14.7.13

Panti Jompo

Chantigi salut pada Karindra karena jiwa sosialnya yang tinggi. Bagaimana tidak, setiap bulan, Karindra selalu pergi ke panti jompo. Panti jompo yang berbeda-beda. Chantigi beberapa kali pernah ikut dengan Karindra. Di sana, Karindra mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Mencuci baju penghuni, membersihkan kamar, menyuapi kakek-nenek yang sudah sangat renta, mengobrol, membacakan cerita, menunggui nenek-nenek sampai tertidur, dan lain sebagainya. Ia tidak merasa riskan dengan kamar yang beraroma pesing dan balsem. Karindra tetap tersenyum dengan omelan penghuni yang kadang tidak jelas ditujukan pada siapa dan penyebabnya apa. Ia tetap sabar melayani mereka. Sementara Chantigi berusaha keras menahan dirinya supaya tidak muntah karena aroma-aroma itu.

Pertama kali Chantigi ikut ke panti jompo, ia tidak bertanya apa-apa pada Karindra. Sampai ia menemukan bahwa Karindra sering mengunjungi berbagai panti jompo yang berbeda di mana pun ia berada termasuk saat ia berlibur atau bekerja ke luar kota. Karindra akan melakukan hal yang sama di semua panti jompo. Keheranan mengusik Chantigi dan membuatnya ingin tahu apa motif sebenarnya di balik itu.

     "Kenapa kamu suka sekali pergi ke panti jompo?" Tanya Chantigi suatu ketika.
     "Hanya ingin berbagi," jawab Karindra. 

Setidaknya, apa yang dilakukan Karindra berpengaruh juga pada Chantigi. Ia jadi sering ikut pergi dengan Karindra. Bagus, kan?
                                                          
                                                              *** 
Suatu malam, Chantigi dan Karindra sedang menonton televisi di rumah kos mereka. Stasiun televisi yang mereka tonton menayangkan berita tentang gempa bumi yang kembali mengguncang Aceh. Chantigi langsung melihat Karindra. Karindra menatap layar kaca tanpa teralih. Wajahnya pucat, raut mukanya tegang, dan air mata meleleh di pipinya. Chantigi bertanya apakah ia perlu memindahkan saluran televisi?  Karindra tidak menjawab, tapi ia menggangguk. Aceh adalah tempat asal Karindra. Hanya itu yang Chantigi tahu. Karindra menutup diri tentang diri dan keluarganya. Ia tidak bercerita banyak kecuali bahwa ia berasal dari Aceh. Chantigi memindahkan channel televisi ke acara lain. 

Karindra menyusut air matanya. Tiba-tiba saja, Karindra berbicara tanpa diminta atau pun ditanya oleh Chantigi. Gempa bumi mengingatkan Karindra pada bencana tsunami yang melanda Aceh. Kampungnya porak-poranda. Rumahnya tak bersisa. Ia kehilangan kontak dengan nenek dan kakeknya, keluarga yang selama ini membesarkannya. Ayahnya sudah meninggal ketika ia kecil. Ibunya meninggalkannya setahun setelah ayahnya 'pergi'. Karindra sudah mencari ke mana-mana tapi kakek dan neneknya (bahkan jasadnya jika mereka sudah meninggal) tidak juga ditemukan. 

     "Aku sering ke panti jompo dengan harapan bertemu Kakek dan Nenek, jika mereka masih hidup. Membantu panti jompo adalah caraku menghormati Kakek dan Nenek. Bentuk bakti dan ucapan terima kasih yang belum sempat kuberikan pada Kakek dan Nenek. Aku  merasa dekat dengan Kakek dan Nenek ketika aku berada di panti jompo." 

Karindra kembali menghapus air matanya. Chantigi terdiam. Ia teringat pada ayah, ibu, kakek, dan neneknya. Ia belum pernah melakukan 'penghormatan' pada mereka. Seharusnya ia banyak bersyukur karena keluarganya masih lengkap.


#14DaysofInspiration, hari ke-4: respect.

No comments:

Post a Comment