23.7.13

Bintang, Air, Alam, dan Ibu

Rasta bertanya padaku mengapa aku senang memandang langit malam yang berbintang?

"Aku menemukan kedamaian setiap kali aku memandang bintang. Misterius tapi tenang. Tidak seperti ketika aku memandang matahari di ufuk barat atau timur. Merah, oranye, seperti jiwa yang tidak tentram."

Begitu aku menjawab pertanyaan Rasta, sahabatku. Ia lalu bertanya lagi, mengapa aku suka air?

"Memandang air, aku seperti menemukan ketenangan. Kadangkala air, bergejolak. Tapi air yang tenang itu mendamaikan hati. Air rasanya menyejukkan. Itulah kenapa aku suka pantai, sungai, dan air hujan."

Rasta terdiam mendengar jawabanku. Apakah ia berhenti bertanya padaku? Tidak. Ia bertanya kepadaku mengapa aku suka memandang alam.

"Alam menyadarkanku bahwa aku ini 'kecil'. Tidak ada artinya aku dibandingkan buatan penciptaku. Memandang alam memberikan kedamaian dan rasa syukur yang amat sangat. Bersyukur bahwa aku diciptakan untuk bersyukur pada penciptaku."

Aku terdiam. Aku menunggu pertanyaan selanjutnya dari Rasta. Rasta tampak berpikir. Matanya menerawang, keningnya agak berkerut, lalu matanya tiba-tiba menjadi berbinar.

"Pertanyaan terakhir," Rasta mulai bersuara. "Mengapa kamu tidak bisa jauh dari ibumu?"

Aku tersenyum. Pertanyaan itu tidak langsung kujawab. Aku berpikir sejenak. Kupandang Rasta dan berkata:

"Bau seorang ibu itu mendamaikan hatiku. Ketika aku mencium bau ibuku, aku tenang karena berarti Ibu berada tidak jauh dariku. Ketika aku sedang dilanda amarah, senyum Ibu mendamaikan amarahku. Ketika aku kesal, wajah Ibu menenangkan jiwaku. Ketika aku sedih karena masalahku, Ibu memberikan kekuatan untuk berdamai dengan masalahku."

Rasta tersenyum padaku. Ia lalu berkata, "Ya, sama seperti yang kurasakan pada saat aku bersama ibuku. Aku menemukan kedamaian bersamanya."

#ngabubuwrite, harapan

No comments:

Post a Comment