12.1.14

Palangka Raya: Dari Nyaru Menteng Sampai Jalan Batam

Palangka Raya. Sebagai ibu kota propinsi Kalimantan Tengah, Palangka Raya memiliki fasilitas cukup lengkap. Tanpa kemacetan pastinya. Taksinya ada dua jenis. Angkot yang juga disebut taksi dan taksi yang benar-benar taksi. Lucunya, angkot di Palangka Raya bebas trayek ke mana saja jika sudah jam 17.00. Jurusan angkot dibedakan dengan huruf. A, B, atau C. Paman taksi a.k.a sopir angkot menyimpan tanda di bagian atas mobil. Setelah jam 17.00, mereka akan menurunkan tanda tersebut sehingga angkot bebas melewati jalan apa pun tanpa mengikuti trayek sesuai jurusannya. Coba bayangkan kalau kejadian seperti itu di Bandung. Demo sudah pasti terjadi. Mari kita eksplorasi Palangka Raya. Yuk!
Kalimantan tak bisa dipisahkan dari sungai dan perahu.
Rumah betang, rumah adat Kalimantan
Masjid Raya Palangka Raya


Borneo Orangutan Survival Nyaru Menteng





Nyaru Menteng, di mana Borneo Orangutan Survival atau disingkat BOS berada, berjarak sekitar 28 km dari Palangka Raya. BOS adalah tempat rehabilitasi orangutan sebelum dilepasliarkan di hutan. Tujuannya adalah mempersiapkan orangutan agar memiliki kemampuan untuk bertahan hidup di dalam hutan seperti kemampuan untuk memanjat (ada batasannya berapa meter ketinggian yang harus bisa dicapai), membuat sarang sendiri, dan kemampuan lainnya. Habitat alami orangutan adalah hutan liar. Oleh karena itu, BOS Nyaru Menteng berusaha mengembalikan orangutan pada habitat alaminya. Banyaknya orangutan yang dipelihara oleh manusia berarti memisahkan anak orangutan dari induknya. Induk orangutan tidak akan melepas anaknya sampai usia 7 tahun. Selama kurun waktu tersebut, induk orangutan memberikan keterampilan-keterampilan hidup agar nanti anaknya dapat bertahan hidup di hutan. Nah, kalau ada manusia yang tidak memberikan keterampilan hidup untuk anaknya, malu dong sama orangutan. :-) Untuk memisahkan anak dari induknya, maka induk orangutan harus dibunuh. Hal inilah yang membuat jumlah orangutan semakin berkurang. Orangutan yang ada di BOS Nyaru Menteng ini sebagian besar diperoleh dari penduduk sekitar. Bahkan, jahatnya, ada orangutan yang dijadikan sebagai pekerja seks komersial. Astaghfirullah. Pelanggannya bestially, kali, ya. Bestially merupakan penyimpangan seksual karena melakukan hubungan seksual dengan binatang.

Orangutan yang sudah dipelihara oleh manusia memiliki ketergantungan terhadap manusia. Mereka kehilangan keterampilan bertahan hidup yang seharusnya diberikan oleh induknya. Oleh karena itu perlu dilatih lagi keterampilan bertahan hidup sebelum dilepaskan kembali ke hutan. Ada beberapa tahapan yang harus diikuti termasuk bersekolah di sana. Sebelum dilepasliarkan, orangutan ini di lepas di hutan percobaan. Jika lulus percobaan, barulah orangutan akan dilepas di hutan liar. Saat ini, hutan-hutan untuk melepas orangutan juga masih ditentukan.

Di BOS Nyaru Menteng ini, pengunjung tidak diperkenankan masuk ke dalam kandang. Hal ini untuk menjaga agar orangutan tidak mudah terkena penyakit-penyakit yang dibawa manusia. Orangutan rentan terhadap penyakit. Alasan lainnya adalah supaya tidak muncul lagi ketergantungan terhadap manusia. Jadi, pengunjung melihat dari suatu ruangan di mana orangutan tidak bisa melihat pengunjung tapi pengunjung bisa melihat pada orangutan.





