Ya, aku
ada di depan jendela ini lagi. Kali ini aku pergi berempat dengan teman
kerjaku. Setiap Jumat sore sepulang kerja, kami memang selalu hangout bersama dan kali ini giliran aku
yang menentukan tempatnya. Aku memilih cafe yang biasa kukunjungi dan seperti
biasa aku langsung memilih tempat duduk kesukaanku. Sofa empuk yang menghadap jendela.
“Lyla, jangan bengong aja! Ayo makan!” Mirna menepuk pundakku dan membuyarkan lamunanku. Ia cukup jeli bisa membaca diriku. Saat ini memang ragaku sedang berada di sini, namun pikiranku? Pikiranku memang sedang tak di tempat ini. Pikiranku sibuk memikirkan kejadian kemarin sore. Sore itu aku dikagetkan oleh seorang Doni yang tiba-tiba datang melamarku. Aku tahu, seharusnya ini adalah kejadian yang membuat hatiku berbunga-bunga, namun ini? Hatiku bingung tak jelas dibuatnya. Oh iya, aku lupa kapan awal pertemuan kami. Tapi kira-kira, ia datang ke rumahku sebulan yang lalu. Awalnya aku sama sekali tak menanggapi kehadirannya karena toh ia datang untuk bertemu dengan ayahku bukan denganku. Doni adalah saudara dari tetanggaku.
Aku pikir, Doni hanya mau bersilaturahmi dengan ayah. Sudah lama Doni tidak datang ke rumah. Setiap kali Doni datang ke rumah, ia selalu mengobrol atau bermain catur dengan ayah. Selama ini aku menganggap Doni sebagai sahabatku. Kami sering saling curhat. Aku tidak pernah menyangka bahwa yang dibicarakan Doni kepada ayah adalah memintaku menjadi istrinya. Aku tidak tahu bagaimana harus bersikap. Kuakui, Doni memang seorang sahabat yang sangat peduli padaku. Ia tidak pernah membiarkanku berlarut-larut dalam kesedihan. Ia pun cukup peka dengan apa yang kurasakan. Ketika aku sedang gundah, ia pasti akan merasakan kegundahanku. Selanjutnya, ia akan bertanya apa yang sedang kupikirkan. Mau tidak mau, aku akan bercerita tentang apa yang kurasakan. Aku hanya merasakan kenyamanan ketika bersamanya. Tapi, untuk menjadi istri, aku masih belum berpikir sejauh itu. Berpikiran pacaran dengannya saja aku tidak pernah. Apa lagi menjadi istri!
Tiba-tiba aku melihat sosok yang sangat kukenal di luar jendela. Arik, mengapa ia ada di sini? Bukannya kamu sedang ada di Yogya? Mengapa ia tak mengabariku jika ia ada di Bandung ? Ah, kutelepon dia nanti setelah aku dari toilet.
“Eh, Lyla kamu ke toilet juga, ya?” Dina tampak sedang mencuci tangannya di wastafel toilet. “Iya nih aku kebelet juga.” Kataku sambil buru-buru masuk ke toilet.
Arik, sosok yang masih kuharapkan selama ini. Mengapa ia bisa secepat itu mendapatkan penggantiku? Cukup lama kami menjalin hubungan sebagai pasangan kekasih. Suatu sore, ia berkata bahwa ia tak dapat melanjutkan hubungan ini. Ia memintaku untuk tidak lagi menunggunya. Saat itu, aku tak paham sepenuhnya dengan apa yang ia bicarakan. Aku terlalu kaget dengan apa yang ia utarakan dan bingung sendiri dengan perasaanku. Yang kuingat, aku hanya diam dan tak bicara sepatah katapun untuk menanggapi perkataannya. Di kamar, aku hanya menangis dalam tak mengertianku. Aku sedih, kesal, marah, dan kemudian aku memutuskan untuk diam. Prinsipku, jika seorang lelaki mengutarakan hal seperti itu berarti memang ia bukan lelaki yang kelak memang ditakdirkan untukku.
