11.5.13

Musim Semi di Hati Lyla

Ya, aku ada di depan jendela ini lagi. Kali ini aku pergi berempat dengan teman kerjaku. Setiap Jumat sore sepulang kerja, kami memang selalu hangout bersama dan kali ini giliran aku yang menentukan tempatnya.  Aku memilih cafe yang biasa kukunjungi dan seperti biasa aku langsung memilih tempat duduk kesukaanku. Sofa empuk yang menghadap jendela.   
     “Lyla, jangan bengong aja! Ayo makan!” Mirna menepuk pundakku dan membuyarkan lamunanku. Ia cukup jeli bisa membaca diriku. Saat ini memang ragaku sedang berada di sini, namun pikiranku? Pikiranku memang sedang tak di tempat ini. Pikiranku sibuk memikirkan kejadian kemarin sore. Sore itu aku dikagetkan oleh seorang Doni yang tiba-tiba datang melamarku. Aku tahu, seharusnya ini adalah kejadian yang membuat hatiku berbunga-bunga, namun ini? Hatiku bingung tak jelas dibuatnya. Oh iya, aku lupa kapan awal pertemuan kami. Tapi kira-kira, ia datang ke rumahku sebulan yang lalu. Awalnya aku sama sekali tak menanggapi kehadirannya karena toh ia datang untuk bertemu dengan ayahku bukan denganku. Doni adalah saudara dari tetanggaku.

Aku pikir, Doni hanya mau bersilaturahmi dengan ayah. Sudah lama Doni tidak datang ke rumah. Setiap kali Doni datang ke rumah, ia selalu mengobrol atau bermain catur dengan ayah. Selama ini aku menganggap Doni sebagai sahabatku. Kami sering saling curhat. Aku tidak pernah menyangka bahwa yang dibicarakan Doni kepada ayah adalah memintaku menjadi istrinya. Aku tidak tahu bagaimana harus bersikap. Kuakui, Doni memang seorang sahabat yang sangat peduli padaku. Ia tidak pernah membiarkanku berlarut-larut dalam kesedihan. Ia pun cukup peka dengan apa yang kurasakan. Ketika aku sedang gundah, ia pasti akan merasakan kegundahanku. Selanjutnya, ia akan bertanya apa yang sedang kupikirkan. Mau tidak mau, aku akan bercerita tentang apa yang kurasakan. Aku hanya merasakan kenyamanan ketika bersamanya. Tapi, untuk menjadi istri, aku masih belum berpikir sejauh itu. Berpikiran pacaran dengannya saja aku tidak pernah. Apa lagi menjadi istri!
“Tuh, kan, bengong lagi. Apa sih yang kamu pikirkan?” Mirna kembali menepuk pundakku. “Cerita dong, kalau ada masalah. Barangkali saja aku bisa bantu, “ kata Mirna melanjutkan ucapannya.
         “Nanti saja Mir, aku akan cerita jika memang sudah saatnya. Udah ah, jangan bahas ini! Aku juga lagi nggak ingin memikirkan ini.” Duh, maaf Mir, mungkin aku sedikit berbohong. Aku memang sedang tak ingin memikirkan ini, tapi ternyata pikiranku susah untuk diajak berhenti memikirkan ini. Ok, saat ini aku akan coba untuk berakting kalau aku sedang tidak sedang memikirkan apa-apa malam ini. Ayo Lyla, tunjukkan kemampuan beraktingmu.
“Ya udah kalo gitu jangan bengong lagi, ya!” Kata Mirna yang percaya pada penjelasanku. “Ih, Lyla, Mirna, kalian ngomongin apa sih? Ngobrol kok berdua aja!” Tiba-tiba Arlin datang sambil membawa baki penuh makanan. Arlin memang terkenal suka makan di antara kami. Di bakinya tampak steak, spageti, lasagna, dan satu pitcher cola. “ Waaaaa, aku nanti nyobain lasagna-nya, ya. Tampak enak!” Kataku mencoba untuk mengalihkan pembicaraan. “La, Dina mana, sih? Lama banget ke toiletnya?” Tanya Arlin.      
“Aku susul Dina deh, aku juga mau ke toilet, nih!” Aku pun beranjak dari kursiku dan berjalan menuju toilet.