Untuk menjaga kelestarian orangutan, orangutan dari suatu daerah tidak bisa dicampur dengan orangutan dari daerah lain. Misalnya orangutan Kalimantan Tengah tidak bisa dicampur dengan Kalimantan Selatan atau Sumatera. Ayo, kita jaga kelestarian orangutan!

Bandara Tjilik Riwut
Bandaranya lebih besar daripada bandara H. Asan Sampit. Lengang suasana di dalamnya. Beberapa toko di dalam Bandara menjual souvenir atau makanan khas Kalimantan.
       





Taman Pemuda

Taman ini terletak di tengah kota Palangka Raya. Banyak warga yang beraktivitas di dalam taman. Sekelompok anak muda sedang bermain skateboard. Sekelompok lainnya berfoto-foto, duduk-duduk, dan mengobrol di antara mereka. Keluarga-keluarga menghabiskan waktu bersama. Mereka berjalan berkeliling dan juga berfoto. Yang menarik, banyak lampu di taman itu dan terlihat indah pada malam hari. Asalkan jangan datang pada malam di kala turun hujan, kemungkinan besar lampu tidak akan dinyalakan. :-)




Taman Pemuda terletak di Jalan George Obos. Dari salah satu sudut taman, kita bisa melihat bunderan yang terdapat di tengah-tengah perempatan. Jika dicermati, setiap perempatan di Palangka Raya, di tengahnya selalu terdapat bunderan. 
Salah satu sudut taman menghadap ke bunderan perempatan.
Air Mancur dengan lampu di atasnya.

Tugu Soekarno
Tugu Soekarno merupakan tugu peringatan sebagai lambang peresmian Kota Palangka Raya. Di belakang tugu, terdapat saung-saung untuk duduk-duduk. Dari sana, kita dapat melayangkan pandangan ke arah Jembatan Kahayan, yaitu jembatan yang membelah Sungai Kahayan. Jembatan Kahayan ini merupakan salah satu ciri khas kota Palangka Raya.
Jembatan Kahayan, malam hari


Jembatan Kahayan, siang hari.



Tugu Soekarno
Jalan Batam
Mau cari oleh-oleh, Jalan Batam bisa jadi satu alternatif pilihan. Jika suka dengan batu-batuan seperti giok, kecubung, merah delima, dan lain-lain, di sini tersedia berbagai jenis dan ukuran. Kain batik Kalimantan, sarung khas, kaos juga ada. Aksesoris, tas, dompet bisa ditemukan dengan mudah. Tak ketinggalan pula makanan asli Kalimantan seperti amplang, ikan saluang, lempo, kripik kalakai. Di sini, harga bisa ditawar dan pembeli harus bisa menawar jika ingin mendapatkan harga murah. Pedagang bisa menawarkan 100% dari harga jualnya. Ada toko yang lebih murah ketika menjual makanan, ada yang lebih murah untuk kaos, ada juga yang lebih murah untuk harga aksesoris. Silakan survey dulu kalau mau mencari harga-harga murah, :-D

Dipilih..dipilih..dipilih!
Nah, begitulah cerita jalan-jalan ke Palangka Raya. Oh ya, terima kasih untuk Ririn yang sudah jadi guide dan fotografer selama di Palangka Raya. Pak Wit, terima kasih sudah diantar-antar ke mana-mana selama di Palangka Raya. Meli, foto-fotonya bermanfaat untuk dokumentasi. Terima kasih, ya. Yanti, kalau bapak humasnya nggak dikejar-kejar, mungkin kita nggak akan bisa masuk, hehehe... Thanks. Uci, sudah membuat penginapan kita menjadi lebih layak, hahaha... Sampai ketemu lagi di lain waktu. 

