil mengucapkan salam. Setelah kujawab, aku menuju ke pintu depan.

     "Kevin!" Aku berseru karena terkejut melihat anak yang memberi salam ternyata Kevin.
"Ada apa, Kev?"
     "Ada pesan dari Papa. Katanya jam 11.00 Papa mau jemput. Mau ke mana, Tante? Aku kok nggak boleh ikut sama Papa?"

Aku diam, berpikir mau menjawab apa. 
     
     "Ehmm... ada yang harus Tante bicarakan dengan Papa. Mamamu ikut, kan?"

Kevin diam. Ia kemudian mengangkat bahunya.

     "Tante, Tante punya mama?" 
     "Ada di dalam."
     "Aku mau kenalan. Boleh?"
     "Boleh. Yuk, ke dalam!"

Kevin mengikutiku ke dalam rumah. Sambil berjalan, sekilas aku melirik jam dinding. 8.32. Masih beberapa jam lagi menuju pukul 11.00.

Aku mengenalkan Kevin pada Ibu. Ibu senang dengan adanya Kevin. Tentu saja karena Ibu bisa bercerita tentang masa kecilnya yang sudah ratusan kali kudengar. Dulu, Ibu, bla..bla..bla... Cerita yang sama, yang sekarang kuhindari karena sudah hapal di luar kepala. Kevin menanggapi cerita Ibu dengan antusias.

     "Lalu, Oma pergi ke dalam hutan? Ketemu harimau nggak, Oma?"
     "Untungnya tidak. Oma bertemu gajah."

Oh.. Rupanya Ibu sedang menceritakan pengalamannya tersesat di hutan saat berkemah. Cerita ini pun sudah sering kudengar. Aku biarkan mereka berdua berinteraksi. Aku mau mandi saja. Apakah Niko mengetahui Kevin ke sini? Ah..tentu saja, Kevin ke sini, kan untuk menyampaikan pesan padaku. Kenapa tidak melalui pesan singkat saja? Pikiranku melayang ke mana-mana.

Selesai mandi, Kevin ternyata masih berbincang-bincang dengan Ibu yang saat ini sedang memasak. Bahkan, Kevin ikut membantu Ibu. Dari raut muka Ibu, tampak beliau senang dengan adanya Kevin. Mungkin karena Ibu senang dengan anak kecil, sama seperti aku. 

     "Kevin, Papa nggak mencari Kevin?" Aku mencoba mengingatkan Kevin dengan bertanya.
     "Nggak." Kevin menjawab sambil lalu.

Jam menunjukkan pukul 10.00 ketika Kevin pamit pulang. Ibu merasa kehilangan teman bicara kecilnya dan meminta Kevin datang lagi di lain waktu. Sebenarnya, Ibu meminta Kevin pulang sesudah makan siang, namun Kevin mengatakan kalau ia harus pulang. Aku mengantar Kevin ke depan. Aku heran dengan Kevin yang cerewet sekarang berubah menjadi pendiam.

     "Kevin masih ingin di sini? Kalau begitu, pulangnya nanti saja, biar Tante bilang papa Kevin."

Kevin menggeleng. Matanya sayu.

     "Kasihan Oma di rumah sendiri. Sebentar lagi, Papa mau pergi dengan Tante, kan?"
     "Kenapa Kevin tiba-tiba sedih?"
     "Kevin senang main di sini, Kevin juga sayang sama Oma."
     "Kevin bisa main-main lagi ke sini lain waktu."


Kevin mengangguk. 

     "Mama..."

Kevin tidak melanjutkan perkataannya. Sorot matanya dan ekspresi wajahnya sedih. Pesan apa yang ingin disampaikan Kevin padaku? Aku tidak mengerti. Kutatap Kevin yang mulai meninggalkan halaman rumah setelah mengucapkan salam dengan perasaan khawatir. Ada apa dengan anak itu?

Kutelepon Niko.

     "Ada apa, Iliana? Aku nanti ke sana. Tenang saja." 

Ge-er! Aku mengumpat dalam hati.

     "Aku tidak mengingatkan janji jam 11.00, Niko. Aku mau menanyakan Kevin. Kevin sudah pulang?" 

     "Sudah."
     "Dia baik-baik saja?"
     "Kenapa memangnya? Tampak sedih, sih, tapi dia akan baik-baik saja. Aku pergi sekarang, ya."
     "Aku tidak mau pergi kalau istrimu tidak ikut."