Tiba-tiba aku melihat sosok yang sangat kukenal di luar jendela. Arik, mengapa ia ada di sini? Bukannya kamu sedang ada di Yogya? Mengapa ia tak mengabariku jika ia ada di Bandung ? Ah, kutelepon dia nanti setelah aku dari toilet.

     “Eh, Lyla kamu ke toilet juga, ya?” Dina tampak sedang mencuci tangannya di wastafel toilet. “Iya nih aku kebelet juga.” Kataku sambil buru-buru masuk ke toilet.
Keluar dari toilet, kutengok kiri-kanan. Mana Dina? Mungkin dia sudah kembali ke tempat kami, pikirku. Aku keluar dari kamar mandi. Kucari-cari tisu di saku jeans-ku. Hampir saja aku menabrak seseorang karena aku menunduk mencari tisu.
            “Ups..maaf, “ aku menengadahkan kepalaku dan meminta maaf pada orang yang hampir kutabrak. Aku tertegun menatap orang itu. Dia juga tertegun menatapku.
            “Lyla!”
“Arik!” Dadaku tiba-tiba berdebar dengan keras. Oh Tuhan, kenapa rasa itu masih ada? Kenapa aku masih berdebar-debar ketika berhadapan dengannya? 
            “Eh, apa kabar, La?”
            “Baik. Kamu? Kapan kamu datang dari Yogya?”
            “Oh.. aku dipindahkan ke Bandung sejak sebulan lalu, “ kata Arik.
Deg! Arik sudah sebulan di sini dan selama itu dia tidak mengabari aku. Ada perasaan kesal menyelimuti hatiku. Apakah aku sudah tidak berarti lagi buatnya? Perasaan kecewa tiba-tiba menghinggapi aku.
            “Wah, asik dong, kembali lagi ke sini,” aku berkata dengan nada pura-pura riang. Hanya untuk menutupi perasaanku yang sebenarnya.
            “Arik, udah cuci tangannya?” seorang perempuan mendatangi Arik. Siapa dia?
 Aku pun segera berlalu dan kembali berkumpul dengan teman-temanku. Ugh, mengapa ia bisa secepat itu melupakan hubungan kami? Tanpa banyak bicara aku pun menghabiskan makananku.

Arik, sosok yang masih kuharapkan selama ini. Mengapa ia bisa secepat itu mendapatkan penggantiku? Cukup lama kami menjalin hubungan sebagai pasangan kekasih. Suatu sore, ia berkata bahwa ia tak dapat melanjutkan hubungan ini. Ia memintaku untuk tidak lagi menunggunya. Saat itu, aku tak paham sepenuhnya dengan apa yang ia bicarakan. Aku terlalu kaget dengan apa yang ia utarakan dan bingung sendiri dengan perasaanku. Yang kuingat, aku hanya diam dan tak bicara sepatah katapun untuk menanggapi perkataannya. Di kamar, aku hanya menangis dalam tak mengertianku. Aku sedih, kesal, marah, dan kemudian aku memutuskan untuk diam. Prinsipku, jika seorang lelaki mengutarakan hal seperti itu berarti memang ia bukan lelaki yang kelak memang ditakdirkan untukku.   
***
Doni, apakah aku harus menerima lamarannya? Aku belum lama mengenalnya. Aku memang cukup terbuka pada Doni, namun tidak untuk membicarakan mengenai hubunganku dengan Arik.

Kalau dipikir-pikir, apa sih yang kurang dari Doni? Ia supel, peka, seorang dosen, dan cukup tampan! Jelas-jelas ia mengutarakan niatnya untuk menikahiku. Namun, masalah hati sukar untuk dipaksakan. Ya, aku tidak mencintainya. Aku belum mencintai Doni! Hubunganku dengan Arik memang sudah berakhir, namun hatiku masih tertambat padanya.