Di perjalanan, Doni pun tak henti-hentinya bertanya pada diri sendiri. Siapa Arik? Mengapa Lyla menangisi Arik? Ah, sudahlah. Aku harus segera menuju ke rumah sakit itu. Lyla sedang membutuhkan orang untuk berada di sisinya saat ini, pikir Doni.
Kolaborasi Iin Indriyati & Dhika Mustika
Bandung, Mei 2013
“Lyla, jangan bengong aja! Ayo makan!” Mirna menepuk pundakku dan membuyarkan lamunanku. Ia cukup jeli bisa membaca diriku. Saat ini memang ragaku sedang berada di sini, namun pikiranku? Pikiranku memang sedang tak di tempat ini. Pikiranku sibuk memikirkan kejadian kemarin sore. Sore itu aku dikagetkan oleh seorang Doni yang tiba-tiba datang melamarku. Aku tahu, seharusnya ini adalah kejadian yang membuat hatiku berbunga-bunga, namun ini? Hatiku bingung tak jelas dibuatnya. Oh iya, aku lupa kapan awal pertemuan kami. Tapi kira-kira, ia datang ke rumahku sebulan yang lalu. Awalnya aku sama sekali tak menanggapi kehadirannya karena toh ia datang untuk bertemu dengan ayahku bukan denganku. Doni adalah saudara dari tetanggaku.
Aku pikir, Doni hanya mau bersilaturahmi dengan ayah. Sudah lama Doni tidak datang ke rumah. Setiap kali Doni datang ke rumah, ia selalu mengobrol atau bermain catur dengan ayah. Selama ini aku menganggap Doni sebagai sahabatku. Kami sering saling curhat. Aku tidak pernah menyangka bahwa yang dibicarakan Doni kepada ayah adalah memintaku menjadi istrinya. Aku tidak tahu bagaimana harus bersikap. Kuakui, Doni memang seorang sahabat yang sangat peduli padaku. Ia tidak pernah membiarkanku berlarut-larut dalam kesedihan. Ia pun cukup peka dengan apa yang kurasakan. Ketika aku sedang gundah, ia pasti akan merasakan kegundahanku. Selanjutnya, ia akan bertanya apa yang sedang kupikirkan. Mau tidak mau, aku akan bercerita tentang apa yang kurasakan. Aku hanya merasakan kenyamanan ketika bersamanya. Tapi, untuk menjadi istri, aku masih belum berpikir sejauh itu. Berpikiran pacaran dengannya saja aku tidak pernah. Apa lagi menjadi istri!
“Tuh,
kan, bengong lagi. Apa sih yang kamu pikirkan?” Mirna kembali menepuk pundakku.
“Cerita dong, kalau ada masalah. Barangkali
saja aku bisa bantu, “ kata Mirna melanjutkan ucapannya.
“Nanti
saja Mir, aku akan cerita jika memang sudah saatnya. Udah ah, jangan bahas ini!
Aku juga lagi nggak ingin memikirkan
ini.” Duh, maaf Mir, mungkin aku sedikit
berbohong. Aku memang sedang tak ingin memikirkan ini, tapi ternyata pikiranku
susah untuk diajak berhenti memikirkan ini. Ok, saat ini aku akan coba untuk berakting kalau aku sedang tidak
sedang memikirkan apa-apa malam ini. Ayo Lyla, tunjukkan kemampuan beraktingmu.
“Ya
udah kalo gitu jangan bengong lagi, ya!” Kata Mirna yang percaya pada
penjelasanku. “Ih, Lyla, Mirna, kalian ngomongin
apa sih? Ngobrol kok berdua aja!” Tiba-tiba Arlin datang sambil membawa baki
penuh makanan. Arlin memang terkenal suka makan di antara kami. Di bakinya
tampak steak, spageti, lasagna, dan satu pitcher cola. “ Waaaaa,
aku nanti nyobain lasagna-nya, ya. Tampak enak!” Kataku
mencoba untuk mengalihkan pembicaraan. “La, Dina mana, sih? Lama banget ke toiletnya?” Tanya Arlin.
“Aku susul Dina deh, aku juga mau ke toilet, nih!” Aku pun beranjak dari kursiku dan berjalan menuju toilet.
