24.7.13

Malaikat di Dalam Angkot

Aku mencari-cari dompet di dalam tasku. Tidak ada! Kucari lagi setiap tempat di sudut-sudut tas yang kupakai. Resleting di sana-sini kubuka satu persatu. Tidak ada! Keringat dingin mulai bermunculan. Bagaimana ini? Aku dilanda kebingungan untuk mengatasi hal ini. Dompetku tidak ada. Kecopetan? Aku tidak tahu. Kuingat-ingat kejadian sebelum aku pergi meninggalkan rumah. 

Aku mengganti tasku sebelum pergi. Kuletakkan dompet di kasur. Mungkin dompet itu tersamarkan oleh selimut sehingga aku tidak melihatnya dengan jelas. Itulah aku. Aku mengutuk diri sendiri. Jika tidak di depan mata, alhasil, aku akan lupa membawa barang.

Kuputar otak bagaimana caranya membayar angkot. Tidak ada sepeserpun uang terselip di dalam tas. Kukorek saku jeans. Tidak ada. Aku pun meninggalkan receh di meja. Sial! Aku benar-benar sial. Apakah aku telepon temanku dan memintanya untuk menungguku di pinggir jalan sambil membawa uang untuk ongkos? Ah, terlalu riskan. Bagaimana kalau ia sedang dalam diskusi yang tidak bisa ditinggalkan?

Angkot yang kutumpangi berhenti di lampu merah. Masih ada waktu berpikir di lampu merah. Aku belum menemukan bagaimana caranya membayar angkot tanpa sepeserpun uang kubawa. Sampailah angkot di depan Carrefour. Aku memutuskan untuk turun. Dengan perasaan yang agak tidak enak hati, kuminta nomor telepon sopir angkot. Kukatakan bahwa aku tidak membawa dompet tapi aku akan menghubungi Pak Sopir untuk membayar ongkos angkot. Terdengar mustahil, ya. Tapi sudahlah, namanya juga usaha. Pak Sopir tampak kebingungan dengan permintaanku. Ia menyebutkan sederet angka.

Ketika aku sedang mencatat nomor telepon sopir angkot, tiba-tiba seorang ibu yang tadi duduk di sebelahku mengatakan kalau ia akan membayar ongkos angkotku. Oh Tuhan, baiknya ibu itu. Kuucapkan terima kasih padanya. Aku berdoa, semoga Allah membalas kebaikannya dan menggantinya dengan rezeki yang lebih banyak. Malaikat memang ada di mana-mana.

#14DaysofInspiration, kebaikan. 

Teman Lama

Listy! Kamu Listy kan?

Seorang perempuan cantik menyapaku dalam perjumpaan tak sengaja di sebuah pusat perbelanjaan. Aku mengangguk dengan wajah bertanya-tanya siapakah wanita cantik ini? Apakah aku sekelas selebriti sehingga orang yang tak kukenal mengenali diriku? Ah, kamu berkhayal, Listy! Kataku dalam hati.

Ehmm.. Iya, benar. Saya Listy. Maaf, apakah kita pernah bertemu sebelumnya?

Aku bertanya pada wanita cantik itu. Kupandangi wajahnya. Hidung mancung, alis mata rapi melengkung, bulu mata tebal dan lentik, mata dengan kontak lensa berwarna hazel, pipi tirus, kulit putih, dan make-up tipis di wajahnya. Kupanggil ingatanku tapi tak satu pun memori tentang wajah ini muncul di kepalaku. Wanita cantik itu tertawa mendengar pertanyaanku. 

Listy..Listy! Benar kamu nggak ingat aku? Aku Melinda, teman sebangku kamu di kelas dua SMA. 

Benar, Melinda memang teman sebangku sewaktu di SMA. Kenapa tidak ada file ingatan tentang wajah ini? Sepuluh tahun kami berpisah. Jangankan sepuluh tahun, berpisah lima belas tahun pun, file ingatanku masih bisa 'dipanggil'. Otakku dianugerahi processor yang canggih sehingga mudah memanggil memori wajah seseorang meskipun muncul bertahun-tahun lalu. Tapi mengapa wajah ini tidak meninggalkan bekas sedikitpun di kepala ini?