***
“Arik, kamu sudah minum  obatmu?”
“Sudah, Mah. Tadi pulang dari café, Arik sudah minum obat. Oh iya, Mah, ada salam tadi dari Dokter Rifa. Dia akan langsung kembali ke Yogya malam ini karena seminar di Bandungnya sudah selesai.” Teriak Arik dari kamarnya.

Di kamar Arik tak bisa berhenti memikirkan Lyla. Gadis yang ia tinggalkan sebulan lalu. Maafkan aku La, ini semua demi kebaikan kamu. Aku tak ingin merusak kebahagiaanmu. Aku tak tega melihatmu bersedih karenaku, katanya dalam hati.

“Arik, cepat tidur! Besok pagi-pagi kita harus ke rumah sakit lagi!” Teriak mama dari luar.
“Iya, Ma!” 

Semoga aku tidak bermimpi tentang Lyla, pikir Arik. Sudah  setengah jam Arik membaringkan badan di tempat tidur. Namun, bayangan Lyla terus berputar-putar di kepalanya. Akhirnya, Arik menyalakan lampu tidur. Ia kemudian mengambil salah satu buku dari rak. Mudah-mudahan dengan membaca buku, aku jadi mengantuk, pikir Arik.

***
Pagi hari, ketika aku bangun, hal pertama yang kuingat adalah Arik. Kugeleng-gelengkan kepalaku lagi. Enyah kau dari pikiranku! Aku bangkit dan menuju kamar mandi. Pagi ini aku akan langsung ke rumah sakit karena ada janji bertemu dengan Dokter Oswald. Sebagai medical representative, aku memang sering bertemu ke rumah sakit untuk bertemu dokter. Dokter Oswald adalah dokter ahli syaraf yang terkenal di Bandung. Setelah beberapa kali membuat janji, baru kali ini aku berhasil menetapkan tanggal pertemuan kami. Jadi, aku tidak boleh terlambat. Kesempatan emas tidak boleh lepas dari tanganku. Jam 9.00 aku sudah harus berada di rumah sakit.
***
Jam 8.45 aku sudah berada di ruang tunggu pasien di depan kamar periksa Dokter Oswald. Beliau praktek mulai jam 10.00 pagi. Rencananya sebelum beliau praktek, kami akan bertemu dahulu. Oh.. itu dia. Aku bergegas menyambutnya. Dokter Oswald tersenyum dan menjabat tanganku. Kami pun masuk ke ruangan Dokter Oswald.
***

            “Terima kasih, Dok. Sampai bertemu kembali, “ aku berpamitan pada Dokter Oswald dan keluar dari ruangannya. Aku pun berjalan menuju ruang informasi. Suster Linda mungkin sedang bertugas. Aku mau menyapanya dulu. Pagi ini rumah sakit sangat ramai. Entah apakah karena hari ini hari Jumat atau karena sebab lain.

Ketika aku melewati bagian pendaftaran, aku seperti melihat sosok yang kukenal. Kupertajam pandanganku. Benar, itu Arik bersama mamanya. Siapa yang sakit? Ingin aku mendekatinya tapi aku ragu-ragu. Akhirnya, aku hanya mengamatinya saja. Tidak berapa lama, aku melihat Arik dan mamanya berjalan ke arah ruang periksa. Mereka berhenti di depan ruangan Dokter Oswald. Aku bertanya-tanya dalam hatiku siapakah yang sakit? Perawat di ruang Dokter Oswald keluar.
            “Arik Fathan!” Perawat mulai memanggil. Ia hendak memanggil untuk kedua kalinya ketika melihat Arik dan mamanya berdiri. Aku terkesiap. Arik sakit? Sakit apa? Aku baru saja hendak menuju ruang tunggu pasien ketika teleponku berdering.
            “Hallo.”
            “Lyla, ada yang mau saya bicarakan. Ditunggu segera di kantor, ya. Kamu di mana sekarang?” suara supervisor-ku.
            “Saya di Rumah Sakit Damai Sentosa, Pak. Saya segera ke sana.” Aku menjawab

Telepon itu mengurungkanku pergi ke ruang tunggu. Aku segera pergi menuju kantor dengan pertanyaan berkecamuk di benakku.