“Aku susul Dina deh, aku juga mau ke toilet, nih!” Aku pun beranjak dari kursiku dan berjalan menuju toilet.
Tiba-tiba aku melihat sosok yang sangat kukenal di luar jendela. Arik, mengapa ia ada di sini? Bukannya kamu sedang ada di Yogya? Mengapa ia tak mengabariku jika ia ada di Bandung ? Ah, kutelepon dia nanti setelah aku dari toilet.
“Eh, Lyla kamu ke toilet juga, ya?” Dina tampak sedang mencuci tangannya di wastafel toilet. “Iya nih aku kebelet juga.” Kataku sambil buru-buru masuk ke toilet.
Keluar
dari toilet, kutengok kiri-kanan. Mana
Dina? Mungkin dia sudah kembali ke tempat kami, pikirku. Aku keluar dari
kamar mandi. Kucari-cari tisu di saku jeans-ku.
Hampir saja aku menabrak seseorang karena aku menunduk mencari tisu.
“Ups..maaf, “ aku menengadahkan
kepalaku dan meminta maaf pada orang yang hampir kutabrak. Aku tertegun menatap
orang itu. Dia juga tertegun menatapku.
“Lyla!”
“Arik!”
Dadaku tiba-tiba berdebar dengan keras. Oh Tuhan, kenapa rasa itu masih ada?
Kenapa aku masih berdebar-debar ketika berhadapan dengannya?
“Eh, apa kabar, La?”
“Baik. Kamu? Kapan kamu datang dari
Yogya?”
“Oh.. aku dipindahkan ke Bandung
sejak sebulan lalu, “ kata Arik.
Deg!
Arik sudah sebulan di sini dan selama itu dia tidak mengabari aku. Ada perasaan
kesal menyelimuti hatiku. Apakah aku sudah tidak berarti lagi buatnya? Perasaan
kecewa tiba-tiba menghinggapi aku.
“Wah, asik dong, kembali lagi ke
sini,” aku berkata dengan nada pura-pura riang. Hanya untuk menutupi perasaanku
yang sebenarnya.
“Arik, udah cuci tangannya?” seorang
perempuan mendatangi Arik. Siapa dia?
Aku pun segera berlalu
dan kembali berkumpul dengan teman-temanku. Ugh, mengapa ia bisa secepat itu
melupakan hubungan kami? Tanpa banyak bicara aku pun menghabiskan makananku.
Arik, sosok yang masih kuharapkan selama ini. Mengapa ia bisa secepat itu mendapatkan penggantiku? Cukup lama kami menjalin hubungan sebagai pasangan kekasih. Suatu sore, ia berkata bahwa ia tak dapat melanjutkan hubungan ini. Ia memintaku untuk tidak lagi menunggunya. Saat itu, aku tak paham sepenuhnya dengan apa yang ia bicarakan. Aku terlalu kaget dengan apa yang ia utarakan dan bingung sendiri dengan perasaanku. Yang kuingat, aku hanya diam dan tak bicara sepatah katapun untuk menanggapi perkataannya. Di kamar, aku hanya menangis dalam tak mengertianku. Aku sedih, kesal, marah, dan kemudian aku memutuskan untuk diam. Prinsipku, jika seorang lelaki mengutarakan hal seperti itu berarti memang ia bukan lelaki yang kelak memang ditakdirkan untukku.
***
Doni, apakah aku harus menerima lamarannya? Aku belum lama
mengenalnya. Aku memang cukup terbuka pada Doni, namun tidak untuk membicarakan
mengenai hubunganku dengan Arik.
Kalau dipikir-pikir, apa sih yang kurang dari Doni? Ia supel,
peka, seorang dosen, dan cukup tampan! Jelas-jelas ia mengutarakan niatnya
untuk menikahiku. Namun, masalah hati sukar untuk dipaksakan. Ya, aku tidak
mencintainya. Aku belum mencintai Doni! Hubunganku dengan Arik memang sudah
berakhir, namun hatiku masih tertambat padanya.