Kututup telepon tanpa memberikan kesempatan pada Niko untuk bicara. Memangnya Niko saja yang bisa seperti itu? Aku mulai bersiap-siap meskipun belum yakin apakah aku jadi pergi dengan Niko atau tidak. Tiba-tiba, ingatanku melayang pada ekspresi wajah Kevin saat ia mengucapkan 'mama'. Aku masih belum bisa menangkap pesan apa yang ingin disampaikan Kevin saat ia mengucapkan kata itu. Akan kutanyakan pada Niko.

                                                             ***

...bersambung

18.8.13

Menulis Takdir

#cerpen24jam hari ke-5
#bagian 5

****
Aku melambaikan tangan dan tersenyum pada Kevin.

     "Tante, nanti kita main bersama, ya." Kevin berkata kepadaku.

Aku hanya tersenyum tanpa membalas perkataan Kevin. Aku tidak mau membuat harapan palsu padanya. Tiba-tiba, Kevin berbicara pada Niko lalu membuka pintu mobil. Ia lalu menghampiri aku. Kevin memberi tanda agar aku menunduk. Aku menurutinya. Kevin membisikkan sesuatu di telingaku. Aku tertawa mendengar bisikannya. Sesudah berbisik di telingaku, Kevin mencium pipiku dan menuju pintu depan penumpang. Tak sengaja aku melihat Niko. Ia diam mengamati kami. Tidak ada senyum seperti sebelumnya. Ada apa dengannya? Masa bodo, ah, gumamku dalam hati. Mobil kemudian meninggalkanku tanpa ada kata sepatah pun dari Niko.

Ayah ada di ruang tamu. Ia menatapku saat aku masuk dan langsung bertanya padaku.

     "Kenapa tiba-tiba berubah pikiran?"
     "Aku baru ingat kalau ada yang harus aku bicarakan dengan Niko." Aku beralasan. 

Bohong, kata hatiku. Ternyata benar apa yang dikatakan orang. Sekali melakukan kebohongan, akan terus melakukan kebohongan lagi. Semoga ini kebohongan yang terakhir, kata hatiku. Kalau kamu mengatakan 'semoga' maka kamu akan melakukan kebohongan lagi, Iliana, kata otak bawah sadarku. Aku pusing!

     "Ya, sudah, masuk sana!" Suara Ayah menyadarkanku dari pertarungan dalam diriku. 

                                                      ***
Aku menuju meja di kamarku. Duduk, dan memandang dinding di depanku. Apa yang terjadi hari ini? Ratusan kali pertanyaan itu terlintas sejak pertemuanku dengan Niko di taman. Entahlah, ke mana perginya jawaban untuk pertanyaanku itu. Tiba-tiba, mataku menatap laptop. Kubuka dan kunyalakan. Kucari folder 'diary'. Folder yang berisi curahan-curahan hatiku. Sudah lama aku tidak membuat cerita dan menyimpannya dalam folder itu.

Bandung, 18 Agustus 2013

Kepada Yth, 
Tuhan Penguasa Hati dan Semesta

Ya Allah, Tuhanku. 
Ini adalah surat pertama yang kutulis untukmu. Selama ini, aku hanya bercerita secara lisan padamu. Tuhan, meskipun teknologi sudah sangat canggih, tapi tetap saja aku tidak bisa mendapatkan jawaban secara langsung dari-Mu atas pertanyaan-pertanyaanku. Memang begitulah ketentuannya, kan?

Ya, Allah yang Maha Menguasai Hati setiap manusia. 
Apa yang terjadi hari ini padaku apakah itu skenario dari-Mu? Ah..tentu saja. Engkau adalah Sang Maha Penulis Skenario yang handal. Sutradara Alam yang tidak ada tandingannya. 

Tuhan, aku bingung dengan apa yang terjadi hari ini. Aku ini orang yang aneh, ya. Kenapa hatiku suasananya naik turun dengan begitu drastisnya? Seperti seorang manic-depressive yang mudah berubah-ubah dari senang ke sedih dan sebaliknya dengan cepat. Aku bingung dengan diriku sendiri. Engkau pastilah tahu isi hatiku. Tidak pernah kutinggalkan harapan tinggi dengan berangan-angan untuk bertemu Niko, sahabatku. Aku memang sering merasa kangen dan ingin bertemu. Hanya sebatas itu, Tuhan. Tidak lantas aku memupuk harapan untuk bertemu dengannya suatu hari lagi. Aneh, kan? 

