28.4.13

Di Kafe, Suatu Sore

           “Kamu berubah.”
Suara hening dan suasana temaram di kafe ini dipecahkan oleh suara Thania. Bau rokok dari luar berhembus ke tempat kami berbicara.
            “Kamu juga, “ jawabku.
Jangan, jangan bayangkan kami, dua perempuan yang sedang beradu mulut dengan suara tinggi. Apalagi saling menjambak. Kami duduk berhadapan, dengan taraf suara normal. Kami tidak sedang bertengkar. Bukan juga dua kawan yang sudah lama tidak bertemu. Kami berdua setiap hari bertemu karena bekerja di tempat yang sama. Hanya sekarang-sekarang ini kami memang mulai jarang saling bercerita.
            “Berubah apanya?” aku bertanya pada Thania.
            “Dulu, kalau aku bercerita, kamu akan memberikan komentar dengan tenang. Akhir-akhir ini, waktu aku cerita padamu, tanggapanmu berbeda. Agak keras, “ Thania menjelaskan padaku. Aku termenung, mencoba mengingat-ingat apa saja topik yang belakangan aku bicarakan dengan Thania. Aha..dua topik terakhir yang kami bicarakan adalah tentang ketidakhadiran Thania pada suatu acara dan masalah dalam divisi Thania. Ya, kami memang berbeda divisi.
           “Oh, yang itu, ya.” Aku tidak menjelaskan tentang yang ‘itu’ tapi Thania mengiyakan. Sepertinya kami memikirkan hal yang sama. “Hal itulah yang membuatku mengatakan kamu berubah, Thania,” aku melanjutkan. Thania terdiam, seakan menunggu melanjutkan berbicara. Aku pun melanjutkan.
           “Thania yang aku tahu adalah Thania yang bertanggung jawab. Ketika aku tahu kamu bolos pada saat acara itu padahal kamu penanggung jawabnya, aku merasa kamu bukan Thania yang aku kenal, “ aku mulai berbicara lagi. Thania tercenung. Entah apa yang dipikirkannya. Apakah ia setuju atau tidak dengan pendapatku, aku tidak tahu.
 “ Saat itu, aku merasa bahwa masalah yang sedang menimpamu benar-benar berat dan mungkin kamu sudah tidak mampu menahannya sehingga akhirnya kamu memutuskan untuk tidak datang pada acara itu,” aku berhenti. Thania masih termenung. Ia memotong steak-nya dan menusukkan garpu pada potongan steak itu. Di luar, hari sudah semakin gelap. Aku menunggu Thania berbicara. Tapi, ia tak kunjung bersuara. Jadi, aku bersuara lagi.
“Maafkan aku yang sudah berkata ‘pedas’. Aku ingat aku mengatakan bahwa setiap orang penah melakukan kebodohan. Mungkin kata-kata itu juga yang membuatmu kaget, Thania. Mungkin kamu berbeda pendapat. Sungguh, aku tidak pernah punya maksud untuk menyakitimu. Aku hanya merasa peduli padamu. Jika kamu lupa, aku berusaha menyadarkanmu. Sebagai temanmu, aku berusaha untuk membantumu keluar dari masalah yang menekanmu. Jangan kau pendam sendiri masalahmu. Kamu butuh melepaskan segala unek-unek yang kau rasakan. Sepertinya kamu benar-benar mengalami masa-masa sulit. “ Thania masih diam. Apakah ia marah? Ataukah ia sedang merenungkan ucapanku? Aku sama sekali tidak tahu.
“Ya, mungkin keputusanku salah waktu itu, “ akhirnya aku mendengar suara Thania. Syukurlah, dalam hati aku bersyukur mendengar suaranya.
“Satu lagi, masalah yang kita bicarakan di lab. Aku tidak bermaksud untuk berkata keras padamu. Mungkin kekesalan mendorongku bernada agak keras. Melihat permasalahan itu, aku hanya melihat adanya kesalahpahaman. Itulah yang membuat aku kesal. Maafkan aku, “ aku memandang Thania yang sekarang sedang meminum jus-nya. Aku mengambil ice cappucino dan meminumnya. Kuambil pisau dan mulai memotong steak. Kami berdua sama-sama diam. Bau rokok kembali menyebar di ruangan ini.
 “Than, jangan kau pendam sendiri masalahmu. Kamu butuh keluar dari rutinitas. Itu yang menekanmu,” untuk kesekian kalinya aku mengajaknya untuk ‘keluar’ dari kungkungan tembok-tembok rutinitas. Ia masih tetap terdiam. Ada apa dengan Thania? Kenapa ia jadi pendiam sekali.
“Kei, kamu berubah, tapi kamu tetap temanku, “ suara Thania memecah keheningan kami.

