30.6.13

Kenapa Aku Tidak Menangis?


Kenapa aku tidak menangis?
Pertanyaan ini muncul setelah acara makan malam penutupan AAT - Acara Akhir Tahun- 2013 berakhir. Acara makan malam sekaligus perpisahan beberapa teman yang memiliki rencana berbeda. 

Kenapa aku tidak menangis?
Acara perpisahan identik dengan kesedihan. Betul? Ya! Siapa yang tidak sedih ketika sahabat-sahabat kita memutuskan untuk 'pergi'? Setiap orang punya pilihan, kan. Hanya saja, tidak semua kesedihan harus disertai dengan tangis. Apakah mereka bukan teman-teman dekat? Lebih dari itu! Bahkan, mereka sudah seperti keluarga sendiri. Tawa, canda, duka, suka, semua pernah dialami. 

Lalu kenapa aku tidak menangis?
Karena aku tahu, perpisahan ini bukan untuk selamanya. Hanya sebatas kertas putih sebagai batas formal. Kita masih bisa bertemu seperti yang sudah pernah kita lakukan sebelumnya. Kita masih bisa bercanda, bertukar cerita, tertawa bersama, saling mendukung bersama, dan banyak hal yang bisa kita lakukan bersama. Itu yang membuat aku tidak menangis.

Sahabat-sahabatku, hidup adalah pilihan. 
Terima kasih karena sudah memberikan kenangan indah selama ini.
Di mana pun kalian berada, aku yakin kalian pasti akan bisa bahagia.
Bahagia itu sederhana. Sesederhana tawa kita bersama. 
Sampai bertemu lagi di lain kesempatan. Insya Allah.

*Sekedar catatan penghantar memasuki fase hidup baru.
Untuk Septi, Dian, Bu Tiwi, Bu Tati, dan Pak Dzaki.