Tuhan Sang Penguasa Semesta,
Engkau sebenarnya memberikan lebih banyak dari yang kuminta. Apakah Kau bosan dengan aku yang begitu menyayangi sepatu itu sebagai pengganti Niko? Apa yang Kau berikan dengan mempertemukanku dengan Niko ternyata tidaklah mudah kuterima. Memang, Niko hanya sahabatku. Aku tidak pernah berpikir lebih dari itu. Tapi kenapa begitu aku melihat kenyataan yang ada di depanku, aku jadi merasa kecewa? Kevin yang sudah menemani hidup Niko membuatku terkaget-kaget. Kevin anak yang manis, Tuhan. Aku sangat menikmati bersama Kevin. Dan merasa bersalah! Betul, Tuhan. Bagaimana aku bisa pergi dengan Niko dan Kevin? Kenapa mama Kevin tidak diajak? Tuhan, aku merasa bersalah pada istri Niko. Kenapa aku yang justru pergi bersama mereka. Itu yang membuat aku marah pada Niko, Tuhan.

Tuhan Yang Maha Tahu,
Engkau pasti mempunyai jawaban atas pertanyaan-pertanyaanku. Siapa istri Niko? Apakah ia wanita yang menyenangkan seperti Kevin? Kapan Niko menikah? Kemanakah ia? Tuhan, aku tidak tahu apa-apa tentang istri Niko. Ah..tentu saja karena aku dan Niko belum pernah membicarakannya, kan? Kenyataan bahwa Niko sudah mempunyai anak saja membuat aku kaget. Dan kecewa? Hmm.. mungkin. Ngomong-ngomong, kenapa aku juga harus kecewa? Aku saja tidak berharap bertemu Niko, jadi ketika aku bertemu Niko dan mengetahui kenyataan bahwa ia memiliki Kevin mengapa aku harus kecewa? Oh Tuhan, aku baru sadar bahwa aku begitu kekanak-kanakan. 

Tuhan Yang Maha Mengetahui Isi Hatiku.
Baiklah, aku akan membuat refleksi dari kejadian hari ini.
1. Niko adalah sahabatku. Aku tidak pernah berharap akan bertemu dia lagi. Memakai sepatu yang kami beli bersama-sama sudah merupakah obat kangen yang luar biasa. Jadi, ketika Engkau mempertemukan dengannya, aku harus menerima apapun kenyataan yang terjadi. Bertemu kembali dengannya kuanggap bonus dari-Mu.

2. Niko ternyata memiliki Kevin, Kevin anak yang baik, manis, sopan, dan menyenangkan. Seharusnya aku ikut senang dengan berkah yang dimiliki Niko dan istrinya. 

3. Suasana hati yang turun naik adalah respon terhadap kekagetanku bertemu Niko dan ketidaksiapan menghadapi kenyataan bahwa ia sudah berkeluarga. Aku tidak seharusnya bertindak seperti itu. Baca kembali refleksi nomor 1.

4. Aku kesal dengan Niko yang mengajakku pergi karena aku teringat dengan istrinya. Bagaimana ia bisa mengajak aku tanpa mengajak istrinya. Jelas saja aku merasa tidak enak dengan istrinya. Itu yang membuatku kesal. Oke, berarti aku harus mengenal istrinya. Aku akan bilang pada Niko untuk bahwa aku memang kesal padanya dan aku harap dapat mengenal istrinya. 

5. Ini bukan refleksi Tuhan, ini hanya pertanyaan, kenapa Niko tidak pernah menyinggung tentang istrinya? Apakah ia sudah bercerai? Kevin juga tidak pernah sekalipun menyinggung mamanya. Aneh, ya. Kenapa Niko berkata kalau ia kangen padaku? Apakah sama dengan kangen yang kurasakan? Nanti aku tanyakan padanya.

Baiklah, Tuhan. 
Lima nomor sudah kutuliskan. Aku akan menjalankan apa yang kutuliskan di dalamnya. Maafkan aku yang bertindak tidak dewasa dengan emosiku, Tuhan. 
Tuhan, menulis surat ini, rasanya seperti aku sedang menuliskan takdir-Mu. Bagaimana selanjutnya? Takdir apa yang akan kau tetapkan jika aku mengikuti empat ketentuan yang kutuliskan? Tuhan, aku menunggu Engkau menjawab pertanyaan seperti yang kutuliskan dalam nomor lima. Terima kasih, ya, Allah, atas semua ini. Terima kasih karena aku sudah belajar dari kejadian hari ini.

Aku, 
Iliana yang mulai menerima kenyataan.


