28.2.15

Untuk Penghujung Februari

Hai, Penghujung Februari!

Kau tahu? Sekarang mendung menggantung setelah panas menyengat. Sebenarnya, sudah sejak beberapa hari lalu aku ingin menulisnya. Menceritakan suatu kisah tentang 23-26 Februari setahun lalu. Sedikit hari tapi memenuhi sebagian besar ruang memori. Serangkaian peristiwa menyenangkan yang patut diulang. Satu petualangan yang pantas dikenang. Dimulai dengan deringan telepon untuk saling membangunkan, menjelajah dunia baru hingga kaki pegal. Berlarian mengejar bus terakhir dan berakhir dengan berendam kaki di bath tub sambil saling bercerita. Sungguh kenangan indah yang tak terlupakan.

Sayangnya, waktu tidak pernah bisa diputar kembali. Sayangnya juga, kesibukan yang demikian padat hanya menyempatkan kenangan itu diulas sekilas. Kehidupan yang terus berjalan, kesibukan mengaduk sisi emosional, membuat keadaan tidak sesuai harapan. Kegembiraan berganti kekecewaan, kebersamaan berganti kesendirian, keramaian berganti kesepian, kesenangan berganti kekesalan, rasanya memenuhi udara akhir Februari. Kenangan itu pada akhirnya berlalu tak terasa, padahal aku ingin menempatkannya pada satu masa yang berharga.

Tidak, tidak!


Aku tetap akan menempatkannya sebagai kenangan berharga. Masa itu adalah masa di mana aku mengenal jauh menjadi dekat, teman menjadi saudara, tak bisa menjadi bisa, takut menjadi berani (bahkan tawa), dan sahabat menjadi keluarga. Aku tidak tega meninggalkan momen itu berlalu begitu saja, meski hanya bisa dikenang. Aku ingin mengulangnya, walaupun tidak akan sama. Aku ingin menutup Februari dengan gembira. Meninggalkan duka nestapa, menggantinya dengan bahagia.

Hai, Penghujung Februari!
Mendung sudah berganti menjadi hujan. Gerimis membuat bunyi teratur di atap rumah. Beberapa jam lagi, hari akan berganti. Maret sedang menjelang. Semoga saja, Maret akan menjadi awal kebahagiaanku. Aku ingin merajut peristiwa menjadi ingatan-ingatan yang pantas dikenang, menyiasati waktu yang tak berkenan diputar ulang.

Februari, jika Tuhan berkenan, kita akan jumpa lagi tahun depan. 

22.2.15

Surat Untuk Sang Penguasa Waktu

Wahai Sang Penguasa Waktu, 
Terima kasih Kau beri aku tambahan usia. Engkau sungguh Hebat. Pasti Kau sudah merencanakan setiap detik, menit, jam, hari, bulan, dan tahun kehidupan manusia. Tak ada manusia yang mampu melakukan itu. Pasti Kau juga sudah punya rencana bagi tambahan usiaku. Karenanya, selalu ada cerita seiring dengan itu.

Wahai Sang Penguasa Waktu,
Tentunya Engkau ingat bertahun-tahun lalu, Kau memberiku sebuah pisau. Aku tolak dengan keras saat itu. Kau tentu tahu alasannya. Ya, aku takut memegang pisau itu. Aku takut pisau itu akan melukaiku. Aku takut, dengan pisau itu aku tidak bisa membelah benda sama besar. Dan aku berhasil menolaknya saat itu.

