Taman itu terletak di atas bukit.
Kujadikan sebagai tempat melepas kepenatan. Fisik dan psikis. Alam sekitar yang
kupandangi dari taman di atas bukit ini menenangkan jiwaku. Baca buku,
mendengarkan musik, atau hanya sekedar memandangi anak-anak bermain ayunan. Aku ‘menemukan’ taman itu setahun lalu. Suatu
peristiwa tiga bulan lalu membuatku lebih sering lagi datang ke sana. Keluarga
dan sahabatku sampai heran dengan ‘ketagihanku’ pada taman itu. Setiap Jumat
sore, selepas aku mengajar, aku berdiam diri di taman itu. Dugaan-dugaan rasa
ingin tahu teman-temanku kemudian berkembang menjadi gosip tak bertanggung
jawab. Kebanyakan mereka menduga aku ke sana karena bertemu pacarku.
Rakha, adikku, pernah bertanya, “Mbak,
kamu ke sana ketemu siapa, sih? Sepulang dari sana, wajahmu selalu
berseri-seri. Cowok, ya? Kenalin
dong, Mbak?”
Aku heran. Setiap kali aku merasa
senang, orang-orang di sekitarku sering menyangka pasti berhubungan dengan
seseorang. Padahal, sampai sekarang, aku
masih single fighter. Setiap kali
kutantang mereka untuk ikut denganku, mereka menjawab, “Takut ganggu.” Ya,
sudah. Toh aku tidak terlalu memusingkan hal itu. Seperti juga hari ini. Untuk
kesekian kalinya aku mendaki bukit ini dan duduk di sana.
Betul, aku memang bertemu dengan
seorang lelaki setiap kali aku ke sana. Sekali lagi kutegaskan, lelaki itu
bukan pacarku. Aku menganggap beliau sebagai guruku. Aku, seorang guru yang
berguru pada maha guru. Mengapa? Tiga bulan lalu, pertemuan tidak sengaja telah
terjadi. Aku yang sedang berada di
tengah kegalauan datang ke taman ini. Perasaan tidak mampu sedang menyelimutiku
saat itu. Aku baru sembilan tahun menjadi guru. Saat itu, aku merasa aku tidak
sanggup membuat murid-muridku menjadi anak yang senang belajar. Aku merasa
gagal. Tugas-tugas rutin mengajar dan administrasi kurasakan sebagai beban.
Sampai aku bertemu lelaki itu.
Lelaki tua itu melihat kegalauan di
mataku. Beliau duduk di sebelahku.
Ia mulai
mengajakku bicara tentang hal-hal ringan seperti cuaca, kemacetan, udara panas,
dan sebagainya. Juga berkomentar tentang suara riuh rendah anak-anak yang
bermain di taman itu. Beberapa diktat dan buku yang kubawa serta dengan mudah
menunjukkan profesiku.
“Opa
juga dulu seorang guru, “ beliau ‘buka kartu’ dan menyebut dirinya ‘Opa’.
“Wah..
Opa, sama dong dengan saya, ” aku ikut-ikutan memanggil ‘Opa’.
“Sudah
berapa tahun menjadi guru?”
“Baru
jalan sembilan tahun, Opa, “ jawabku.
“Sudah
lama.”
“Ah..
Opa, baru sebentar, kok.”
Mulailah kami membicarakan profesi
kami. Kecermatan yang dimiliki Opa dalam menebak apa yang sedang kualami
membuatku tak bisa menutupi apa yang sedang terjadi. Aneh. Aku dengan mudahnya
bercerita tentang apa yang kurasakan. Padahal, aku bukan orang yang mudah
berbicara tentang perasaan. Apalagi pada orang baru. Kecuali pada papa. Opa
adalah orang kedua yang bisa membuatku terbuka setelah papa.
Sejak itu, kami sering bertemu. Aku
berguru pada Opa bagaimana menjadi guru. Opa mengajariku tentang apa itu guru
dan bagaimana menjadi guru.