***
Arik, kamu sakit apa? Pertanyaan itu yang tadi ingin kuutarakan langsung padamu. Sebenarnya bisa saja aku menelepon atau menanyakan hal ini padamu lewat SMS. Tapi itu urung kulakukan. Ah, sudahlah. Semoga kamu baik-baik saja. Siang itu aku sulit berkonsentrasi di kantor. Rangkaian peristiwa akan dirimu seakan diputar ulang dalam kepalaku. Ingatanku yang paling baru adalah perjumpaan kita di café Jumat lalu. Pada saat itu, aku terlalu fokus pada perempuan cantik yang bersamamu. Sampai-sampai aku tak melihat betapa kini berat badanmu tampaknya turun dengan sangat drastis. Hal ini sangat jelas terlihat tadi di rumah sakit. Arik yang mengenakan sweater abu-abu sangat terlihat kurus dibandingkan dengan Arik  yang dulu. Ah, aku tak bisa mengatur pikiranku untuk tidak terus memikirkannya. Ariiiiiiik, pergi kau dari pikiranku! Ughhh, semakin berusaha aku untuk tidak memikirkannya, semakin kuat ingatanku padanya.
                                                                        ***
“Lyla, tadi Tante Mili bertanya pada Ibu, apakah kamu mau menerima lamaran Doni?” Tanya ibu padaku ketika makan malam. Tante Mili adalah tetanggaku. Ia adalah tantenya Doni. “Jika kamu setuju, nanti orangtua Doni akan dikabari agar segera ke Bandung untuk melamarmu secara resmi.” Kata Ibu dengan tenang. Beruntungnya aku memiliki orangtua yang sangat sabar dan demokratis. Walaupun usiaku sudah hampir menginjak kepala tiga, namun orangtuaku tidak mendesakku untuk segera menikah. Berbeda dengan temanku yang memang bernasib sama. Rata-rata mereka memang sering dibombardir dengan pertanyaan klise, “Kapan menikah?” Atau dengan kalimat sindiran, “Sudahlah sudah usia segini nggak usah pilih-pilih.”
“Ibu, menikah kan sekali dalam seumur hidup, Lyla, sih, inginnya bisa benar-benar kenal dulu dengan siapa Lyla akan menghabiskan hidup nantinya. Lyla belum ingin buru-buru. Lagi pula, Lyla masih belum ada rasa sama Doni Bu. “ Kataku sambil berlalu ke kamar.
“Lyla capek Bu, Lyla mau tidur aja ya.” Ibu tampaknya paham dan tidak memperpanjang obrolan tersebut.
                                                                        ***

Di kamar, aku terus memikirkannya. Aku memikirkan Arik, bukan Doni. Aku jadi teringat peristiwa enam bulan lalu saat kami masih menjalin hubungan jarak jauh. Saat itu, ia sering sekali membatalkan janji sehingga kami pun makin jarang bertemu. Ada saja alasannya. Padahal biasanya, ia tak pernah absen mengunjungiku seminggu sekali. Ketika kami bertemu pun, ia sering terlihat kurang sehat. Aku pernah bertanya padanya, tapi ia hanya berkata bahwa ia kecapaian bekerja. Aku pernah ingin mengantarnya ke dokter. Pada saat itu kamu tiba-tiba mimisan tapi kamu pun menolaknya.
“Tenang La, aku udah bawa obat kok, kemarin aku baru dari dokter. “

Pernah juga pada suatu Sabtu ketika aku susah menghubungi ponselmu, aku menelepon rumahmu dan adikmu mengatakan kalau kamu sedang pergi ke rumah sakit. Aduh, apakah aku sangat tidak peka, ya? Ugh, tampaknya aku harus meneleponmu sekarang. Baiklah, mungkin selama ini aku terlalu egois dengan hanya memikirkan diri sendiri. Segera kuambil ponselku dan memencet nomor ponselmu. Duh, kok, susah dihubungi, sih? Aku mencobanya berkali-kali namun tetap ponselmu tak bisa kuhubungi juga. Akhirnya aku mencoba untuk menelepon rumahmu.