Kutekan tombol 'simpan', kututup program words, dan kumatikan komputer. Aku merasa lega. Tiba-tiba ponselku berbunyi. Niko! Aku tersenyum dan mengatakan 'Hai, Niko!' dengan suara yang ceria.

                                                              ***
Aku heran mendengar suara ceria Ilana. Ternyata suasana hati Iliana yang mudah berubah-ubah masih ada. Tadi ia cemberut terus padaku. Sebal rasanya melihat ia bersikap manis yang natural pada Kevin tapi tidak padaku. Sekarang ia terdengar ceria. 

     "Iliana, kita harus bicara."
     "Oke. Kapan? Oh ya, lain kali jangan telepon aku selarut ini. Aku tidak enak dengan istrimu. Satu lagi, aku mau kenal dengan istrimu. Nanti ajak istrimu juga, ya. Jadi, kapan kita ketemu?"

Aku bengong mendengar perkataan Iliana yang agak panjang dalam satu kesempatan. Istri? Mengajak istriku? Aku diam berpikir. Kutepuk kepalaku. Bodohnya aku! Rasanya aku tahu kenapa Iliana kesal padaku.

     "Iliana, besok aku jemput jam 11, ya. Tidak. Kita pergi berdua saja. Sampai ketemu besok."

Kututup telepon. Rasakan, Iliana! Aku tersenyum dan mematikan lampu kamar. Aku ingin cepat-cepat tidur sebelum Kevin datang dan menggangguku. Malam ini aku ingin tidur sendiri. Tanpa Kevin!

....bersambung

16.8.13

Tiga Senjata

Aku bingung apa yang harus kulakukan. Belum sempat aku berpikir, Kevin dan Niko sudah 'mendarat' di rumahku. Ayah masih tertawa terbahak-bahak. Kevin juga. Niko tersenyum. Ia menoleh ketika kepalaku 'nongol' di pintu.

     "Eh, Iliana. Yuk, pergi!"
     "Aku kan belum bilang mau atau tidak." Aku mencari-cari alasan.
     "Ayolah! Kamu pasti mau."
     "PD amat,kamu, Nik." 
     "Ayolah, Tante. Kevin sudah bosan diam di rumah terus. Teman-teman di sekitar rumah belum Kevin kenal. Papa pulang malam. Ayo, sekarang temani Kevin dan Papa jalan-jalan." Kevin ikut-ikutan bicara. Heran, kenapa bukan mengajak mamanya saja?

Ayah melihat ke arahku. Aku memberi tanda pada Ayah. Tanda tangan kanan menyilang ke pundak sebelah kiri berarti 'Ayah, tolong aku, aku tidak mau'. Hanya aku dan Ayah yang mengerti. Ayah memegang telinga kirinya. Itu adalah pertanda bahwa Ayah setuju menolongku. 

     "Nak Niko, Iliana sebenarnya ada janji sama Om." Ayah memberikan alasan pada Niko. Alasan pura-pura. Penjelasan pada Ayah, itu urusan nanti.
     "Wah..sayang sekali. Padahal saya ingin mengajak Iliana ke toko barang antik. Siapa tahu di sana kami menemukan barang-barang bagus. Ah..atau mungkin kita akan menemukan patung naga kecil yang dulu pe..." 

Belum selesai bicara, aku sudah memotong perkataan Niko.

     "Oke. Aku ikut. Ganti baju dulu, ya." 

Oh.. tidak! Niko mengungkit tentang patung naga. Harus segera kuhentikan sebelum Ayah mengetahuinya. Kalau tidak, jangan harap aku akan bisa melewati malam ini dengan selamat dari cengkeraman Ayah. Kulihat senyum kemenangan Niko sebelum aku bergegas ke dalam.

                                                              ***

Aha! Aku tahu rahasiamu, Iliana. Hati-hati. Satu senjata sudah kukeluarkan. Aku tahu arti kode tangan bersilang itu. Aku masih ingat dulu kamu pernah bercerita padaku tentang kode itu. Apa sih yang kamu sembunyikan dariku? Patung naga kecil. Patung naga kecil adalah senjata pertamaku. Patung kesayangan ayahmu yang pecah karena kau main bola di dalam rumah. Tapi, kau bilang pada ayahmu bahwa kucing liar telah masuk ke dalam rumah dan menyenggolnya. Jelas kamu berbohong, Iliana. Aku ada di sana waktu itu. Melihat reaksimu tadi, aku yakin, kau belum mengatakan kejadian yang sebenarnya pada ayahmu. 