Suatu ketika, aku merasa sangat
malu. Saat itu, aku dan Opa bertemu lagi. Aku bertanya pada Opa sudah berapa
lama ia menjadi guru. Opa menjawab kalau Opa ‘baru’ 40 tahun menjadi seorang
guru. Sejak pertama bekerja, Opa sudah memutuskan untuk menjadi guru.
“Apa
yang membuat Opa begitu betah menjadi guru selama 40 tahun?” waktu itu aku
bertanya pada Opa. Saat itu, Opa menjawab sambil tersenyum.
“Ketika
Opa memutuskan bahwa Opa menjadi guru, saat itu pulalah Opa melakukan kontrak
tidak tertulis dengan diri Opa. Opa harus komit terhadap apa yang sudah Opa
putuskan. Itu bentuk tanggung jawab terhadap keputusan yang Opa buat. Termasuk
resiko yang harus Opa tanggung.”
Aku terdiam. Serasa tertusuk-tusuk
hatiku mendengar penjelasan Opa. Usia profesiku baru seumur jagung bila
dibandingkan dengan usia pengabdian Opa. Namun, aku sudah begitu banyak
mengeluh. Aku malu.
***
Untuk kesekian kali kami bertemu
lagi. Sekarang sudah menjadi semacam rutinitas di Jumat sore. Teman-temanku
semakin curiga. Keluargaku juga. Apa kata mereka jika tahu aku pergi menemui
seorang kakek-kakek tua dengan rambut putih di seluruh kepalanya? Akankah
mereka menggosipkan aku seperti dulu? Aku tidak peduli. Yang aku pedulikan
bahwa jiwaku merasa tenang setiap kali aku bertukar pikiran dengan Opa. Aku
bercerita pada Opa tentang rekanku yang sedang terkena masalah. Ia sudah lama
tidak datang bekerja.
“Tenang
saja. Ia akan kembali. Ke mana lagi seorang guru akan pergi kalau bukan ke
sekolah?”
Kembali jantungku seakan tertusuk
oleh perkataan Opa. Teringat olehku bahwa aku kadang merasa sangat malas untuk
pergi ke sekolah.
“Opa,
apakah kalau aku malas ke sekolah berarti aku bukan guru?” aku bertanya pada
Opa.
“Sera,
menjadi guru adalah panggilan jiwa. Kamu akan bisa merasakannya apakah jiwamu
terpanggil untuk menjadi guru, atau hanya merasa ‘terpaksa’ menjadi guru.
Aku semakin malu pada diriku dan
pada Opa. Juga pada Papa, jika beliau masih hidup. Papa juga seorang guru yang
terus mengabdi sampai akhir hayat. Apalah artinya aku ini. Banyak mengeluh,
pemalas, sering merasa sebagai guru tersibuk di seluruh dunia. Opa membuka
mataku.
***
Tiga bulan sudah berlalu sejak awal
pertemuanku dengan Opa. Selama itu pula, aku tidak pernah menanyakan siapa
namanya. Aku sudah merasa cukup dengan memanggilnya Opa. Rumor yang berkembang
antara aku dan Opa semakin menggila. Ada yang bilang katanya aku pacaran dengan
Opa. Pikiran gila, aku bergumam.
Keluargaku pun mulai mengkhawatirkan aku. Kuminta mereka membuktikan dugaan
mereka dengan pergi denganku, tapi mereka tak mau. Pengecut! Beraninya hanya di belakang dan
mengumbar gosip tak jelas. Namun, aku tetap tak peduli. Hingga sekarang aku
masih tetap setia berkunjung ke taman di atas bukit ini. Seperti hari ini.
Hari sudah mulai sore. Opa tidak
datang. Minggu lalu, Opa berjanji akan memberikan buku yang katanya bagus untuk
kubaca. Mungkin kali ini Opa berhalangan hadir. Aku pun pulang ketika hari
mulai menjelang malam.
***
Jumat minggu depannya, aku mendaki
lagi ke taman itu. Hingga matahari terbenam, Opa tidak datang. Aku mulai
bertanya-tanya mengapa Opa tidak datang. Apakah beliau sakit? Atau pergi ke
luar kota? Selama ini, aku tidak pernah menanyakan alamatnya dan nomor telepon
yang bisa dihubungi. Akhirnya aku pulang dengan berbagai pertanyaan dalam hati.