Iin

5.1.14

Petualangan ke Negeri Kuayan Part. 4

Tiga hari di Kuayan membuat telinga menjadi semakin terbiasa dengan obrolan tetangga berbahasa Jawa, mati lampu yang semakin kerap terjadi, dan air PAM yang mati seiring dengan matinya lampu. Bunyi walet memecah kesunyian. Knalpot motor yang sengaja dirancang agar 'meraung' sesekali terdengar. Hari keempat, perjalanan dilanjutkan ke Palangka Raya.

Satu hal yang tidak pernah ada dalam bayangan adalah ditabraknya kaki jembatan Bajarum. Awalnya, kupikir jembatannya yang runtuh. Ternyata bukan. Sabtu dini hari, satu perahu tongkang menabrak kaki jembatan. Akibatnya, kendaraan berat khususnya mobil, tidak boleh melewati jembatan. Rusaknya kaki jembatan membuat lumpuh jalur transportasi. Perjalanan ke Sampit yang biasanya tiga jam menjadi lima jam dan ke Palangka Raya yang biasanya lima jam menjadi sebelas jam. Sungguh benar-benar petualangan.

28 Desember 2013, jam 8 pagi, kami (aku dan Meli) dijemput taksi ke Sampit. Masih ingat, kan, dengan taksi? Taksi adalah sebutan untuk travel, mobil milik pribadi berplat kuning yang dijadikan alat transportasi umum antar kota. Kenapa harus ke Sampit dulu? Karena Jembatan Bajarum yang tidak bisa dilewati membuat rute perjalanan yang berubah. Jika jembatan bisa dilewati, maka kami akan berhenti di suatu daerah yang bernama Pelantaran, lalu kami ganti taksi. Karena jembatan rusak, maka, taksi tidak melewati Pelantaran sehingga kami harus ke Sampit dahulu lalu ganti travel menuju Palangka Raya. Ibaratnya dari Bandung mau ke Cirebon melalui Cikampek. Seharusnya di Cikampek ganti kendaraan tapi karena Cikampek tidak dilewati maka kami harus ke Jakarta melalui jalan lain dan ganti kendaraan dari Jakarta menuju Cirebon. Itulah mengapa perjalanan menjadi sangat lama.

Saat menuju Sampit, kami melewati jalan yang berbeda dengan saat kami datang ke Kuayan. Hujan deras tadi malam membuat jalanan tanah merah jadi becek dan ada bagian yang berlumpur. Hutan, lembah, pohon-pohon sawit di kiri kanan jalan, tanah berlumpur, bukit, membuat aku serasa sedang mengikuti offroad. Hanya saja, mobil yang dipakai bukan mobil jeep beroda khusus untuk offroad.



Dari Kuayan ke Sampit
Suatu ketika, kami akan melewati sungai kecil dengan jembatan di atasnya. Sopir taksi berkata sambil bercanda sebelum melewati jembatan, "Tutup mata." Bagaimana tidak, jembatan tersebut hanya bisa dilewati oleh satu mobil, terbuat dari papan, sudah reyot pula. Mungkin saja ada penumpang yang merasa ngeri. Alhamdulillah, kami berhasil melewati jembatan dengan selamat. 

Jembatan 'tutup mata'
Kami sampai di Sampit sekitar pukul 12-an. Lebih cepat dari saat kami berangkat dari Sampit ke Kuayan. Mungkin karena kami berjalan terus tanpa berhenti di tempat peristirahatan. Pukul 13.00 kami sudah harus berangkat dengan travel lain ke Palangka Raya. 

Setelah beristirahat sebentar untuk makan siang, kami melanjutkan perjalanan ke Palangka Raya. Yang kami ketahui, kami akan berganti mobil di Jembatan Bajarum, jembatan yang kakinya patah karena ditabrak tongkang. Beberapa kilometer dari Jembatan Bajarum, mobil-mobil sudah berderet cukup panjang. Ternyata mobil-mobil itu sedang antri menyeberang Sungai Kahayan dengan feri yang hanya ada satu-satunya. Berjam-jam sudah mobil-mobil itu menunggu di sana. 