Aku tersenyum. Kuhabiskan steak. Hari semakin malam. Aku dan Thania keluar. Senang atau tidak, setiap manusia mungkin akan mengalami perubahan. Life is not flat. Thania, aku peduli padamu, bisikku saat kami berpisah. Aku ingin bertemu Thania yang dulu. Bagilah masalahmu. Jangan kau pendam sendiri. Apakah kamu ingin bertemu Keisha yang dulu juga? Aku mulai melangkah pergi, meninggalkan kafe yang sering kami datangi.

Bandung, 
Minggu pagi.

26.4.13

Taman di Atas Bukit

Taman itu terletak di atas bukit. Kujadikan sebagai tempat melepas kepenatan. Fisik dan psikis. Alam sekitar yang kupandangi dari taman di atas bukit ini menenangkan jiwaku. Baca buku, mendengarkan musik, atau hanya sekedar memandangi anak-anak bermain ayunan. Aku ‘menemukan’ taman itu setahun lalu. Suatu peristiwa tiga bulan lalu membuatku lebih sering lagi datang ke sana. Keluarga dan sahabatku sampai heran dengan ‘ketagihanku’ pada taman itu. Setiap Jumat sore, selepas aku mengajar, aku berdiam diri di taman itu. Dugaan-dugaan rasa ingin tahu teman-temanku kemudian berkembang menjadi gosip tak bertanggung jawab. Kebanyakan mereka menduga aku ke sana karena bertemu pacarku.

Rakha, adikku, pernah bertanya, “Mbak, kamu ke sana ketemu siapa, sih? Sepulang dari sana, wajahmu selalu berseri-seri. Cowok, ya? Kenalin dong, Mbak?”

Aku heran. Setiap kali aku merasa senang, orang-orang di sekitarku sering menyangka pasti berhubungan dengan seseorang.  Padahal, sampai sekarang, aku masih single fighter. Setiap kali kutantang mereka untuk ikut denganku, mereka menjawab, “Takut ganggu.” Ya, sudah. Toh aku tidak terlalu memusingkan hal itu. Seperti juga hari ini. Untuk kesekian kalinya aku mendaki bukit ini dan duduk di sana.

Betul, aku memang bertemu dengan seorang lelaki setiap kali aku ke sana. Sekali lagi kutegaskan, lelaki itu bukan pacarku. Aku menganggap beliau sebagai guruku. Aku, seorang guru yang berguru pada maha guru. Mengapa? Tiga bulan lalu, pertemuan tidak sengaja telah terjadi. Aku yang sedang berada di tengah kegalauan datang ke taman ini. Perasaan tidak mampu sedang menyelimutiku saat itu. Aku baru sembilan tahun menjadi guru. Saat itu, aku merasa aku tidak sanggup membuat murid-muridku menjadi anak yang senang belajar. Aku merasa gagal. Tugas-tugas rutin mengajar dan administrasi kurasakan sebagai beban. Sampai aku bertemu lelaki itu. 

Lelaki tua itu melihat kegalauan di mataku. Beliau duduk di sebelahku. Ia mulai mengajakku bicara tentang hal-hal ringan seperti cuaca, kemacetan, udara panas, dan sebagainya. Juga berkomentar tentang suara riuh rendah anak-anak yang bermain di taman itu. Beberapa diktat dan buku yang kubawa serta dengan mudah menunjukkan profesiku.
                “Opa juga dulu seorang guru, “ beliau ‘buka kartu’ dan menyebut dirinya ‘Opa’.
                “Wah.. Opa, sama dong dengan saya, ” aku ikut-ikutan memanggil ‘Opa’.
                “Sudah berapa tahun menjadi guru?”
                “Baru jalan sembilan tahun, Opa, “ jawabku.
                “Sudah lama.”
                “Ah.. Opa, baru sebentar, kok.”
Mulailah kami membicarakan profesi kami. Kecermatan yang dimiliki Opa dalam menebak apa yang sedang kualami membuatku tak bisa menutupi apa yang sedang terjadi. Aneh. Aku dengan mudahnya bercerita tentang apa yang kurasakan. Padahal, aku bukan orang yang mudah berbicara tentang perasaan. Apalagi pada orang baru. Kecuali pada papa. Opa adalah orang kedua yang bisa membuatku terbuka setelah papa.