***
Sudah empat minggu aku tidak
bertemu dengan Opa. Aku merindukan petuah-petuahnya. Aku kehilangan kata-kata
yang membangkitkan semangatku. Ketenangannya seakan menular padaku. Opa seperti
pengganti papaku. Aku masih tetap menunggunya datang setiap Jumat sore. Namun,
seperti Jumat-Jumat sebelumnya, beliau kali ini pun tidak datang.
***
Jumat minggu kelima sejak terakhir
aku bertemu Opa. Aku mendaki bukit ke taman. Duduk di bangku depan ayunan.
Anak-anak berlarian. Suara teriakan terdengar di mana-mana. Aku menunggu.
Menunggu janji Opa untuk membawakanku buku. Hari menjelang senja ketika aku
melihat Opa tertatih-tatih mendaki bukit. Wajahnya pucat namun senyumnya
tersungging di wajahnya.
“Opa,
apa kabar? Wajah Opa pucat. Opa sakit?”
“......”
“Opa,
kenapa Opa diam saja?”
Opa tetap diam. Namun, senyum masih
tersungging di wajahnya. Perlahan-lahan, Opa berdiri dan pergi. Masih dengan
wajah tersenyum, ia membalikkan badan dan meninggalkanku. Aku tidak bisa
berkata apa-apa. Aku memandang punggungnya. Opa, ada apa denganmu? Aku tak
mengerti.
***
Jumat sore.
Aku kembali lagi ke taman ini. Satu
harapanku. Aku bertemu Opa dan mendapatkan penjelasan mengenai tingkah anehnya
minggu lalu. Lima belas menit, setengah jam, satu jam, Opa tidak juga datang.
Taman mulai sepi. Seorang lelaki baru saja datang ke taman ini. Ia mengamatiku.
Rasa khawatir mulai merayapiku. Kenapa ia mengamatiku? Aku melihat sekeliling,
mencari akal kalau-kalau ia berniat tidak baik. Wajahnya seperti kukenal. Tapi
di mana? Siapa dia?
Lelaki itu mendatangiku.
“Sera?”
Lelaki itu bertanya padaku. Aku mengangguk tak mengerti. “Aku Dean, cucu Opa
Shandy.” Aku baru tahu kalau nama Opa adalah Shandy.
“Oh.
Mana Opa? Kenapa Opa jarang ke sini lagi? Opa datang ke sini Jumat lalu, tapi
Opa tidak berkata apa-apa. Apakah Opa baik-baik saja?” Aku langsung
memberondong Dean dengan pertanyaan-pertanyaanku.
“Opa
datang ke sini Jumat lalu?” Dean bertanya dengan nada heran.
“Iya.
Waktu itu aku tanya padanya tapi Opa tidak menjawab sepatah kata pun.”
Dean terdiam. Ia seperti tercenung.
Dean kemudian membuka tasnya. Ia mengeluarkan sebuah buku. Kubaca judulnya.
“Buku
itu...,” Aku tidak melanjutkan kata-kataku.
“Opa
memberikannya padaku seminggu yang lalu. Beliau berpesan padaku bahwa aku harus
memberikannya padamu karena beliau telah berjanji untuk memberikan buku ini.”
Dean mengangsurkan buku itu padaku. Aku menerimanya, masih dengan
ketidakmengertianku.
“Kenapa
Opa tidak ke sini?” Aku bertanya pada Dean.
“Opa
punya harapan. Opa ingin ada anaknya atau cucunya yang meneruskan jejaknya
menjadi guru. Tapi, tidak satu pun di antara kami menjadi guru. Opa merasa
sedih. Ketika Opa bertemu denganmu, Opa merasa harapannya terpenuhi. Opa sudah
menganggapmu seperti cucunya sendiri. Kami semua sempat iri padamu. Kenapa Opa
begitu menyayangimu? Bahkan, kami sempat berpikir buruk tentangmu.” Pikiranku
sudah mulai mengembara ke mana-mana. Menebak-nebak ke arah mana pembicaraan
ini.