“Hallo, bisa bicara dengan Arik?”
“Oh, maaf ini dengan siapa, ya? “ Terdengar suara Mbok Ijah yang tak asing.
“Mbok, ini Lyla, masih ingat dengan saya?”
“Mbak Lyla kemana saja? Mbak, baru saja Mas Arik masuk rumah sakit, Mas Arik pingsan Mbak!”
Aku langsung lemas mendengar kabar itu.

“Arik sakit apa, Mbok?”
“Ehmm... Mbok tidak bisa jawab, Mbak. Sebaiknya Mbak tanya Ibu Lena saja.”
Aku semakin curiga dengan sakitnya Arik. Kenapa Mbok Ijah tidak mau mengatakannya padaku?
“Baiklah, Mbok. Nanti saya tanya Tante Lena saja. Dirawat di mana Arik?”
“Di Rumah Sakit Damai Sentosa, Mbak.”
“Oke, terima kasih, ya, Mbok.”

Aku ingin secepatnya pergi ke sana. Namun, tiba-tiba aku teringat perempuan cantik di cafe tempat kami pertama kali bertemu lagi. Apakah tidak berlebihan kalau aku langsung ke sana? Pikirku dalam hati. Tiba-tiba, ponselku berdering. Aku melihat nama yang tertera di layar. “Doni”. Aduh! Kalau Doni menanyakan jawaban atas lamarannya, aku belum dapat menjawabnya. Mau tidak kujawab, rasanya tidak enak. Akhirnya aku menjawabnya.
“Hai, Don!”
“Hai, La. Lagi ngapain?”
“Nggak ngapa-ngapain.”
“Pergi, yuk! Mumpung aku lagi ada di rumah Tante Mili. Aku bosan di sini. Gerry lagi pergi.” Gerry adalah sepupu Doni. Aku menimbang-nimbang sebentar.
“Oke. Aku siap-siap dulu, ya.” Aku mengiyakan ajakan Doni. Daripada aku teringat terus Arik, lebih baik aku keluar dengan Doni.
“Oke. Nanti kujemput lima belas menit lagi. Cukup?”
“Cukup.” Sepuluh menit juga cukup, kataku dalam hati.

Akhirnya aku menghabiskan malam itu bersama Doni. Untunglah Doni tidak menanyakan perihal lamarannya. Untungnya lagi, selama dengan Doni, pikiranku bisa teralihkan dari Arik. Sesekali ingatan tentang Arik datang. Entah mengapa, bersama Doni aku cepat sekali ‘lupa’ dengan Arik.
Thanks, ya, Don, untuk hari ini.” Aku berterima kasih pada Doni sebelum kami berpisah.
“Untuk apa? Tumben kamu bilang ‘thanks’, “ kata Doni.
Aku tersenyum. Thanks, karena kamu sudah mengalihkan pikiranku dari Arik, kataku dalam hati.

***
Esok hari, aku ke rumah sakit karena ada janji dengan Dokter Oswald lagi. Mumpung di rumah sakit, aku mau menjenguk Arik juga. Aku menuju ruang informasi untuk mencari tahu kamar Arik. Setelah mendapatkan informasi kamar Arik, aku berjalan menuju ke sana. Sampai di depan kamar Arik, aku melihat perempuan yang bersama Arik waktu di cafe sedang menangis. Aku masuk ke kamar Arik. Papa dan mama Arik sedang termenung menatap Arik yang terbujur kaku di hadapan mereka. Aku ingin teriak tapi tak ada suara yang keluar dari mulutku. Tenggorokanku seakan tercekat. Untuk menelan ludah saja terasa sulit. Tiba-tiba, aku merasakan ponselku bergetar. “Doni” tertera di layar.
            “Halo, Don.” Suaraku terbata-bata.
            “La, apa yang terjadi? Kamu nggak apa-apa?” Doni tampak khawatir mendengar suaraku.
            “Don, Arik, Don. Arik meninggal.” Entah kenapa, begitu mendengar suara Doni, tangisku langsung pecah.
            “La, kamu di mana? Tunggu aku di situ. “
Aku menyebutkan nama rumah sakit tempat aku berada saat ini.
***

Di perjalanan, Doni pun tak henti-hentinya bertanya pada diri sendiri. Siapa Arik? Mengapa Lyla menangisi Arik? Ah, sudahlah. Aku harus segera menuju ke rumah sakit itu. Lyla sedang membutuhkan orang untuk berada di sisinya saat ini, pikir Doni.