Sejak itu, kami sering bertemu. Aku berguru pada Opa bagaimana menjadi guru. Opa mengajariku tentang apa itu guru dan bagaimana menjadi guru.

Suatu ketika, aku merasa sangat malu. Saat itu, aku dan Opa bertemu lagi. Aku bertanya pada Opa sudah berapa lama ia menjadi guru. Opa menjawab kalau Opa ‘baru’ 40 tahun menjadi seorang guru. Sejak pertama bekerja, Opa sudah memutuskan untuk menjadi guru.
                “Apa yang membuat Opa begitu betah menjadi guru selama 40 tahun?” waktu itu aku bertanya pada Opa. Saat itu, Opa menjawab sambil tersenyum.
                “Ketika Opa memutuskan bahwa Opa menjadi guru, saat itu pulalah Opa melakukan kontrak tidak tertulis dengan diri Opa. Opa harus komit terhadap apa yang sudah Opa putuskan. Itu bentuk tanggung jawab terhadap keputusan yang Opa buat. Termasuk resiko yang harus Opa tanggung.”

Aku terdiam. Serasa tertusuk-tusuk hatiku mendengar penjelasan Opa. Usia profesiku baru seumur jagung bila dibandingkan dengan usia pengabdian Opa. Namun, aku sudah begitu banyak mengeluh. Aku malu.
***
Untuk kesekian kali kami bertemu lagi. Sekarang sudah menjadi semacam rutinitas di Jumat sore. Teman-temanku semakin curiga. Keluargaku juga. Apa kata mereka jika tahu aku pergi menemui seorang kakek-kakek tua dengan rambut putih di seluruh kepalanya? Akankah mereka menggosipkan aku seperti dulu? Aku tidak peduli. Yang aku pedulikan bahwa jiwaku merasa tenang setiap kali aku bertukar pikiran dengan Opa. Aku bercerita pada Opa tentang rekanku yang sedang terkena masalah. Ia sudah lama tidak datang bekerja.
                “Tenang saja. Ia akan kembali. Ke mana lagi seorang guru akan pergi kalau bukan ke sekolah?”

Kembali jantungku seakan tertusuk oleh perkataan Opa. Teringat olehku bahwa aku kadang merasa sangat malas untuk pergi ke sekolah.
              “Opa, apakah kalau aku malas ke sekolah berarti aku bukan guru?” aku bertanya pada Opa.
                “Sera, menjadi guru adalah panggilan jiwa. Kamu akan bisa merasakannya apakah jiwamu terpanggil untuk menjadi guru, atau hanya merasa ‘terpaksa’ menjadi guru.

Aku semakin malu pada diriku dan pada Opa. Juga pada Papa, jika beliau masih hidup. Papa juga seorang guru yang terus mengabdi sampai akhir hayat. Apalah artinya aku ini. Banyak mengeluh, pemalas, sering merasa sebagai guru tersibuk di seluruh dunia. Opa membuka mataku.
***
Tiga bulan sudah berlalu sejak awal pertemuanku dengan Opa. Selama itu pula, aku tidak pernah menanyakan siapa namanya. Aku sudah merasa cukup dengan memanggilnya Opa. Rumor yang berkembang antara aku dan Opa semakin menggila. Ada yang bilang katanya aku pacaran dengan Opa. Pikiran gila, aku bergumam. Keluargaku pun mulai mengkhawatirkan aku. Kuminta mereka membuktikan dugaan mereka dengan pergi denganku, tapi mereka tak mau.  Pengecut! Beraninya hanya di belakang dan mengumbar gosip tak jelas. Namun, aku tetap tak peduli. Hingga sekarang aku masih tetap setia berkunjung ke taman di atas bukit ini. Seperti hari ini.