26.6.13

Gantungan Kunci Jerapah

handicrafts.tokobagus.com
            Kia mencari-cari gantungan kunci jerapahnya. Di rumah sudah ia cari tapi tidak ketemu. Di kantor, ia juga mencarinya. Di mana gantungan itu? Gantungan kunci yang sudah mulai berkarat besinya. Jerapahnya terbuat dari kain flanel yang selalu Kia cuci kalau sudah kotor. Karena terlalu sering dicuci, warna kuningnya menjadi pudar.
            “Apa yang membuat gantungan itu penting sekali buatmu?” Tania, teman kerja Kia bertanya ketika mereka sedang makan.
            “Gantungan itu simbol penyelamatku, Tan. Waktu aku kecil, aku tersesat di pasar malam di Solo. Aku sangat ketakutan dan hampir menangis. Anak lelaki datang itu membantuku mencari Ayah dan Ibu. Ia memberiku gantungan kunci jerapah yang diambil dari tasnya. Katanya, kalau aku memegang gantungan itu, aku akan merasa tenang. Entah mengapa, akhirnya aku memang merasa tenang. Anak lelaki itu mengajakku ke pos petugas pasar malam dan menunggu sampai aku bertemu orangtuaku lagi. Aku menyesal karena belum sempat menanyakan nama dan alamatnya. Gantungan itu selalu kusimpan untuk mengenangnya. Aku berharap bisa bertemu dengannya suatu saat nanti dan mengucapkan terima kasih.” Kia mengakhiri ceritanya.
            “Mudah-mudahan kamu bertemu dengannya. Ngomong-ngomong, kapan kamu dan Candra menikah?” Pertanyaan Tania menghentikan gerakan Kia memotong daging. Kia menatap Tania heran.
            “Menikah? Sejak kapan aku pacaran dengan Candra?”
            “Ki, kamu boleh menyangkal ribuan kali kalau kamu tidak pacaran dengan Candra. Tapi aku merasa kalian pasangan yang cocok. Kalau kalian berdua tidak memiliki hubungan khusus, lalu mengapa kalian masing-masing tidak punya pasangan?”
Tania memang tahu banyak tentang dirinya dan Candra, kecuali cerita gantungan kunci itu.
            “Aku tidak tahu. Candra membuatku merasa aman dan nyaman. Namun, untuk menjalin hubungan dengan Candra, tidak pernah terlintas dalam pikiranku.”
            “Kamu masih teringat dengan anak lelaki gantungan kunci itu?”
            “Iya.” Kia meneruskan makan
                                                            ***
            Candra dan Kia duduk di taman kota. Kia bercerita tentang gantungan kunci jerapah yang hilang. Sejarah gantungan kunci jerapah itu, Candra sudah mengetahuinya sejak dulu.
            “Mengapa kamu selalu menunggu anak itu?” Candra bertanya pada Kia.
  “Aku juga tidak tahu. Kamu tahu? Saat aku tersesat, semua begitu menakutkan buatku. Waktu itu, aku merasa sangat aman saat ia menemaniku. Aku berharap, sebelum aku memutuskan untuk menikah, aku dipertemukan dengan anak itu. Walaupun hanya sebentar. Aku sering bertanya-tanya. Bagaimana kabarnya sekarang? Seperti apa tampangnya saat ini? Apakah kalau kami bertemu aku akan mengenalinya? Apakah ia masih mengingat kejadian itu dan mengingatku? Di mana ia tinggal? Sebenarnya mustahil, kan? Tapi entahlah, aku begitu yakin kalau kami akan bertemu lagi.”
            “Sampai kapan keyakinanmu, Ki?”
            “Aku tidak tahu. Mungkin sampai aku punya keyakinan untuk berhenti berharap.”
  “Berhentilah berharap. Sekarang ia sudah dewasa dan baik-baik saja. Kamu sudah tidak ingat lagi wajahnya. Buktinya, ketika kamu bertemu dengannya, kamu tidak mengenalinya. Anak itu juga tidak mengenali kamu. Tapi, ketika ia pertama kali mendengar cerita gantungan kunci jerapah, ia seperti pernah mengalami kejadian itu. Anak itu baru benar-benar ingat saat ia melihat foto lama di rumah Tantenya di Solo, dua hari lalu. Ia teringat lagi kejadian di pasar malam  saat ia masih SD kelas lima. Ia datang ke pasar malam untuk memotret karena hobinya memotret. Tak sengaja ia memotret seorang anak perempuan yang kebingungan dan menangis karena terpisah dari keluarganya. Sekarang ia menjadi lelaki tampan dan tinggal di Jakarta. Jadi, berhentilah berharap akan bertemu dengan anak itu karena kamu sudah bertemu dengannya. Berharaplah kamu dapat hidup selamanya dengannya. Anak lelaki penyelamatmu, sekarang sudah menjadi lelaki dewasa dan ada di sampingmu. Ia sedang berbicara denganmu dan ia berharap dapat hidup denganmu selamanya.”
  Candra mengulurkan selembar foto dan gantungan kunci jerapah yang sudah pudar. Kia ternganga.
            “Aku menemukan foto ini di rumah Tante sewaktu aku ke rumahnya. Ternyata, aku sempat mencetaknya dan meninggalkannya di rumah Tante. Gantungan ini kutemukan di lobi kantor sebelum aku cuti tapi aku lupa memberitahumu.” Dua hari lalu, Candra izin cuti kerja.
            “Jadi, anak itu kamu?” Candra mengangguk. Mata Kia berkaca-kaca.
            “Terima kasih karena sudah menyelamatkanku. Aku bahagia ternyata anak itu adalah kamu. Tapi, aku tidak menangis saat itu.” Kia menyusut air matanya dengan punggung tangan dan tersenyum.
             Candra tersenyum. Ia mengacak rambut Kia. Kia merasakan damai di hatinya, bersama gantungan kunci jerapah dan Candra di sampingnya.
***