Wahai Sang Penguasa Waktu
Kali ini, kau beri lagi aku kesempatan memegang pisau dan aku menerimanya. Pisau yang berat dan tajam. Pisau khusus bermata banyak. Kali ini, benda yang harus kupotong lebih banyak dan lebih besar.
Dengan pisau itu, aku mengasah diriku untuk menjadi lebih tajam. Tapi, seperti buah simalakama (sesungguhnya, aku belum tahu buahnya seperti apa). Ketika pisau itu belum tajam, aku menggesekkannya berulang kali pada batu pengasah. Dengan mata pisau yang banyak, aku harus berhati-hati memegangnya supaya tidak terluka. Susah, lelah, dan sakit rasanya. Kadang, ketika aku mengarahkan pisaunya dengan maksud baik, orang lain menyangka sebaliknya. Ketika aku menggunakan pisau untuk membelah, orang lain tidak puas dengan hasilnya. Dengan pisau itu, mungkin sebagian orang membenci aku, menjelekkan kemampuanku memegang pisau, menertawakan bahwa aku bukan orang yang tepat untuk memegang pisau. Sedih sekali rasanya. Yang terakhir itu sungguh membuatku sakit. Tanpa kukatakan alasannya, Kau pasti sudah tahu. Kau tentu ingat, sudah berapa banyak air mata tumpah karena itu. Belum lagi air mata-air mata lainnya sesudah itu yang hanya Kau saja yang tahu. Wahai Sang Penguasa Waktu, akhir-akhir ini, mataku mudah sekali mengeluarkan air. Harapku, tak ada lagi air mata yang mengalir karena cemoohan, ejekan, ketidakpercayaan, atau keputusasaan. Aku tahu, Kau mengizinkanku memegang pisau untuk membuatku menjadi orang yang lebih kuat, lebih bijaksana, dan lebih baik baik lagi. Aku juga tahu, Kau ingin aku banyak belajar ilmu-ilmu kehidupan, nilai-nilai moral, dan warna-warni dunia.

Wahai Sang Penguasa Waktu, 
Beri aku waktu untuk belajar. Dampingi supaya aku bisa menggunakan pisau itu dengan bijaksana. Jadikan ejekan, cemoohan, tertawaan itu sebagai pelebur dosaku. Tidak ada dukungan yang lebih berarti selain dukungan dari-Mu.

Wahai Sang Penguasa Waktu,

Sekarang, beri aku waktu sejenak untuk mencari tiket-tiket murah. Kebutuhan untuk melihat dunia begitu mendesak dalam tubuhku. Terima kasih karena Kau mau membaca suratku.  

15.2.15

Surat Untuk Aku

Ini surat pertama untuk diriku. Sebab rasa rindu yang membuncah dengan amat sangat. Aku rindu pesawat. Sungguh! Seperti setahun lalu. Euforia bersama sekelompok manusia atau pergi sendiri terasa menggairahkan jiwa. Penuh keriangan dan semangat berpetualang. Tak mengeluh meskipun harus bangun dini hari karena jadwal take off pagi hari. Dering suara ponsel berkali-kali hanya sekedar memberi tanda bahwa sekarang saatnya bangun. Berkumpul di bandara pada saat pintu bandara masih tertutup rapat. Tubuh-tubuh di atas bangku ruang tunggu melenguhkan nafas perlahan. Entah sejak kapan mereka tertidur lelap. Tas-tas dan koper-koper bergeletakan tak tahu siapa pemiliknya. Mini market dengan kopi instan buka 24 jam. Hiruk pikuk kala pintu bandara di buka terjadi di pagi buta. Orang lalu-lalang bersliweran menarik koper. Antri  panjang melintasi penjaga, sensor bagasi, check in, imigrasi, rasanya masih kuat di ingatan. Aku merindukan keriuhan saat itu. 

Aku rindu pesawat. Sungguh! Setiap beberapa menit, pesawat yang melintas di depan mata membuat kawah dalam diriku . Kawah keinginan yang bisa meletus. Aku ingin mengulang kenangan setahun lalu. Berada di dalamnya, semangatku membara. Ketika memandangnya, rasa takjub mendera. Ketika meninggalkannya, aku merindukannya. Kejenuhan, ketidakpercayaan diri, keputusasaan terhadap rasa percaya yang kurasa tak kunjung ada, tusukan dari belakang yang tak disadari, rasa kecewa, komentar-komentar yang menjatuhkan, tangisan diam-diam, membuat aku enggan membuka mata setiap pagi, mengumpulkan rasa ingin pergi. Aku ingin terbang jauh. 