***
“Arik, kamu sudah minum obatmu?”
“Sudah, Mah. Tadi pulang dari café,
Arik sudah minum obat. Oh iya, Mah, ada salam tadi dari Dokter Rifa. Dia akan
langsung kembali ke Yogya malam ini karena seminar di Bandungnya sudah
selesai.” Teriak Arik dari kamarnya.
Di kamar Arik tak bisa berhenti memikirkan Lyla. Gadis yang ia
tinggalkan sebulan lalu. Maafkan aku La, ini semua demi kebaikan kamu.
Aku tak ingin merusak kebahagiaanmu. Aku tak tega melihatmu bersedih karenaku, katanya dalam hati.
“Arik, cepat tidur! Besok pagi-pagi kita harus ke rumah sakit
lagi!” Teriak mama dari luar.
“Iya, Ma!”
Semoga aku tidak bermimpi tentang Lyla, pikir Arik. Sudah setengah jam Arik membaringkan badan di
tempat tidur. Namun, bayangan Lyla terus berputar-putar di kepalanya. Akhirnya,
Arik menyalakan lampu tidur. Ia kemudian mengambil salah satu buku dari rak. Mudah-mudahan dengan membaca buku, aku jadi
mengantuk, pikir Arik.
***
Pagi hari, ketika aku bangun, hal pertama yang kuingat
adalah Arik. Kugeleng-gelengkan kepalaku lagi. Enyah kau dari pikiranku! Aku bangkit dan menuju kamar mandi. Pagi
ini aku akan langsung ke rumah sakit karena ada janji bertemu dengan Dokter
Oswald. Sebagai medical representative,
aku memang sering bertemu ke rumah sakit untuk bertemu dokter. Dokter Oswald
adalah dokter ahli syaraf yang terkenal di Bandung. Setelah beberapa kali membuat
janji, baru kali ini aku berhasil menetapkan tanggal pertemuan kami. Jadi, aku
tidak boleh terlambat. Kesempatan emas tidak boleh lepas dari tanganku. Jam
9.00 aku sudah harus berada di rumah sakit.
***
Jam 8.45 aku sudah berada di ruang tunggu pasien
di depan kamar periksa Dokter Oswald. Beliau praktek mulai jam 10.00 pagi.
Rencananya sebelum beliau praktek, kami akan bertemu dahulu. Oh.. itu dia. Aku
bergegas menyambutnya. Dokter Oswald tersenyum dan menjabat tanganku. Kami pun
masuk ke ruangan Dokter Oswald.
***
“Terima
kasih, Dok. Sampai bertemu kembali, “ aku berpamitan pada Dokter Oswald dan
keluar dari ruangannya. Aku pun berjalan menuju ruang informasi. Suster Linda
mungkin sedang bertugas. Aku mau menyapanya dulu. Pagi ini rumah sakit sangat
ramai. Entah apakah karena hari ini hari Jumat atau karena sebab lain.
Ketika aku melewati bagian pendaftaran, aku
seperti melihat sosok yang kukenal. Kupertajam pandanganku. Benar, itu Arik
bersama mamanya. Siapa yang sakit? Ingin aku mendekatinya tapi aku ragu-ragu.
Akhirnya, aku hanya mengamatinya saja. Tidak berapa lama, aku melihat Arik dan
mamanya berjalan ke arah ruang periksa. Mereka berhenti di depan ruangan Dokter
Oswald. Aku bertanya-tanya dalam hatiku siapakah yang sakit? Perawat di ruang
Dokter Oswald keluar.
“Arik
Fathan!” Perawat mulai memanggil. Ia hendak memanggil untuk kedua kalinya
ketika melihat Arik dan mamanya berdiri. Aku terkesiap. Arik sakit? Sakit apa?
Aku baru saja hendak menuju ruang tunggu pasien ketika teleponku berdering.
“Hallo.”
“Lyla,
ada yang mau saya bicarakan. Ditunggu segera di kantor, ya. Kamu di mana
sekarang?” suara supervisor-ku.