Sesampainya di rumah sakit, Doni melihat Lyla sedang duduk bersama seorang wanita paruh baya. Doni tidak langsung mendekat.
“Mbok, sejak kapan Arik sakit? Kok, Mbok nggak kabari saya?”
Maafin Mbok, ya! Mas Arik berpesan agar Mbak Lyla memang tidak diberi tahu mengenai sakitnya. Maaf ya, Mbak.” Kata Mbok Ijah sambil tak henti-hentinya mengusap air mata.

Beberapa saat kemuadian keluarlah sepasang suami istri, mereka kemudian memberikan sesuatu pada Lyla.  Siapa mereka ya? Apakah mereka orangtua Arik? Doni masih mengamati dari kejauhan. Doni kemudian datang menemui Lyla.
“La, kamu nggak apa-apa?” Tanya Doni. Lyla langsung memeluk Doni dan menangis kembali sejadi-jadinya.
                                                                         ***
 Enam bulan kemudian.
Aku kembali lagi ke sini, duduk di sofa empuk yang menghadap jendela di café ini. Café dengan sejuta kenangan. Aku sangat menyukai café ini, café yang begitu tenang. Tak terlalu banyak orang memilih duduk di sofa ini. Sofa ini memang spot favoritku karena cukup tersembunyi dan kurang strategis bagi pengunjung yang ingin menyaksikan siaran TV kabel. Seperti biasa, aku memesan milktea dan juga seporsi lasagna.  Kali ini aku sengaja pergi ke café ini sendiri, tidak bersama teman-temanku dan tentunya tidak bersama Arik. Café ini selalu kukunjungi bersama Arik jika ia datang ke Bandung.

Arik, nama ini terucap kembali. Arik, kamu adalah kenanganku, kenangan yang akan mengisi hari-hariku. Kamu menyadarkanku kalau memang cinta itu tak boleh egois. Cinta itu bukan berarti kebahagiaan sepihak. Cinta bisa lebih bermakna jika kita dapat memikirkan kebahagiaan semua orang.
                                                            ***
Pada hari itu, di rumah sakit, ayah ibumu memberiku surat. Surat darimu. Surat yang kau tulis dengan penuh cinta untukku. Di situ kau menjelaskan semuanya, semua tanda tanya yang ada dalam pikirku akan dirimu termasuk perempuan di cafe itu. Ternyata ia adalah dokter yang merawatmu saat kamu berada di Yogya.  Lamunanku terhenti ketika kurasakan getar ponsel dari saku jaket pink-ku. Ternyata itu SMS dari Doni.

Hi, La! Aku sedang di taman tulip, nih. Indah banget. Nanti aku kirim fotonya, ya, La. Eh, kamu sudah makan, kan? Cepet maka! Jangan kebanyakan bengong, ya, La!

Doni, ia adalah sosok pria yang baik, sama seperti dirimu, Rik. Namun aku tak mau egois. Aku ingin dapat sepertimu, Rik. Sebulan setelah kejadian di rumah sakit itu, akhirnya aku bisa menceritakan semua hal tentang Arik padanya. Aku pun menjelaskan juga tentang perasaanku pada Doni. Saat ini, aku menganggapnya sebagai sahabat, tidak lebih. Aku tak ingin ‘mengikatnya’ dengan terus meminta berada di sisiku. Aku ingin dia mendapatkan perempuan yang mencintainya. Dua bulan yang lalu Doni pergi ke Belanda untuk mengambil program master. Kuharap ia bisa menemukan perempuan yang cocok. Aku pun di sini akan belajar untuk membuka hati bagi lelaki lain.