Aku rindu pesawat. Sungguh! Seperti setahun lalu. Kenangan yang sering menyeruak tanpa diminta. 

8.2.15

Keluarga -i-

Hai, Gerimis!
Akhir-akhir ini kau datang setiap hari. Tak apa-apalah, asalkan gerimismu tak menjadi banjir.

Gerimis, aku mau cerita tentang sebuah keluarga. Aku menyebutnya keluarga –i-. Sebuah keluarga yang terbentuk bukan karena pertalian darah. Tapi, hubungan kami bisa jadi seerat hubungan darah. Tawa, tangis, suka, duka, kami alami bersama. Saling dukung, saling canda, saling cerita. Hanya pada keluarga itulah aku bisa terbuka. Aku bisa menahan air mata, tapi tidak di depan keluarga itu. Hanya dengan membaca pesan dari keluarga –i-, pertahananku bisa runtuh.

“Jangan nangis sendirian!” Biasa aku dengar dari mereka.
 Move on!” teriakan yang jadi trending topic di antara kami. Sesudahnya, kami akan tertawa bersama. Mengutak-atik foto kemudian menyebarkannya di antara kami menjadi salah satu hiburan bagi kami. Jalan-jalan, makan, mengobrol, sudah menjadi kebiasaan.

Apakah kami tidak pernah konflik? Tentu saja pernah. Aku pernah kena marah. Didiamkan begitu saja oleh mereka. Kadang tanpa tahu apa yang salah. Tapi kami bisa rukun kembali.

Aku suka. Setiap hari selalu ada cerita. Apapun topiknya. Lelaki masa lalu, lelaki sekarang, liburan, kekesalan, kenangan, semuanya. Hidupku jadi semakin berwarna.

Gerimis, katanya, saat hujan adalah waktu di mana doa kita akan dikabulkan. Jadi, aku mau berdoa.

" Ya Tuhan, semoga selamanya kami selalu jadi keluarga. Semoga kami bisa tetap saling dukung, saling canda, saling cerita."

Gerimis, tolong sampaikan salamku pada mereka.
Selamat berakhir pekan. 

Dari aku yang mereka panggil 'Lin'.

1.2.15

Dear Kei,

 

Dear Kei,

Kei, dingin sekali di sini. Mungkin tak sedingin musim gugur (apalagi musim salju) di tempat tinggalmu. Rasa dingin ini mengingatkanku pada satu gunung tinggi dengan puncak bersalju. Entah kenapa, melihat foto itu, justru hatiku jadi hangat. Kenapa? Karena, 

aku ingat betapa senyummu sangat menenangkan,

aku ingat kata-katamu yang menentramkan,

aku ingat ucapanmu yang memberikan semangat,

aku ingat saat kau menawarkan bantuan,

dan yang paling aku ingat, ketika kau memberikan komentar tentang tulisan di komputerku. Saat itu, kita duduk berdampingan untuk transfer video. (Sayangnya, saat itu kita tidak berhasil memindahkan video tersebut).

Kenal denganmu menumbuhkan semangatku untuk menjalani hidup. Mungkin kau tidak tahu, dirimu membawa pengaruh terhadapku. Bahkan, mungkin kau sudah tidak ingat padaku. Tak apa. Tak masalah buatku. Aku hanya ingin berkata,

“Terima kasih, Kei. Kau orang yang baik. Sungguh! Terima kasih karena kau sudah pernah mampir dalam hidupku.”


Kei, mudah-mudahan, suatu saat kita bisa bertemu lagi. 
Mudah-mudahan, aku bisa memandang gunung bersalju (yang kau banggakan itu) dari kotamu.

#1 Februari 2015 di pagi yang dingin.