“Saya
di Rumah Sakit Damai Sentosa, Pak. Saya segera ke sana.” Aku menjawab
Telepon itu mengurungkanku pergi ke ruang
tunggu. Aku segera pergi menuju kantor dengan pertanyaan berkecamuk di benakku.
***
Arik, kamu sakit apa? Pertanyaan itu yang tadi ingin
kuutarakan langsung padamu. Sebenarnya bisa saja aku menelepon atau menanyakan
hal ini padamu lewat SMS. Tapi itu urung kulakukan. Ah, sudahlah. Semoga kamu
baik-baik saja. Siang itu aku sulit berkonsentrasi di kantor. Rangkaian
peristiwa akan dirimu seakan diputar ulang dalam kepalaku. Ingatanku yang
paling baru adalah perjumpaan kita di café
Jumat lalu. Pada saat itu, aku terlalu fokus pada perempuan cantik yang bersamamu.
Sampai-sampai aku tak melihat betapa kini berat badanmu tampaknya turun dengan
sangat drastis. Hal ini sangat jelas terlihat tadi di rumah sakit. Arik yang
mengenakan sweater abu-abu sangat
terlihat kurus dibandingkan dengan Arik yang dulu. Ah, aku tak bisa
mengatur pikiranku untuk tidak terus memikirkannya. Ariiiiiiik, pergi kau dari
pikiranku! Ughhh, semakin berusaha aku untuk tidak memikirkannya, semakin kuat
ingatanku padanya.
***
“Lyla, tadi Tante Mili
bertanya pada Ibu, apakah kamu mau menerima lamaran Doni?” Tanya ibu padaku
ketika makan malam. Tante Mili adalah tetanggaku. Ia adalah tantenya Doni.
“Jika kamu setuju, nanti orangtua Doni akan dikabari agar segera ke Bandung
untuk melamarmu secara resmi.” Kata Ibu dengan tenang. Beruntungnya aku
memiliki orangtua yang sangat sabar dan demokratis. Walaupun usiaku sudah
hampir menginjak kepala tiga, namun orangtuaku tidak mendesakku untuk segera
menikah. Berbeda dengan temanku yang memang bernasib sama. Rata-rata mereka
memang sering dibombardir dengan pertanyaan klise, “Kapan menikah?” Atau dengan
kalimat sindiran, “Sudahlah sudah usia segini nggak usah pilih-pilih.”
“Ibu, menikah kan sekali
dalam seumur hidup, Lyla, sih,
inginnya bisa benar-benar kenal dulu dengan siapa Lyla akan menghabiskan hidup
nantinya. Lyla belum ingin buru-buru. Lagi pula, Lyla masih belum ada rasa sama
Doni Bu. “ Kataku sambil berlalu ke kamar.
“Lyla capek Bu, Lyla mau tidur aja ya.” Ibu
tampaknya paham dan tidak memperpanjang obrolan tersebut.
***
Di kamar, aku terus memikirkannya. Aku
memikirkan Arik, bukan Doni. Aku jadi teringat peristiwa enam bulan lalu saat
kami masih menjalin hubungan jarak jauh. Saat itu, ia sering sekali membatalkan
janji sehingga kami pun makin jarang bertemu. Ada saja alasannya. Padahal
biasanya, ia tak pernah absen mengunjungiku seminggu sekali. Ketika kami
bertemu pun, ia sering terlihat kurang sehat. Aku pernah bertanya padanya, tapi
ia hanya berkata bahwa ia kecapaian bekerja. Aku pernah ingin mengantarnya ke
dokter. Pada saat itu kamu tiba-tiba mimisan tapi kamu pun menolaknya.
“Tenang La, aku udah
bawa obat kok, kemarin aku baru dari dokter. “
Pernah juga pada suatu Sabtu ketika aku susah
menghubungi ponselmu, aku menelepon rumahmu dan adikmu mengatakan kalau kamu
sedang pergi ke rumah sakit. Aduh, apakah aku sangat tidak peka, ya? Ugh, tampaknya
aku harus meneleponmu sekarang. Baiklah, mungkin selama ini aku terlalu
egois dengan hanya memikirkan diri sendiri. Segera kuambil ponselku dan
memencet nomor ponselmu. Duh, kok,
susah dihubungi, sih? Aku mencobanya
berkali-kali namun tetap ponselmu tak bisa kuhubungi juga. Akhirnya aku mencoba
untuk menelepon rumahmu.