                                                                        ***

Doni terus memandangi layar ponselnya. Berharap Lyla segera membalas SMS-nya. Taman tulip yang indah ternyata tak dapat mengobati kerinduannya pada Lyla. Doni pun paham bahwa ia tak boleh egois. Lyla, tahukah kau, aku pun ingin melihatmu bahagia. Aku akan bahagia jika kau sudah menemukan kebahagiaanmu, bahagia yang kau tunggu-tunggu selama ini.
                                                                       
***
Hari ini, genap enam bulan Doni pergi ke Belanda. Beberapa kali aku melihat layar ponselku. Tidak ada SMS atau miscall dari Doni. Sudah sebulan ini Doni mulai jarang menghubungiku. Biasanya, minimal satu SMS dia kirim setiap harinya. Tapi kenapa akhir-akhir ini seminggu sekali pun tidak? Kenapa aku merasa kehilangan? Mungkinkah Doni sudah bertemu seseorang di sana. Kenapa aku sedih ketika memikirkan itu? Akhirnya, aku mengetik SMS untuk Doni.

“Don, lagi ngapain kamu? Don, kalau kamu sudah menemukan seseorang di sana, kabari aku, ya. “

Aku membaca pesan itu sekali lagi. Sent. Delivered. Aku menatap layar ponsel, menunggu balasan dari Doni. Satu menit, dua menit, setengah jam, satu jam. Tidak ada balasan. Aku tinggalkan ponselku di kamar. Perasaanku campur aduk. Aku tak mengerti dengan diriku sendiri.

Esok hari, baru aku dapatkan balasan dari Doni. “Oke.” Hanya itu balasannya. Hanya itu.

                                                                        ***
Doni memandang hamparan salju di hadapannya. Cuaca dingin menusuk tulang membuatnya mengencangkan coat panjang dan tebal yang dipakainya. Ia tersenyum setelah kata ‘delivered’ tertera di layar ponselnya. Doni membaca lagi SMS dari Lyla yang diterima beberapa jam lalu.

“Don, lagi ngapain kamu? Don, kalau kamu sudah menemukan seseorang di sana, kabari aku, ya. “ Ia sengaja tidak langsung membalas SMS.

“Ya, aku sudah menemukan seseorang, La. “ jawab Doni sambil tetap tersenyum. Ah... such a beautiful winter, ucap Doni dalam hati.

***
Jawabannya Cuma, “Oke.” Tak ada SMS lagi sesudah itu. Kemana sih, anak itu? Aku jadi semakin sering bertanya-tanya mengenai Doni. Sekarang, aku yang sering mengiriminya SMS. Tapi, tidak setiap pesanku dia balas. Mungkin dia sibuk di sana.

Tok! Tok! Tok!
Suara pintu diketuk. Ke mana Ibu?
Tok! Tok! Tok!
Kemana orang-orang?
“La, tolong bukakan pintu! Ibu sedang tanggung, nih, lagi maskeran.”
“Iya, Bu.”
Aku bangkit dari tempat tidur dan menuju pintu. Kubuka pintu. Aku ternganga.
“ Hai, La. Kamu kangen aku, nggak?”

Doni! Aku mengucek mataku. Apakah aku bermimpi? Sosok itu tersenyum. Senyum yang selama ini diam-diam kurindukan. Aku meraba tanganku dan kucubit kulitku. Sakit. Aku meringis. Sosok di depanku semakin lebar senyumnya dan mulai tertawa. Ia kemudian mengacak-acak rambutku. Benar, ini kenyataan, bukan mimpi. Aku tersenyum. Tiba-tiba, aku merasakan musim semi di hatiku.
***

Kolaborasi Iin Indriyati & Dhika Mustika
Bandung, Mei 2013

5.5.13

Pesawat

Aku berada di pesawat dari Denpasar menuju Jakarta. Setelah mendengar berita kecelakaan Lion Air kemarin sore, aku sedikit was-was untuk naik pesawat. Ditambah lagi dengan hujan lebat yang mengguyur kota ini disertai angin dan guntur yang menggelegar sejak subuh.Untunglah, sampai di bandara Ngurah Rai hujan reda. Mendung masih menggantung. Mudah-mudahan perjalanan lancar sampai tujuan, gumamku dalam hati. Tak ada delay untuk penerbanganku. Syukurlah. Kalau delay, rencanaku bubar semua.