Hari sudah mulai sore. Opa tidak datang. Minggu lalu, Opa berjanji akan memberikan buku yang katanya bagus untuk kubaca. Mungkin kali ini Opa berhalangan hadir. Aku pun pulang ketika hari mulai menjelang malam.
***
Jumat minggu depannya, aku mendaki lagi ke taman itu. Hingga matahari terbenam, Opa tidak datang. Aku mulai bertanya-tanya mengapa Opa tidak datang. Apakah beliau sakit? Atau pergi ke luar kota? Selama ini, aku tidak pernah menanyakan alamatnya dan nomor telepon yang bisa dihubungi. Akhirnya aku pulang dengan berbagai pertanyaan dalam hati.
***
Sudah empat minggu aku tidak bertemu dengan Opa. Aku merindukan petuah-petuahnya. Aku kehilangan kata-kata yang membangkitkan semangatku. Ketenangannya seakan menular padaku. Opa seperti pengganti papaku. Aku masih tetap menunggunya datang setiap Jumat sore. Namun, seperti Jumat-Jumat sebelumnya, beliau kali ini pun tidak datang.
***
Jumat minggu kelima sejak terakhir aku bertemu Opa. Aku mendaki bukit ke taman. Duduk di bangku depan ayunan. Anak-anak berlarian. Suara teriakan terdengar di mana-mana. Aku menunggu. Menunggu janji Opa untuk membawakanku buku. Hari menjelang senja ketika aku melihat Opa tertatih-tatih mendaki bukit. Wajahnya pucat namun senyumnya tersungging di wajahnya.
                “Opa, apa kabar? Wajah Opa pucat. Opa sakit?”
                “......”
                “Opa, kenapa Opa diam saja?”
Opa tetap diam. Namun, senyum masih tersungging di wajahnya. Perlahan-lahan, Opa berdiri dan pergi. Masih dengan wajah tersenyum, ia membalikkan badan dan meninggalkanku. Aku tidak bisa berkata apa-apa. Aku memandang punggungnya. Opa, ada apa denganmu? Aku tak mengerti.
***
Jumat sore.
Aku kembali lagi ke taman ini. Satu harapanku. Aku bertemu Opa dan mendapatkan penjelasan mengenai tingkah anehnya minggu lalu. Lima belas menit, setengah jam, satu jam, Opa tidak juga datang. Taman mulai sepi. Seorang lelaki baru saja datang ke taman ini. Ia mengamatiku. Rasa khawatir mulai merayapiku. Kenapa ia mengamatiku? Aku melihat sekeliling, mencari akal kalau-kalau ia berniat tidak baik. Wajahnya seperti kukenal. Tapi di mana? Siapa dia?

Lelaki itu mendatangiku.
                “Sera?” Lelaki itu bertanya padaku. Aku mengangguk tak mengerti. “Aku Dean, cucu Opa Shandy.” Aku baru tahu kalau nama Opa adalah Shandy.
                “Oh. Mana Opa? Kenapa Opa jarang ke sini lagi? Opa datang ke sini Jumat lalu, tapi Opa tidak berkata apa-apa. Apakah Opa baik-baik saja?” Aku langsung memberondong Dean dengan pertanyaan-pertanyaanku.
                “Opa datang ke sini Jumat lalu?” Dean bertanya dengan nada heran.
                “Iya. Waktu itu aku tanya padanya tapi Opa tidak menjawab sepatah kata pun.”
Dean terdiam. Ia seperti tercenung. Dean kemudian membuka tasnya. Ia mengeluarkan sebuah buku. Kubaca judulnya.
                “Buku itu...,” Aku tidak melanjutkan kata-kataku.
                “Opa memberikannya padaku seminggu yang lalu. Beliau berpesan padaku bahwa aku harus memberikannya padamu karena beliau telah berjanji untuk memberikan buku ini.” Dean mengangsurkan buku itu padaku. Aku menerimanya, masih dengan ketidakmengertianku.
                “Kenapa Opa tidak ke sini?” Aku bertanya pada Dean.
                “Opa punya harapan. Opa ingin ada anaknya atau cucunya yang meneruskan jejaknya menjadi guru. Tapi, tidak satu pun di antara kami menjadi guru. Opa merasa sedih. Ketika Opa bertemu denganmu, Opa merasa harapannya terpenuhi. Opa sudah menganggapmu seperti cucunya sendiri. Kami semua sempat iri padamu. Kenapa Opa begitu menyayangimu? Bahkan, kami sempat berpikir buruk tentangmu.” Pikiranku sudah mulai mengembara ke mana-mana. Menebak-nebak ke arah mana pembicaraan ini.
                “La..lalu mana Opa?” Aku masih tidak mengerti dengan apa yang sedang terjadi.
                “Sera, Opa meninggalkan kita semua Jumat lalu.”
                “......” Aku tidak dapat berkata apa-apa. “Tidak. Opa datang ke sini Jumat lalu.” Aku bersikeras membantah kenyataan.
                “Opa ‘pergi’ Jumat lalu. Sebelum ‘pergi’, Opa ingin agar aku memberikan buku itu padamu. Aku tahu beliau sering pergi ke taman ini setiap Jumat sore. Karena itu, aku juga datang pada waktu yang sama dengan kedatangan Opa.”
Mataku mulai memanas. Aku membuka halaman depan buku. Ada tulisan Opa di sana.