Yang menjadi pertanyaanku, kenapa Iliana seakan enggan pergi denganku? Aku belum mengerti. Nanti akan kutanyakan padanya.

     "Yuk! Kita pergi sekarang." Iliana keluar dari dalam rumah. 

Rambut Iliana yang tadi terikat sekarang tergerai. Pakaiannya sudah diganti. Ah..Iliana, kau masih cantik seperti dulu. Iliana mencium ayahnya untuk berpamitan. Dasar, Iliana. Masa ia tidak malu sudah sebesar ini masih mencium ayahnya? Iliana memang penyayang. Hal itu terlihat dari bagaimana ia memperlakukan keluarga, sahabat, dan barang-barang kesayangannya. Ternyata sifat penyayangnya masih kuat tertanam dalam dirinya. Syukurlah. Aku tidak tahu kenapa aku merasa lega dan gembira mengingat hal itu. 

     "Pergi dulu, Om." Aku pamit pada ayah Iliana
     "Hati-hati, Nak Niko. Jangan pulang terlalu malam." Pesan ayah Iliana.
     "Baik, Pak. Kev, salim dulu." Aku berkata pada Kevin. Kevin menyalami ayah Iliana.

                                                                ***

     "Kamu jahat!" Aku memarahi Niko. Mukaku berubah.
     "Kenapa?" Niko bertanya dengan cueknya.
     "Kenapa kau ungkit-ungkit masalah patung naga?"
     "Karena aku tahu kamu berbohong. Kode tangan menyilang itu aku masih ingat artinya. Kenapa kau tidak mau pergi denganku?"
     "Dengan kami, Papa. Ada aku di sini." Kevin tiba-tiba unjuk bicara.
     "Iya, kenapa tidak mau pergi dengan kami?" Niko meralatnya.
     "Sudahlah, Papa dan Tante Iliana jangan bertengkar." Kevin menengahi 'pertengkaran' kami. 

Aku tidak tahu apakah aku harus tertawa, kagum, atau kesal pada anak kecil yang sok dewasa ini. Iliana, kenapa kamu marah-marah pada Kevin? Ia kan tidak bersalah, bisik hati kecilku. Maafkan aku, Kevin. Aku tidak bermaksud marah padamu, aku masih berkata dalam hati.

Mobil Niko memasuki pusat perbelanjaan yang terbesar di kota ini. Aku melirik Niko. 
     "Pembohong!" Aku berkata pada Niko
     "Kau pikir kita akan benar-benar ke toko barang antik? Tidak yang buka pada jam sekarang." Niko beralasan. 

Setelah mendapatkan parkir, aku keluar cepat-cepat. Kutinggalkan Niko dan Kevin. Kami bersama kembali di depan pintu lift. Kevin memegang tanganku.

     "Tante, maafkan Papa. Tante jangan marah, ya." Kevin menengadahkan kepalanya menatapku.

Aku menatap Kevin. Mata bening tak berdosa. Apakah itu cairan bening yang menutupi kelopak matanya? Oh Tuhan, kenapa anak ini yang meminta maaf? Aku mengutuk Niko dalam hati. Kenapa kekesalanku pada Niko kulampiaskan pada anak ini? Aku memegang tangan Kevin.

     "Kevin, itu urusan Tante dan Papamu yang harus diselesaikan oleh kami berdua. Kevin tidak perlu khawatir. Nanti akan kami selesaikan. Sekarang, kita bersenang-senang saja. Ok?"

Aku menenangkan Kevin. Tanganku masih menggenggam tangan Kevin. Aku tersenyum dan Kevin juga. Kami bergandengan. Tanpa sengaja, mataku melihat ke arah Niko. Ia tersenyum. Senyumku kutarik begitu aku melihat senyum Niko. Seorang perempuan muda memerhatikan kami. Apakah ia pikir aku dan Niko adalah pasangan yang sedang bertengkar? Sialan! Ini gara-gara Niko. Pintu lift terbuka. Aku masuk bersama Kevin. Niko menyusul kemudian. Aku mengacuhkannya.

                                                                      ***

Sebenarnya, aku tidak pernah 'menggunakan' Kevin sebagai senjata kedua. Aku tahu, Iliana sangat menyukai anak kecil. Ia akan mudah luluh pada anak-anak dan entah kenapa, banyak anak-anak cepat akrab dengannya. Ia seperti memiliki magnet bagi anak-anak. Termasuk Kevin. Sejak pertemuan Iliana dan Kevin tadi pagi, Kevin terus memintaku untuk mengajaknya bermain ke rumah Tante Iliana. Ia baru berhenti merengek ketika kubilang 'oke'.