Antrian untuk menyeberang Sungai Kahayan dengan
satu-satunya feri di sana.
Travel berhenti di belakang sebuah mobil truk. Begitu mobil berhenti, beberapa orang lain mendatangi mobil yang kami tumpangi dan menawarkan jasa ojek melewati jembatan. Sopir travel menolak. Jadi, kupikir, kami berhenti untuk menunggu mobil lain yang akan membawa kami ke Palangka Raya. Sempat terpikir juga bahwa kami akan melewati jalan lain, namun ternyata sopir mengatakan tidak ada jalan lain selain melewati jembatan. Di tengah kebingungan dengan apa yang terjadi saat itu, datanglah serombongan sepeda motor. Ternyata mereka adalah tukang ojek. Kami dikenalkan dengan sopir yang akan mengantar kami ke Palangka Raya. Ternyata oh ternyata, kami memang harus melewati jembatan dengan jasa ojek untuk sampai di seberang Jembatan Bajarum. Mobil yang menuju ke Palangka Raya diparkir di seberang jembatan. Jadilah kami semua (5 penumpang) naik ojek dengan membawa barang-barang bawaan kami (koper, ransel, rice cooker, kardus, dll) menuju seberang jembatan. Sudah selesai sampai di situ? Tidak! Berhubung banyaknya mobil yang menuju antrian, sepeda motor, dan orang berlalu-lalang, kemacetan pun tak dapat dihindarkan. Kami terpaksa turun dari ojek sebelum sampai travel  untuk mengurai kemacetan dan meneruskan dengan berjalan kaki. 


Berjalan setelah turun ojek  menuju travel

Setelah perjuangan melewati Jembatan Bajarum, akhirnya sampailah kami di mobil travel dan siap melanjutkan perjalanan yang masih cukup jauh. Untungnya, jalanan mulus. Tidak ada jalan berlubang atau rusak. Tidak ada kemacetan. Jalanan lancar dan lengang. 



Kami sampai di Palangka Raya pada pukul 18.30. Sungguh suatu perjalanan yang panjang dan melelahkan. Bagaimana tidak, kami berangkat sejak pukul 8.00 dan tiba pukul 18.30. Tapi, semuanya tergantikan oleh banyaknya pengalaman yang didapat. Tak semua orang bisa merasakannya, kan? Ditambah hiburan musik sepanjang Bajarum-Palangka Raya. Sepanjang 200 km, kami disuguhi Rhoma Irama. Rupanya Pak Sopir fansnya Bang Rhoma. Uniknya, sebelum Jembatan Bajarum sampai hotel tempat kami di Palangka Raya, jalan yang kami lalu hanya satu, Tjilik Riwut. Coba bayangkan sepanjang apa Jalan Tjilik Riwut itu? Kamu mau mencobanya?


Iin, menjelang pergantian tahun.
NB: Foto-foto dokumentasi pribadi dan Meli.

4.1.14

Petualangan ke Negeri Kuayan Part.3

Sambungan dari Part.2.

Ketika melihat perkampungan setelah dua jam melewati jalan beraspal dan tiga jam berkelana di dalam perkebunan kelapa sawit, muncul rasa lega. Penumpang pertama turun dari travel yang mereka -penduduk setempat- katakan sebagai 'taksi'. Berarti, kami sudah sampai Kuala Kuayan, kota kecamatan Mentaya Hulu yang jauhnya sekitar 150 km dari Kota Kabupaten. 

Negeri Kuayan. Begitulah Meli, teman yang saya kunjungi menyebutnya. "Memang seperti dalam dongeng, " kata Meli. "Aku sendiri kadang berpikir kenapa aku ada di sini?" lanjutnya. Tidak ada deru kendaraan berlalu lalang dengan ramai. Jalanan tak beraspal senyap. Sesekali terdengar raungan knalpot motor.

Kuayan, siang hari.