Sera, terima kasih karena Sera berniat menjadi penerus Opa. Opa senang karena Sera adalah satu-satunya cucu Opa yang bersedia meneruskan jejak Opa. Teruslah menjadi guru, Sera. Penuhi panggilan jiwamu.

Aku terisak. Semakin lama semakin keras. Dean membiarkanku menumpahkan perasaanku. Bahuku terguncang-guncang. Setelah beberapa saat, aku mulai tenang. Aku membuka lembar demi lembar buku yang diberikan Opa. Sampai halaman terakhir, ada tulisan Opa lagi.

Sera, maafkan Opa. Opa tidak bisa lagi datang menemuimu, Cucuku. Opa harap, Dean bisa menggantikan Opa menemanimu setiap kamu datang ke taman itu. Dean adalah cucu laki-laki kesayangan Opa, sama seperti kamu.

                “Kamu membaca tulisan Opa di halaman terakhir, Dean?” Aku bertanya pada Dean.
                “Ya.” Dean menjawab sambil tersenyum. “Setiap kali bertemu denganmu, Opa pasti memanggilku dan bercerita tentangmu. Aku jadi ingin tahu seperti apa Sera yang selalu Opa ceritakan. Aku tidak punya saudara perempuan. Kamu sudah Opa anggap sebagai cucu. Cucu perempuan kesayangan Opa.”

Air mata kembali menetes di pipiku. Kuusap air mataku dengan punggung tanganku.
                “Dean, aku ingin bertemu Opa. Temani aku ke sana, Dean.”
                “Ya, besok kita pergi. Sekarang hari sudah mulai malam. Ayo, aku antar kau pulang.”
Aku bangkit dari tempat dudukku. Serasa ada yang hilang dari hatiku.
***
Sabtu siang, aku bersama Dean mendatangi Opa. Tanah merah itu masih basah. Aku membawakan bunga mawar merah kesukaan Opa. Opa pernah bilang padaku bahwa ia menyukai mawar merah. Aku berdoa semoga Opa tenang di alam sana dan berada di tempat yang layak di sisi-Nya. Tidak lama aku berdiri di depan pusara Opa. Setelah berdoa, kami pulang.
                “Terima kasih, Sera. Kau sudah membuat Opa bahagia di akhir hidupnya. Saat Opa pergi, senyum damai tersungging di wajahnya. “ Dean berkata padaku saat kami berada di dalam mobil di pelataran parkir pemakaman.
Aku tercekat. Air mengalir dari mataku. Dean mengulurkan tisu. Aku menerimanya.
                “Mudah-mudahan kau setuju dengan Opa.”
                “Setuju? Setuju untuk apa?”
                “Setuju kalau aku akan menemanimu di taman bukit itu.”

Aku tertawa dengan air mata yang masih mengalir. Aku mengangguk. Dean tersenyum. Ia mengacak rambutku. Kutatap Dean. Ah... aku tahu kenapa aku seperti pernah melihat Dean. Opa Shandy. Dean mirip sekali dengan Opa Shandy. Hanya saja, rambutnya masih hitam dan kulitnya masih kencang. Kami meninggalkan komplek pemakaman di mana Opa tinggal untuk selamanya. ***

14.4.13

'Dilayukan' Sebelum Berkembang

Usia 16 tahun lebih sekian bulan. 
Aku benci sekali ketika bangun di pagi hari ini. Minggu ospek masih berlangsung. Jam masuk sekolah tiba-tiba menjadi sangat pagi. Pukul 5.30 harus sudah di sekolah, tidak  boleh diantar, harus begini, begitu, dan begitulah. Capek! Belum lagi kalau sudah ada perintah dari panitia bahwa para murid baru harus ke aula. Ketahuilah, hai, Kawan! Akulah si murid baru beserta sekian ratus murid baru lainnya. Buatku, kata 'aula' yang sering disebutkan saat itu selalu berasosiasi dengan hal yang buruk. Sungguh buruk. Penuh dengan kecemasan. Ya! Kecemasanku. Aku benci ketika harus ke aula dan tingkat kecemasanku meningkat. Bagaimana tidak, di sana kami semua dibentak-bentak, dimarahi, ah.. pokoknya penyiksaan. Panitia jelas-jelas egois dengan peraturannya yang cuma ada dua pasal itu. Pasal 1 : Panitia tidak pernah salah. Pasal 2: Jika panitia salah, lihat pasal 1. Betul, kan, egois dan otoriter. Menyebalkan! 