“Hallo, bisa bicara
dengan Arik?”
“Oh, maaf ini dengan
siapa, ya? “ Terdengar suara Mbok Ijah yang tak asing.
“Mbok, ini Lyla, masih
ingat dengan saya?”
“Mbak Lyla kemana saja?
Mbak, baru saja Mas Arik masuk rumah sakit, Mas Arik pingsan Mbak!”
Aku langsung lemas mendengar kabar itu.
“Arik sakit apa, Mbok?”
“Ehmm... Mbok tidak bisa
jawab, Mbak. Sebaiknya Mbak tanya Ibu Lena saja.”
Aku semakin curiga dengan sakitnya Arik. Kenapa
Mbok Ijah tidak mau mengatakannya padaku?
“Baiklah, Mbok. Nanti
saya tanya Tante Lena saja. Dirawat di mana Arik?”
“Di Rumah Sakit Damai
Sentosa, Mbak.”
“Oke, terima kasih, ya,
Mbok.”
Aku ingin secepatnya pergi ke sana. Namun,
tiba-tiba aku teringat perempuan cantik di cafe
tempat kami pertama kali bertemu lagi. Apakah
tidak berlebihan kalau aku langsung ke sana? Pikirku dalam hati. Tiba-tiba,
ponselku berdering. Aku melihat nama yang tertera di layar. “Doni”. Aduh! Kalau
Doni menanyakan jawaban atas lamarannya, aku belum dapat menjawabnya. Mau tidak
kujawab, rasanya tidak enak. Akhirnya aku menjawabnya.
“Hai, Don!”
“Hai, La. Lagi ngapain?”
“Nggak ngapa-ngapain.”
“Pergi, yuk! Mumpung aku
lagi ada di rumah Tante Mili. Aku bosan di sini. Gerry lagi pergi.” Gerry
adalah sepupu Doni. Aku menimbang-nimbang sebentar.
“Oke. Aku siap-siap
dulu, ya.” Aku mengiyakan ajakan Doni. Daripada aku teringat terus Arik, lebih
baik aku keluar dengan Doni.
“Oke. Nanti kujemput
lima belas menit lagi. Cukup?”
“Cukup.” Sepuluh menit juga cukup, kataku dalam
hati.
Akhirnya aku menghabiskan malam itu bersama
Doni. Untunglah Doni tidak menanyakan perihal lamarannya. Untungnya lagi,
selama dengan Doni, pikiranku bisa teralihkan dari Arik. Sesekali ingatan
tentang Arik datang. Entah mengapa, bersama Doni aku cepat sekali ‘lupa’ dengan
Arik.
“Thanks, ya, Don, untuk hari ini.” Aku berterima kasih pada Doni
sebelum kami berpisah.
“Untuk apa? Tumben kamu
bilang ‘thanks’, “ kata Doni.
Aku tersenyum. Thanks, karena kamu sudah mengalihkan pikiranku dari Arik, kataku
dalam hati.
***
Esok hari, aku ke rumah sakit karena ada janji
dengan Dokter Oswald lagi. Mumpung di rumah sakit, aku mau menjenguk Arik juga.
Aku menuju ruang informasi untuk mencari tahu kamar Arik. Setelah mendapatkan
informasi kamar Arik, aku berjalan menuju ke sana. Sampai di depan kamar Arik,
aku melihat perempuan yang bersama Arik waktu di cafe sedang menangis. Aku masuk ke kamar Arik. Papa dan mama Arik
sedang termenung menatap Arik yang terbujur kaku di hadapan mereka. Aku ingin
teriak tapi tak ada suara yang keluar dari mulutku. Tenggorokanku seakan
tercekat. Untuk menelan ludah saja terasa sulit. Tiba-tiba, aku merasakan ponselku
bergetar. “Doni” tertera di layar.
