23.7.13

Seperti Kunang-kunang

Aku tidak sanggup lagi untuk berteriak. Suaraku sudah hampir habis, tenagaku sudah terkuras. Aku lemas. Kuraba dinding di sekitarku. Penuh dengan batu-batu cadas. Kulitku perih karena tergores cadas-cadas itu. Namun, perih tak kurasakan. Yang kurasakan adalah perasaan takut dan cemas karena hari sudah mulai gelap. 

Aku tidak tahu sudah berapa lama terjebak di sini. Jam tangan kusimpan di dalam tas ketika aku mau pergi ke sungai untuk mengambil air. Seingatku, saat aku jatuh, matahari masih bersinar. Sekarang, matahari sudah berangsur tenggelam. Aku tersesat dan terjatuh di lubang ini. Ranting-ranting dan dedaunan kering mengaburkan kewaspadaanku. Mungkin ini adalah jebakan harimau. Beruntung tidak ada tombak di dalam lubang ini. Aku bergidik ngeri membayangkan tubuhku tercabik-cabik tertusuk tombak. Sebaris untaian syukur kupanjatkan karena tubuhku masih utuh. Goresan-goresan di sana-sini tak sebanding dengan bayangan tubuhku berlubang-lubang. 

Kukumpulkan sisa-sisa tenagaku. Aku berdoa dalam hati semoga ada orang yang lewat dan mendengar sisa suaraku. Aku kembali berteriak untuk kesekian kalinya. Sunyi. Hanya desir angin yang bertiup menggoyangkan dedaunan. Bunyi pohon bambu berderit membuat bulu kudukku mulai merinding. Aku teringat mitos saat aku kecil. Pohon bambu adalah pohon tempat berkumpulnya para jin. 

Kulayangkan pandanganku ke atas. Tinggi jurang ini sekitar tiga meter, tapi aku sudah tidak bisa lagi menatap langitnya. Semua gelap. Aku kembali berteriak. Sekali, dua kali, tiga kali. Suaraku benar-benar habis. Air mataku mulai mengalir. Aku teringat keluargaku, teman-temanku, dan musuh-musuhku. Ketakutan mulai menyelimuti. Aku mulai pasrah. Doa-doa mulai kupanjatkan. Tuhan, kalau ini adalah hari terakhirku, tolong ampuni aku. Tuhan, jaga keluargaku, maafkan musuh-musuhku. Aku pasrah. Kupandang langit yang gelap gulita. Tiba-tiba.....

Setitik cahaya kulihat di atas sana. Harapan! Aku melihat ada harapan. Aku berteriak sekuat-kuatnya. Kukerahkan sisa-sisa tenaga dan suaraku untuk berteriak lagi. Perlahan-lahan, titik-titik cahaya semakin banyak. Seperti sekelompok kunang-kunang yang sedang menikmati malam. Harapanku semakin besar, semangatku semakin kuat. 

"Gilda! Kamukah di sana?" Suara seseorang di atas sana.

Aku menangis. Kali ini tangis gembira menyongsong harapan. Aku selamat! Terima kasih, ya, Allah! Betul. Aku Gilda. Kuberkata pada diriku sebelum berteriak menyahut menyambut harapan.

                                                          ***
#14DaysofInspiration, harapan.

No comments:

Post a Comment