Kia
mencari-cari gantungan kunci jerapahnya. Di rumah sudah ia cari tapi tidak ketemu.
Di kantor, ia juga mencarinya. Di mana
gantungan itu? Gantungan kunci yang sudah mulai berkarat besinya. Jerapahnya
terbuat dari kain flanel yang selalu Kia cuci kalau sudah kotor. Karena terlalu
sering dicuci, warna kuningnya menjadi pudar.
“Apa yang membuat gantungan itu
penting sekali buatmu?” Tania, teman kerja Kia bertanya ketika mereka sedang
makan.
“Gantungan itu simbol penyelamatku,
Tan. Waktu aku kecil, aku tersesat di pasar malam di Solo. Aku sangat ketakutan
dan hampir menangis. Anak lelaki datang itu membantuku mencari Ayah dan Ibu. Ia
memberiku gantungan kunci jerapah yang diambil dari tasnya. Katanya, kalau aku
memegang gantungan itu, aku akan merasa tenang. Entah mengapa, akhirnya aku
memang merasa tenang. Anak lelaki itu mengajakku ke pos petugas pasar malam dan
menunggu sampai aku bertemu orangtuaku lagi. Aku menyesal karena belum sempat
menanyakan nama dan alamatnya. Gantungan itu selalu kusimpan untuk mengenangnya.
Aku berharap bisa bertemu dengannya suatu saat nanti dan mengucapkan terima
kasih.” Kia mengakhiri ceritanya.
“Mudah-mudahan kamu bertemu
dengannya. Ngomong-ngomong, kapan
kamu dan Candra menikah?” Pertanyaan Tania menghentikan gerakan Kia memotong
daging. Kia menatap Tania heran.
“Menikah? Sejak kapan aku pacaran
dengan Candra?”
“Ki, kamu boleh menyangkal ribuan
kali kalau kamu tidak pacaran dengan Candra. Tapi aku merasa kalian pasangan
yang cocok. Kalau kalian berdua tidak memiliki hubungan khusus, lalu mengapa
kalian masing-masing tidak punya pasangan?”
Tania
memang tahu banyak tentang dirinya dan Candra, kecuali cerita gantungan kunci
itu.
“Aku tidak tahu. Candra membuatku
merasa aman dan nyaman. Namun, untuk menjalin hubungan dengan Candra, tidak
pernah terlintas dalam pikiranku.”
“Kamu masih teringat dengan anak
lelaki gantungan kunci itu?”
“Iya.” Kia meneruskan makan
***
Candra dan Kia duduk di taman kota. Kia
bercerita tentang gantungan kunci jerapah yang hilang. Sejarah gantungan kunci
jerapah itu, Candra sudah mengetahuinya sejak dulu.
“Mengapa kamu selalu menunggu anak
itu?” Candra bertanya pada Kia.
“Aku
juga tidak tahu. Kamu tahu? Saat aku tersesat, semua begitu menakutkan buatku. Waktu
itu, aku merasa sangat aman saat ia menemaniku. Aku berharap, sebelum aku
memutuskan untuk menikah, aku dipertemukan dengan anak itu. Walaupun hanya sebentar.
Aku sering bertanya-tanya. Bagaimana kabarnya sekarang? Seperti apa tampangnya
saat ini? Apakah kalau kami bertemu aku akan mengenalinya? Apakah ia masih mengingat
kejadian itu dan mengingatku? Di mana ia tinggal? Sebenarnya mustahil, kan? Tapi
entahlah, aku begitu yakin kalau kami akan bertemu lagi.”
“Sampai kapan keyakinanmu, Ki?”
“Aku tidak tahu. Mungkin sampai aku
punya keyakinan untuk berhenti berharap.”
“Berhentilah
berharap. Sekarang ia sudah dewasa dan baik-baik saja. Kamu sudah tidak ingat
lagi wajahnya. Buktinya, ketika kamu bertemu dengannya, kamu tidak
mengenalinya. Anak itu juga tidak mengenali kamu. Tapi, ketika ia pertama kali mendengar
cerita gantungan kunci jerapah, ia seperti pernah mengalami kejadian itu. Anak
itu baru benar-benar ingat saat ia melihat foto lama di rumah Tantenya di Solo,
dua hari lalu. Ia teringat lagi kejadian di pasar malam saat ia masih SD kelas lima. Ia datang ke
pasar malam untuk memotret karena hobinya memotret. Tak sengaja ia memotret seorang
anak perempuan yang kebingungan dan menangis karena terpisah dari keluarganya. Sekarang
ia menjadi lelaki tampan dan tinggal di Jakarta. Jadi, berhentilah berharap akan
bertemu dengan anak itu karena kamu sudah bertemu dengannya. Berharaplah kamu
dapat hidup selamanya dengannya. Anak lelaki penyelamatmu, sekarang sudah
menjadi lelaki dewasa dan ada di sampingmu. Ia sedang berbicara denganmu dan ia
berharap dapat hidup denganmu selamanya.”
Candra
mengulurkan selembar foto dan gantungan kunci jerapah yang sudah pudar. Kia ternganga.
“Aku menemukan foto ini di rumah
Tante sewaktu aku ke rumahnya. Ternyata, aku sempat mencetaknya dan meninggalkannya di rumah Tante. Gantungan ini kutemukan di lobi kantor sebelum
aku cuti tapi aku lupa memberitahumu.” Dua hari lalu, Candra izin cuti kerja.
“Jadi, anak itu kamu?” Candra
mengangguk. Mata Kia berkaca-kaca.
“Terima kasih karena sudah
menyelamatkanku. Aku bahagia ternyata anak itu adalah kamu. Tapi, aku tidak
menangis saat itu.” Kia menyusut air matanya dengan punggung tangan dan
tersenyum.
Candra tersenyum. Ia mengacak rambut Kia. Kia
merasakan damai di hatinya, bersama gantungan kunci jerapah dan Candra di
sampingnya.
***