Pilot sudah memberitahukan bahwa sebentar lagi pesawat take off. Jadi para penumpang diminta untuk mengencangkan sabuk pengaman dan mematikan ponsel. Penumpang di sebelahku mulai berdoa. Ah..buat apa berdoa, pikirku. Kuambil majalah dan mulai membaca. Pesawat mulai terbang dan melayang di udara. Cuaca masih mendung. Pesawat agak berguncang-guncang. Orang di sebelahku semakin khusyu berdoa. Untuk apa berdoa seperti itu? Pastilah selamat. Sekarang kan sudah canggih, kataku dalam hati. 

Orang di sebelahku sudah melepaskan seat belt-nya. Lho.. tandanya kan masih menyala. Aku ingin memberitahukannya tapi lidahku kelu. Tidak ada satu pun kata keluar dari mulut ini. Lima belas menit sejak take off, tanda seat belt masih menyala. Aku melirik bangku depan dan sebelah kanan gang kursi penumpang. Kenapa tanda seat belt mereka sudah mati? Orang yang berada di sebelah kananku sudah membaca buku. Bahkan orang yang berada di sebelahnya lagi sudah berdiri dan berjalan menuju toilet. Awak pesawat sudah membawa-bawa troli makanan.

Kenapa tanda seat belt di depanku masih menyala? Kenapa hanya punyaku? Kurasakan guncangan pesawat. Di luar langit masih mendung. Aku melihat keadaan di dalam pesawat. Semua berjalan seperti tidak ada apa-apa. Tapi mengapa aku merasakan guncangan begitu keras? Akhirnya aku memutuskan untuk berdoa, kegiatan yang tadi kucemooh. Tapi tak satu pun doa kuingat. Sudah lama aku tidak berdoa. Aku mulai cemas. Aku membayangkan jika pesawat ini jatuh, sudah pastilah aku hancur. Aku mengumpulkan ingatanku. Ingatan tentang doa-doa dan ayat-ayat suci yang pernah aku baca dan hafalkan. Dulu, dulu sekali ketika aku kecil. Ya Allah, tidak ada yang kuingat sedikitpun. Aku pejamkan mataku. Konsentrasi Renata, konsentrasi. Kamu pasti bisa, kumotivasi diri sendiri. Keringat mulai bercucuran. Kecemasan semakin meningkat. Guncangan tak sekalipun mereda. Bahkan semakin keras. Aku tidak berhasil memanggil kembali ingatanku tentang doa-doa dan ayat-ayat suci. Aku pasrah. Kusebut-sebut nama Tuhanku. Ya, hanya nama Tuhanku yang aku ingat. Aku mulai menangis. Ada ketakutan yang amat sangat. Kusebut-sebut nama Tuhan, pencipta diriku dan alam semesta. Aku menangis karena terbayang dosa-dosaku. Betapa aku selama ini melupakan diri-Nya. 

Pasrah. Sekarang aku pasrah. Apa pun yang terjadi, kuserahkan hidupku pada-Nya. Ketenangan mulai kurasakan. Kulihat sekeliling. Tidak ada keanehan, kepanikan, kecemasan. Semua tenang. Kenapa hanya aku saja yang merasakan? Kupejamkan mataku. Kusebut nama Allah. Guncangan kurasakan mulai berkurang. Pesawat tenang kembali. Kubuka mataku. Matahari mulai muncul di balik awan. Aku mengucap syukur tak henti-hentinya. Kuusap air mataku. Ya Allah, apa yang terjadi denganku? Kuedarkan pandangan. Semua berjalan seperti biasa. Tenang. Orang-orang dengan aktivitasnya masing-masing. Awak pesawat masih berkeliling menawarkan makanan dan mengantarkan pesanan. Apa yang terjadi padaku? Aku tidak mengerti apa yang terjadi. Namun, aku mengerti bahwa aku tidak bisa melawan Tuhan.