Melinda? Ya ampun, Mel! Aku pangling.

Senyum Melinda masih menggantung di wajahnya. Aku masih tidak mengerti dengan wajah ini. Benarkah ini Melinda? Otakku terus kuputar tapi nihil. Aku benar-benar tidak ingat dengan wajah Melinda yang 'ini'. Aha! Aku ingat. Kalau ia benar-benar Melinda, pasti ia bisa menjawab pertanyaanku ini.

Mel, apa kabarnya boneka kesayanganmu yang selalu dibawa-bawa ke sekolah? Sampai pernah mau disita sama guru matematika karena kamu pegang-pegang terus. Siapa tuh namanya?

Aku pura-pura bertanya karena sebenarnya aku ingat nama boneka itu. Bagaimana tidak ingat kalau nama boneka itu sama dengan nama pacarku waktu aku SMA? Kebetulan sama tepatnya.

Chiko masih aku simpan, Lis. Sudah kusam, tapi aku masih sayang. Boneka itu menyimpan banyak kenangan.

Betul! Ia benar-benar Listy. Nama bonekanya memang Chiko. Aku masih merasa aneh dengan Melinda yang 'ini'. Tapi, ia benar-benar Melinda. 

Minum, yuk! Kita rayakan pertemuan kita.

Melinda menggandeng aku. Kuturuti kemauannya. Kami duduk berhadapan. Wajah di hadapanku masih kuteliti. Aku masih mencari jawaban atas keherananku. Duduk berhadapan seperti ini membuat aku lebih leluasa mengamati wajahnya. Aku ingin menemukan 'keanehan' ini. Kubuka memori jaman dahulu, ketika kami SMA. Dulu, wajah itu bulat, bukan tirus seperti sekarang. Hidungnya tidak semancung sekarang. Pipinya dulu cubby. Bukankah pipi cubby memang cocok dengan hidung yang rendah? Bulu mata palsu, membuat kedipan matanya seperti berbeban. 

Mel, aku pangling. Kamu berbeda sekali dengan jaman SMA dulu. 

Aku berkata pada Melinda. Ia tersenyum.

Banyak orang yang berkata seperti itu, Listy. Tidak salah, sih. Aku memang banyak berubah sampai-sampai banyak yang tidak kenal padaku. Aku tinggal di Korea sejak lima tahun lalu. Kerja di sana. Mutasi. Di sana banyak diskon, Lis. Bahkan, aku dapat voucher gratis. Sayang, kan kalau tidak dipakai." 

Keningku berkerut. 

Diskon? Diskon apa?

Aku bertanya dalam ketidakmengertianku.

Oh.. Operasi plastik, Lis. Di sana, klinik kecantikan bertebaran di mana-mana."

Melinda menjawab dengan ringan. Ia lalu tertawa. Aku kenal dengan tawa itu. Itu memang tawa khas Melinda. Pantas aku tidak ingat wajahnya. Ternyata, ia sudah mengubah dirinya. Kalau tawa bisa dioperasi, apakah Melinda juga akan mengoperasi tawanya? Aku menggelengkan kepala. Aku benar-benar tidak mengerti. Sebenarnya, aku suka Melinda yang dulu. Lebih original.

#ngabubuwrite. Waktu

23.7.13

Seperti Kunang-kunang

Aku tidak sanggup lagi untuk berteriak. Suaraku sudah hampir habis, tenagaku sudah terkuras. Aku lemas. Kuraba dinding di sekitarku. Penuh dengan batu-batu cadas. Kulitku perih karena tergores cadas-cadas itu. Namun, perih tak kurasakan. Yang kurasakan adalah perasaan takut dan cemas karena hari sudah mulai gelap. 

