3.4.15

SLC - Student Led Conference, Attachment, dan Reaksi Emosi

Karena agenda libur panjang ini berantakan, maka saya putuskan untuk menulis saja tentang pengalaman minggu ini. Mari!

Minggu ini, di Sekolah GagasCeria dijadwalkan sebagai minggu SLC – Student Led Conference. SLC adalah kegiatan yang mana siswa harus menjelaskan apa yang sudah dilakukannya selama kurun waktu tertentu di sekolah kepada orangtua berdasarkan catatan yang disebut Notebook Leadership. Jadi, orangtua dan siswa akan duduk berdampingan. Siswa menjelaskan, orangtua mendengarkan (dan diharapkan terjadi tanya jawab).

Sedikit cerita dari kegiatan SLC.
Seorang anak melihat teman-temannya duduk bersama orangtua sementara di sampingnya kursi masih kosong. Anak itu melihat ke belakang. Teman di belakangnya pun masih sendiri. Ia meletakkan kepalanya ke meja.  Anak itu menunduk kepalanya dan melingkarkan lengan di sekitar kepala. Tidak! Ia tidak mengatakan kalau ia sedih karena orangtuanya belum datang. Ketika ditanya, ia mengatakan sedang tidak enak badan. Suaranya pelan ketika berkata kalau ia sedang tidak enak badan. Matanya, mulai berkaca-kaca. Ia lap air matanya. Kemudian ia menengok ke belakang karena mendengar seseorang datang. Ternyata, seseorang itu duduk di belakangnya. Oh.. ternyata mama temannya. Akhirnya, mamanya datang. Raut mukanya berubah menjadi cerah melihat mamanya datang dan kemudian duduk di sampingnya.

Di lain hari.
Seorang anak duduk sendirian. Orangtuanya belum datang. Teman-temannya sudah mulai menjelaskan Notebook Leadership pada orangtuanya. Ada yang diapit mama papanya. Ada yang bercerita pada mamanya saja, atau papanya saja. Ia melihat ke arah kanan. Orangtua salah satu temannya pun belum datang, ama seperti dirinya. Mungkin anak itu merasa lega karena punya teman yang senasib dengannya. Anak itu akhirnya mau bercerita pada orang lain yang menggantikan orangtuanya. Saat ia bercerita, suaranya pelan. Hampir tidak terdengar. Meskipun ia diminta untuk mengeraskan suaranya, suaranya tetap pelan. Beberapa kali ia menoleh ke arah temannya yang tadi masih sendiri. Oh... ternyata orangtuanya sudah datang dan sudah duduk di samping temannya. Temannya terlihat senang. Ia pun meneruskan ceritanya tapi suaranya semakin mengecil. Matanya mulai memerah dan ada genangan air di sudut matanya. Dan ketika orangtuanya datang, ia menangis.

Sebelum acara dimulai, biasanya saya bertanya pada anak-anak. “Siapa yang deg-degan?” Hampir semua anak akan mengangkat tangan. Ketika saya berkata, “Sudah banyak lho, orangtua yang datang,” mereka kemudian bertanya dengan wajah polos dan rasa ingin tahu, “Mama aku udah ada? Papa aku udah ada?”  Saya senang melihat wajah-wajah sumringah mereka ketika tahu orangtuanya datang. Atau, mereka akan memberitahu temannya: “Ayah kamu udah ada, mama kamu udah datang.”

Sesudah acara, saya akan bertanya lagi. “Apa rasanya tadi?” Dengan berebut bicara, mereka menjawab “senang” atau “deg-degan”, “tegang” dan lain sebagainya. “Kenapa?” Tanya saya. Alasan mereka:
-          “Karena orangtuanya datang.”
-          “Karena orangtuanya bertanya.”
-          “Karena aku ditanya.”
-          “Aku lebih senang kalau orangtuanya banyak nanya.”

Masih ingat beberapa waktu lalu beredar di media sosial satu catatan tentang bagaimana orangtua berhutang banyak pada anak? Orangtua berhutang banyak cinta, kebahagiaan, dan waktu pada anak-anaknya. Bagaimana pun juga, bagi seorang anak, orangtua tetaplah figur penting yang sangat diharapkan kehadirannya.


Pada momen ini, saya melihat bahwa SLC kental dengan kedekatan orangtua-anak. Saya bisa melihat bagaimana orangtua berkomunikasi dengan anak. Orangtua bisa melihat bagaimana kemampuan anak dalam menjelaskan. Yang paling penting adalah bagaimana attachment terbangun saat proses SLC berlangsung. Reaksi emosi pada anak bisa terlihat dengan jelas tergambar. Senang, sedih, kecewa, gembira.  Yang paling membahagiakan bagi saya adalah saya melihat begitu banyak ekspresi gembira terpancar di wajah anak-anak ketika orangtuanya ada dan mendengarkan mereka bercerita.

Happy long weekend!