“Halo,
Don.” Suaraku terbata-bata.
“La,
apa yang terjadi? Kamu nggak apa-apa?” Doni tampak khawatir mendengar suaraku.
“Don,
Arik, Don. Arik meninggal.” Entah kenapa, begitu mendengar suara Doni, tangisku
langsung pecah.
“La,
kamu di mana? Tunggu aku di situ. “
Aku menyebutkan nama rumah sakit tempat aku
berada saat ini.
***
Di perjalanan, Doni pun tak henti-hentinya bertanya pada diri sendiri. Siapa Arik? Mengapa Lyla menangisi Arik? Ah, sudahlah. Aku harus segera menuju ke rumah sakit itu. Lyla sedang membutuhkan orang untuk berada di sisinya saat ini, pikir Doni.
Sesampainya di rumah sakit, Doni melihat Lyla sedang duduk bersama
seorang wanita paruh baya. Doni tidak langsung mendekat.
“Mbok, sejak kapan Arik sakit? Kok, Mbok nggak kabari saya?”
“Maafin Mbok, ya! Mas
Arik berpesan agar Mbak Lyla memang tidak diberi tahu mengenai sakitnya. Maaf
ya, Mbak.” Kata Mbok Ijah sambil tak henti-hentinya mengusap air mata.
Beberapa saat kemuadian keluarlah sepasang suami istri, mereka
kemudian memberikan sesuatu pada Lyla. Siapa mereka ya? Apakah
mereka orangtua Arik? Doni masih mengamati dari kejauhan. Doni
kemudian datang menemui Lyla.
“La, kamu nggak apa-apa?” Tanya Doni. Lyla langsung memeluk Doni
dan menangis kembali sejadi-jadinya.
***
Enam bulan kemudian.
Aku kembali lagi ke sini, duduk di sofa empuk yang menghadap
jendela di café ini. Café dengan sejuta kenangan. Aku sangat
menyukai café ini, café yang begitu tenang. Tak terlalu
banyak orang memilih duduk di sofa ini. Sofa ini memang spot favoritku karena cukup tersembunyi dan kurang strategis bagi
pengunjung yang ingin menyaksikan siaran TV kabel. Seperti biasa, aku memesan milktea dan juga seporsi lasagna. Kali ini aku sengaja
pergi ke café ini sendiri, tidak
bersama teman-temanku dan tentunya tidak bersama Arik. Café ini selalu kukunjungi bersama Arik jika ia datang ke Bandung.
Arik, nama ini terucap kembali. Arik, kamu adalah kenanganku,
kenangan yang akan mengisi hari-hariku. Kamu menyadarkanku kalau memang cinta
itu tak boleh egois. Cinta itu bukan berarti kebahagiaan sepihak. Cinta bisa
lebih bermakna jika kita dapat memikirkan kebahagiaan semua orang.
***
Pada hari itu, di rumah sakit, ayah ibumu memberiku surat. Surat
darimu. Surat yang kau tulis dengan penuh cinta untukku. Di situ kau
menjelaskan semuanya, semua tanda tanya yang ada dalam pikirku akan dirimu
termasuk perempuan di cafe itu.
Ternyata ia adalah dokter yang merawatmu saat kamu berada di Yogya. Lamunanku
terhenti ketika kurasakan getar ponsel dari saku jaket pink-ku. Ternyata itu SMS dari Doni.
Hi, La! Aku sedang di taman tulip, nih. Indah banget. Nanti aku
kirim fotonya, ya, La. Eh, kamu sudah makan, kan? Cepet maka! Jangan kebanyakan
bengong, ya, La!
Doni, ia adalah sosok pria yang baik, sama seperti dirimu, Rik.
Namun aku tak mau egois. Aku ingin dapat sepertimu, Rik. Sebulan setelah
kejadian di rumah sakit itu, akhirnya aku bisa menceritakan semua hal tentang
Arik padanya. Aku pun menjelaskan juga tentang perasaanku pada Doni. Saat ini,
aku menganggapnya sebagai sahabat, tidak lebih. Aku tak ingin ‘mengikatnya’ dengan
terus meminta berada di sisiku. Aku ingin dia mendapatkan perempuan yang
mencintainya. Dua bulan yang lalu Doni pergi ke Belanda untuk mengambil program
master. Kuharap ia bisa menemukan perempuan yang cocok. Aku pun di sini akan
belajar untuk membuka hati bagi lelaki lain.