Aku tidak tahu sudah berapa lama terjebak di sini. Jam tangan kusimpan di dalam tas ketika aku mau pergi ke sungai untuk mengambil air. Seingatku, saat aku jatuh, matahari masih bersinar. Sekarang, matahari sudah berangsur tenggelam. Aku tersesat dan terjatuh di lubang ini. Ranting-ranting dan dedaunan kering mengaburkan kewaspadaanku. Mungkin ini adalah jebakan harimau. Beruntung tidak ada tombak di dalam lubang ini. Aku bergidik ngeri membayangkan tubuhku tercabik-cabik tertusuk tombak. Sebaris untaian syukur kupanjatkan karena tubuhku masih utuh. Goresan-goresan di sana-sini tak sebanding dengan bayangan tubuhku berlubang-lubang. 

Kukumpulkan sisa-sisa tenagaku. Aku berdoa dalam hati semoga ada orang yang lewat dan mendengar sisa suaraku. Aku kembali berteriak untuk kesekian kalinya. Sunyi. Hanya desir angin yang bertiup menggoyangkan dedaunan. Bunyi pohon bambu berderit membuat bulu kudukku mulai merinding. Aku teringat mitos saat aku kecil. Pohon bambu adalah pohon tempat berkumpulnya para jin. 

Kulayangkan pandanganku ke atas. Tinggi jurang ini sekitar tiga meter, tapi aku sudah tidak bisa lagi menatap langitnya. Semua gelap. Aku kembali berteriak. Sekali, dua kali, tiga kali. Suaraku benar-benar habis. Air mataku mulai mengalir. Aku teringat keluargaku, teman-temanku, dan musuh-musuhku. Ketakutan mulai menyelimuti. Aku mulai pasrah. Doa-doa mulai kupanjatkan. Tuhan, kalau ini adalah hari terakhirku, tolong ampuni aku. Tuhan, jaga keluargaku, maafkan musuh-musuhku. Aku pasrah. Kupandang langit yang gelap gulita. Tiba-tiba.....

Setitik cahaya kulihat di atas sana. Harapan! Aku melihat ada harapan. Aku berteriak sekuat-kuatnya. Kukerahkan sisa-sisa tenaga dan suaraku untuk berteriak lagi. Perlahan-lahan, titik-titik cahaya semakin banyak. Seperti sekelompok kunang-kunang yang sedang menikmati malam. Harapanku semakin besar, semangatku semakin kuat. 

"Gilda! Kamukah di sana?" Suara seseorang di atas sana.

Aku menangis. Kali ini tangis gembira menyongsong harapan. Aku selamat! Terima kasih, ya, Allah! Betul. Aku Gilda. Kuberkata pada diriku sebelum berteriak menyahut menyambut harapan.

                                                          ***
#14DaysofInspiration, harapan.

Bintang, Air, Alam, dan Ibu

Rasta bertanya padaku mengapa aku senang memandang langit malam yang berbintang?

"Aku menemukan kedamaian setiap kali aku memandang bintang. Misterius tapi tenang. Tidak seperti ketika aku memandang matahari di ufuk barat atau timur. Merah, oranye, seperti jiwa yang tidak tentram."

Begitu aku menjawab pertanyaan Rasta, sahabatku. Ia lalu bertanya lagi, mengapa aku suka air?

"Memandang air, aku seperti menemukan ketenangan. Kadangkala air, bergejolak. Tapi air yang tenang itu mendamaikan hati. Air rasanya menyejukkan. Itulah kenapa aku suka pantai, sungai, dan air hujan."

Rasta terdiam mendengar jawabanku. Apakah ia berhenti bertanya padaku? Tidak. Ia bertanya kepadaku mengapa aku suka memandang alam.

"Alam menyadarkanku bahwa aku ini 'kecil'. Tidak ada artinya aku dibandingkan buatan penciptaku. Memandang alam memberikan kedamaian dan rasa syukur yang amat sangat. Bersyukur bahwa aku diciptakan untuk bersyukur pada penciptaku."

Aku terdiam. Aku menunggu pertanyaan selanjutnya dari Rasta. Rasta tampak berpikir. Matanya menerawang, keningnya agak berkerut, lalu matanya tiba-tiba menjadi berbinar.

"Pertanyaan terakhir," Rasta mulai bersuara. "Mengapa kamu tidak bisa jauh dari ibumu?"