Tidak enak juga rasanya pergi dalam suasana seperti ini. Iliana marah dengan caraku. Kevin yang tidak bersalah menjadi terseret-seret. Tapi syukurlah, tampaknya mereka berdua sudah 'akur'. Orang di sebelahku sering menatap kami. Mungkin ia berpikir kalau aku duda satu anak dan Ilana adalah pacarku. Masa bodo dengan pendapat orang lain. Aku cukup senang melihat mereka berdua sudah berdamai. Tidak apa-apa Iliana marah padaku, asal jangan pada Kevin. Anak itu segalanya buatku. Aku menyayanginya. 

                                                            ***
Kevin ternyata anak yang manis dan menyenangkan. Kami cepat akrab. Di toko buku, kami memiliki minat topik yang sama. Pembicaraan kami jadi berlanjut panjang lebar tentang topik itu. 

     "Pa, aku lapar." Kevin berkata pada Niko
     "Oke, kita makan, tapi sekarang Papa yang menentukan kita makan di mana. Oke?"
     "Oke." 

Aku belum bicara pada Niko. Niko pun tidak berusaha membuka pembicaraan denganku. Ia hanya mengikuti kami berdua. Niko berkeliling mencari makanan apa yang diinginkan sedangkan aku dan Kevin duduk. Niko kemudian datang sambil membawa nomor pemesanan. Aku melirik nama yang tercantum dalam nomor pemesanan itu. Aku terkejut membaca nama tempat makan di mana Niko memesan makanan.

Seorang pramusaji datang membawa pesanan Niko. Kangkung cah jamur, cumi asam manis, dan sapo tahu. Semuanya makanan kesukaanku. Kutatap Niko dengan wajah sebal. Ia masih ingat makanan kesukaanku. Tapi jangan harap aku akan luluh dari amarah dengan adanya makanan ini. Aku tidak mudah 'disuap' dengan makanan, Niko! Lagi-lagi ia hanya tersenyum. 

     "Wow.. sudah lama aku tidak makan makanan ini, Papa. Tante, Papa ini pelit. Ia jarang memberiku makan dengan makanan yang mahal harganya. Untung Tante Iliana mau pergi. Jadi, aku bisa makan enak. Terima kasih, Tante."

Lucu, Kevin benar-benar lucu. Kenapa ia berterima kasih padaku, bukan pada papanya?

     "Kenapa Kevin berterima kasih pada Tante Iliana, bukan sama Papa? Yang beli makanan ini kan, Papa." Niko protes pada Kevin.
     "Kalau tidak ada Tante, pasti Papa akan mengajakku makan ayam goreng. Aku bosan, Papa."

Berarti Niko masih suka ayam goreng seperti dulu. Yang aku tahu, ia tidak begitu suka makanan yang ia pesan ini. Tapi kenapa ia memesannya? Sudahlah, aku tak peduli. Aku lapar. Makanan ini terlalu lezat untuk dibiarkan begitu saja. 

                                                           ***

Iliana masih suka makanan ini. Aku sempat melihat binar matanya ketika makanan ini disajikan. Aku sendiri tidak begitu menyukainya. Tapi, aku gunakan ini sebagai senjata ketigaku untuk berdamai dengan Iliana. Ia masih menatapku dengan pandangan sebal, tapi binar senang ketika menyantap makanan ini tidak hilang. Kuanggap sebagai ucapan terima kasih saja. 

Malam ini, tiga senjata sudah kukeluarkan. Senjata pertama, aku gunakan untuk 'mengancam' Iliana untuk mengikuti kemauanku dan berhasil. Namun, resiko yang harus kutanggung adalah menghadapi wajah kecut Iliana padaku. Senjata kedua, Kevin, aku tidak sengaja menggunakannya. Ternyata, senjata kedua cukup ampuh untuk menyamarkan kemarahan Iliana padaku. Aku iri pada Kevin. Senjata ketiga sengaja kukeluarkan untuk menarik perhatian Iliana dan ini pun berhasil. Untuk selanjutnya, aku akan berpikir lagi, bagaimana caranya berbaikan lagi dengan Iliana. Aku tidak mau hubunganku dengan Iliana menjadi jelek gara-gara senjata pertama yang kugunakan.


#cerpen24jam hari ke-4 (sambungan dari hari-hari sebelumnya)