***
Doni terus memandangi layar ponselnya. Berharap Lyla segera
membalas SMS-nya. Taman tulip yang indah ternyata tak dapat mengobati
kerinduannya pada Lyla. Doni pun paham bahwa ia tak boleh egois. Lyla,
tahukah kau, aku pun ingin melihatmu bahagia. Aku akan bahagia jika kau sudah
menemukan kebahagiaanmu, bahagia yang kau tunggu-tunggu selama ini.
***
Hari ini, genap enam bulan Doni pergi ke
Belanda. Beberapa kali aku melihat layar ponselku. Tidak ada SMS atau miscall dari Doni. Sudah sebulan ini
Doni mulai jarang menghubungiku. Biasanya, minimal satu SMS dia kirim setiap
harinya. Tapi kenapa akhir-akhir ini seminggu sekali pun tidak? Kenapa aku
merasa kehilangan? Mungkinkah Doni sudah bertemu seseorang di sana. Kenapa aku
sedih ketika memikirkan itu? Akhirnya, aku mengetik SMS untuk Doni.
“Don, lagi ngapain kamu?
Don, kalau kamu sudah menemukan seseorang di sana, kabari aku, ya. “
Aku membaca pesan itu sekali lagi. Sent. Delivered. Aku menatap layar
ponsel, menunggu balasan dari Doni. Satu menit, dua menit, setengah jam, satu
jam. Tidak ada balasan. Aku tinggalkan ponselku di kamar. Perasaanku campur
aduk. Aku tak mengerti dengan diriku sendiri.
Esok hari, baru aku dapatkan balasan dari Doni. “Oke.” Hanya itu balasannya. Hanya itu.
***
Doni memandang hamparan salju di hadapannya.
Cuaca dingin menusuk tulang membuatnya mengencangkan coat panjang dan tebal yang dipakainya. Ia tersenyum setelah kata ‘delivered’ tertera di layar ponselnya.
Doni membaca lagi SMS dari Lyla yang diterima beberapa jam lalu.
“Don, lagi ngapain kamu? Don, kalau kamu sudah menemukan seseorang
di sana, kabari aku, ya. “ Ia sengaja tidak
langsung membalas SMS.
“Ya, aku sudah menemukan
seseorang, La. “ jawab Doni sambil tetap tersenyum. Ah... such a beautiful winter, ucap Doni dalam hati.
***
Jawabannya Cuma, “Oke.” Tak ada SMS lagi sesudah itu. Kemana sih, anak itu? Aku jadi semakin sering bertanya-tanya mengenai
Doni. Sekarang, aku yang sering mengiriminya SMS. Tapi, tidak setiap pesanku
dia balas. Mungkin dia sibuk di sana.
Tok! Tok! Tok!
Suara pintu diketuk. Ke mana Ibu?
Tok! Tok! Tok!
Kemana orang-orang?
“La, tolong bukakan
pintu! Ibu sedang tanggung, nih, lagi maskeran.”
“Iya, Bu.”
Aku bangkit dari tempat tidur dan menuju pintu.
Kubuka pintu. Aku ternganga.
“ Hai, La. Kamu kangen
aku, nggak?”
Doni! Aku mengucek mataku. Apakah aku bermimpi?
Sosok itu tersenyum. Senyum yang selama ini diam-diam kurindukan. Aku meraba
tanganku dan kucubit kulitku. Sakit. Aku meringis. Sosok di depanku semakin
lebar senyumnya dan mulai tertawa. Ia kemudian mengacak-acak rambutku. Benar,
ini kenyataan, bukan mimpi. Aku tersenyum. Tiba-tiba, aku merasakan musim semi
di hatiku.
***
Kolaborasi Iin Indriyati & Dhika Mustika
Bandung, Mei 2013