Oh.. ternyata oh ternyata, tidak semua panitia yang notabene anak kelas tiga itu semuanya menyebalkan. Satu orang panitia menarik perhatianku. Bukan lelaki dengan tubuh tinggi yang mengikuti kegiatan ekstrakulikuler favorit di sekolah, tapi lelaki agak pendek (lebih tinggi dari aku) bertubuh gempal dengan kulit sawo matang. Entahlah apa yang membuatku menaruh perhatian padanya. Rasa suka kadang-kadang muncul tanpa diminta dan tanpa alasan. Betul? Termasuk rasa sukaku pada Mas Radya. Di sekolahku, adik kelas memanggil kakak kelasnya Mas dan Mbak. Maklum, daerah tempat tinggalku adalah daerah campuran antara Jawa dan Sunda tapi lebih kental Jawa-nya daripada Sunda-nya.

Dua bulan dari saat itu.
Rasa itu semakin kuat. Rasanya senang hanya melihatnya meskipun dari jauh. Serasa melayang ketika ia tersenyum padaku. Terkagum-kagum ketika ia bicara dengan matanya yang berbinar-binar. Menunggu saat-saat ia lewat di depan kelasku. Yang paling membuatku semakin kuat rasa sukanya adalah ketika dalam salah satu acara sekolah ia tampil. Bermain gitar dengan bagusnya. Oh, Tuhan, benar-benar lelaki impianku. Aku selalu memuja siapapun yang bermain gitar dengan apik. Kecuali pengamen jalanan yang menyanyi seadanya hanya karena target utamanya adalah mengumpulkan uang, bukan menghibur penumpang kendaraan umum. Tuhan, baru kali ini aku punya rasa yang kuat terhadap seorang lelaki di masa remajaku.

Tiga bulan setelah itu.
Aku melihat Mas Radya melewati lapangan basket. Jantungku berdebar-debar, mataku terasa (sepertinya) berbinar-binar. Ia tidak berjalan sendiri. Seorang perempuan bertubuh tinggi (melebih Mas Radya) kurus berjalan di sebelahnya. 

     "Itu Mbak Anne, pacarnya Mas Radya." Suara Litha tiba-tiba memecah kesunyian.
     " Oh, itu pacarnya." Aku sepertinya bisa mendapat piala citra. Kenapa? Karena aku menimpali dengan suara tenang sementara genderang bertalu-talu di dadaku. Hebat, kan?
     
     "Iya, katanya, sih, mereka pacaran dari kelas dua. " Litha berkata lagi. Aku belum pernah bercerita pada siapa pun (termasuk Litha) tentang perasaanku. Entahlah apa yang membuatnya menceritakan tentang Mas Radya dan Mbak Anne. Mungkin karena melihat aku memperhatikan mereka. 
     "Oh.." Hanya itu yang keluar dari mulutku.
     "Mbak Anne itu kakaknya Laydia." 
     "Oh.." Kembali aku mengucapkan 'oh'. Laydia adalah teman kami tapi beda kelas. Sama-sama siswa baru di sekolah ini.

Kringg!!! Suara bel masuk membuat kami berbalik badan dan menuju kelas. Saved by the bell.

Aku terus mengagumi. Hanya berani memendam rasa suka karena tahu ia sudah punya pacar. Selama setahun kami satu sekolah, aku beberapa kali melihat ia tampil bermain gitar, sering melihatnya di sekolah, di kegiatan ekstrakulikuler, dan semuanya tertata rapi di hatiku. Ya, hanya di dalam hatiku. Waktu terus berjalan. Rasa sukaku sudah kutiup jah-jauh sejak aku tahu ia sudah punya pacar. Sepuluh tahun kemudian, ketika aku bertemu dengan teman-temanku, aku tahu bahwa Mas Radya sudah menikah dengan Mbak Anne. Tapi, saat itu, rasa sukaku sudah hilang tak berbekas.