“La..lalu
mana Opa?” Aku masih tidak mengerti dengan apa yang sedang terjadi.
“Sera,
Opa meninggalkan kita semua Jumat lalu.”
“......”
Aku tidak dapat berkata apa-apa. “Tidak. Opa datang ke sini Jumat lalu.” Aku
bersikeras membantah kenyataan.
“Opa
‘pergi’ Jumat lalu. Sebelum ‘pergi’, Opa ingin agar aku memberikan buku itu
padamu. Aku tahu beliau sering pergi ke taman ini setiap Jumat sore. Karena
itu, aku juga datang pada waktu yang sama dengan kedatangan Opa.”
Mataku mulai memanas. Aku membuka
halaman depan buku. Ada tulisan Opa di sana.
Sera,
terima kasih karena Sera berniat menjadi penerus Opa. Opa senang karena Sera
adalah satu-satunya cucu Opa yang bersedia meneruskan jejak Opa. Teruslah
menjadi guru, Sera. Penuhi panggilan jiwamu.
Aku terisak. Semakin lama semakin
keras. Dean membiarkanku menumpahkan perasaanku. Bahuku terguncang-guncang.
Setelah beberapa saat, aku mulai tenang. Aku membuka lembar demi lembar buku
yang diberikan Opa. Sampai halaman terakhir, ada tulisan Opa lagi.
Sera,
maafkan Opa. Opa tidak bisa lagi datang menemuimu, Cucuku. Opa harap, Dean bisa
menggantikan Opa menemanimu setiap kamu datang ke taman itu. Dean adalah cucu
laki-laki kesayangan Opa, sama seperti kamu.
“Kamu
membaca tulisan Opa di halaman terakhir, Dean?” Aku bertanya pada Dean.
“Ya.”
Dean menjawab sambil tersenyum. “Setiap kali bertemu denganmu, Opa pasti
memanggilku dan bercerita tentangmu. Aku jadi ingin tahu seperti apa Sera yang
selalu Opa ceritakan. Aku tidak punya saudara perempuan. Kamu sudah Opa anggap
sebagai cucu. Cucu perempuan kesayangan Opa.”
Air mata kembali menetes di pipiku.
Kuusap air mataku dengan punggung tanganku.
“Dean,
aku ingin bertemu Opa. Temani aku ke sana, Dean.”
“Ya,
besok kita pergi. Sekarang hari sudah mulai malam. Ayo, aku antar kau pulang.”
Aku bangkit dari tempat dudukku.
Serasa ada yang hilang dari hatiku.
***
Sabtu siang, aku bersama Dean
mendatangi Opa. Tanah merah itu masih basah. Aku membawakan bunga mawar merah
kesukaan Opa. Opa pernah bilang padaku bahwa ia menyukai mawar merah. Aku
berdoa semoga Opa tenang di alam sana dan berada di tempat yang layak di
sisi-Nya. Tidak lama aku berdiri di depan pusara Opa. Setelah berdoa, kami
pulang.
“Terima
kasih, Sera. Kau sudah membuat Opa bahagia di akhir hidupnya. Saat Opa pergi,
senyum damai tersungging di wajahnya. “ Dean berkata padaku saat kami berada di
dalam mobil di pelataran parkir pemakaman.
Aku tercekat. Air mengalir
dari mataku. Dean mengulurkan tisu. Aku menerimanya.
“Mudah-mudahan
kau setuju dengan Opa.”
“Setuju?
Setuju untuk apa?”
“Setuju
kalau aku akan menemanimu di taman bukit itu.”
Aku
tertawa dengan air mata yang masih mengalir. Aku mengangguk. Dean tersenyum. Ia
mengacak rambutku. Kutatap Dean. Ah... aku tahu kenapa aku seperti pernah
melihat Dean. Opa Shandy. Dean mirip sekali dengan Opa Shandy. Hanya saja,
rambutnya masih hitam dan kulitnya masih kencang. Kami meninggalkan komplek
pemakaman di mana Opa tinggal untuk selamanya. ***