Kuayan, menjelang malam

Kuayan, malam hari

Rumah burung walet
Bunyi burung walet terdengar ramai memanggil teman-temannya untuk datang. Kadang, suara-suara burung walet itu tidak asli, tapi berasal dari kaset. Untuk apa? Untuk memancing burung walet agar datang ke sarang walet. Beberapa penduduk membangun gedung untuk burung walet bersarang. 

Di Kuayan, selain bahasa Dayak dan Bajar, bahasa Jawa pun terdengar di mana-mana. Jenis-jenis makanan seperti nasi goreng, ayam goreng, mi goreng, biasa ditemui di Kuayan. Berada di sana, seakan-akan sedang berada di Jawa. Hanya bentuk bangunan, jalan raya tak beraspal, dan situasi sepi yang menyadarkanku bahwa di sini bukan Jawa. Di sini adalah Kalimantan, dengan banyak penduduk berasal dari Jawa.

Jaring pengaman anjing liar
Bangunan khas Kalimantan banyak ditemui di Kuayan. Bangunan berdinding dan berlantai kayu, dengan puncak atap bersilang hampir ada di sepanjang jalan. Beberapa rumah memasang jaring di terasnya. Ternyata jaring ini dipasang supaya anjing liar tidak memasuki teras rumah. Ya, ternyata di Kuayan banyak terdapat anjing liar. Kata Meli, pernah ada lolongan anjing yang terdengar seperti rintihan manusia. Entah berasal dari mana anjing-anjing liar itu. Mungkin dari perkebunan sawit yang ada di sekeliling Kuayan.


Ruko, bangunan khas di Kuayan
Sebagai kota kecamatan, Kuayan dapat dikatakan cukup lengkap dalam penyediaan kebutuhan sehari-hari. Memang tidak selengkap di kota, namun setidaknya, makanan, barang kelontong, pakaian, buah-buahan, dapat diperoleh karena banyaknya ruko berderet di Kuayan. 




Puskesmas tempat bertugas Meli, merupakan salah satu bangunan berdinding dan berlantai bukan kayu. 

Puskesmas Kuala Kuayan
Mati lampu menjadi ciri khas lainnya di Kuayan. Seperti obat antibiotik yang tidak boleh lalai diminum, mati lampu serupa obat antibiotik. 'Harus' mati lampu memang tidak ada aturannya di sana, namun, mati lampu hampir setiap hari terjadi. Bisa pada pagi, siang, atau malam hari. Saking seringnya mati lampu di Kuayan, hampir semua penduduk memiliki generator/genset. Jadi, bunyi dengungan mesin generator/genset di malam hari sudah sangat biasa. Suatu kali, Kuayan kembali mati lampu. Kami (saya dan Meli) bersiap-siap akan menyalakan genset. Bahkan, Meli sudah berniat untuk mengajarkan cara menyalakan genset. Namun, ketika kami akan menyalakan genset, ternyata lampu indikator oli menyala. Olinya habis! Alhasil, malam itu, kami bergelap-gelapan dan hanya mengandalkan lampu darurat yang makin lama semakin meredup. Keadaan menjadi sedikit menyeramkan ketika Meli bercerita tentang bagaimana kerusuhan Sampit terjadi pada tahun 2003. Aku sendiri tidak ingat kenapa kami membicarakan tentang kerusuhan Sampit saat itu. Ada-ada saja! 

Lampu darurat, pertolongan pertama pada mati lampu
ketika genset pun mati.

Genset, sangat diandalkan saat mati lampu

Kalimantan tanpa sungai seperti sayur tanpa garam. Pun di Kuayan. Sungai membentang di belakang bangunan pinggir jalan. Sungai ini pernah meluap dan menimbulkan banjir di Kuayan. Masih ada lho penduduk yang menggunakan sungai ini untuk mencuci baju.

Sungai di Kuayan

Jadi, siapa yang mau bertualang ke Kuayan selain kami?

Bersambung ke Part.4

Iin

NB: 
Terima kasih atas pinjaman kameranya, Meli, hehehe.