Aku tersenyum. Pertanyaan itu tidak langsung kujawab. Aku berpikir sejenak. Kupandang Rasta dan berkata:

"Bau seorang ibu itu mendamaikan hatiku. Ketika aku mencium bau ibuku, aku tenang karena berarti Ibu berada tidak jauh dariku. Ketika aku sedang dilanda amarah, senyum Ibu mendamaikan amarahku. Ketika aku kesal, wajah Ibu menenangkan jiwaku. Ketika aku sedih karena masalahku, Ibu memberikan kekuatan untuk berdamai dengan masalahku."

Rasta tersenyum padaku. Ia lalu berkata, "Ya, sama seperti yang kurasakan pada saat aku bersama ibuku. Aku menemukan kedamaian bersamanya."

#ngabubuwrite, harapan

22.7.13

Cerita Tentang Sahabat

Aku menengok ke kiri dan ke kanan sebelum menyeberang jalan. Kulewati tukang kupat tahu dan penjual minuman yang masih setia di depan gedung itu. Semua masih tetap di posisi seperti dulu. Pohon mangga yang rimbun masih berdiri tegak di halaman depan. Yang jelas berbeda adalah gambar kolase di dinding depan. Dulu kolasenya adalah kastil. Dulu, sebelum aku meninggalkan gedung ini. Kolase kastil yang merupakan bukti sinergi kami, aku dan sahabat-sahabatku, sekarang berganti dengan kolase robot. 

Aku berjalan melewati meja front office. Penghuni ruangan ini benar-benar mahluk setia. Sejak pertama kali ia kerja di sini sampai sekarang masih bertahan. Aku tersenyum padanya. Mahluk ayu berambut panjang yang selalu tenang. Nyaris tidak pernah terlihat marah bagaimanapun kesalnya dia. Sekarang, mahluk ayu itu menjadi sahabatku. Entah kapan dimulainya, tapi sejak aku meninggalkan gedung ini, kami selalu bertukar kabar. Sekedar obrolan ringan, sampai curhatan mendalam. 

Aku melangkah ke ruangan berikutnya. Aku tertegun di ruangan itu. Sekarang ruangan ini sudah berubah. Meja-meja dan kursi-kursi ukuran kecil tersusun di ruangan ini. Aku merindukan blocks yang dulu tersusun rapi di sini. Tidak, bukan blocks-nya yang aku rindukan. Aku merindukan semua orang-orang yang sering menghuni ruangan ini. Dulu, beberapa tahun lalu. Di sinilah tempat kami berkumpul. Aku dan sahabat-sahabatku. Timku yang solid. Kala itu, kami benar-benar seperti keluarga. Saling membantu tanpa memikirkan 'ini bukan tugasku'. Yang kami pikirkan saat itu adalah 'apa yang bisa kubantu'. Sungguh! Sampai saat ini, aku belum menemukan lagi tim seperti teman-temanku dahulu. 

Aku duduk di salah satu kursi. Ruangan yang aku duduki sekarang, dulu adalah ruangan berkarpet dengan blocks tertata di sekeliling ruangan. Kecuali bagian pintu tentu saja. Di sini, aku dan teman-temanku mengerjakan tugas-tugas kami. Mengisi buku hijau, membuat laporan, memeriksa karya, lembar kerja, mencari sumber belajar, dan lain sebagainya. Entahlah, rasanya kami melakukan segala hal di ruangan ini. Paling sering kami menghadapi laptop-laptop kami. Termasuk memutar music video Super Junior kalau kami merasa suntuk. Akhirnya, kami akan tertawa-tawa bersama, cukup menghilangkan kesuntukan kami. Aku sering merindukan saat-saat itu, saat-saat di mana aku menghabiskan waktu bersama teman-temanku, sahabat-sahabatku, yang sudah menjadi keluargaku. 

Sekarang, sahabat-sahabatku yang dulu berada di ruangan ini sudah pergi satu demi satu. Masing-masing memiliki mimpi dan harapan. Acara perpisahan sudah diadakan. Acara perpisahan pasti identik dengan kesedihan, betul? Ya! Siapa yang tidak sedih ketika sahabat-sahabat kita memutuskan untuk 'pergi'? Setiap orang punya pilihan, kan? Hanya saja, tidak semua kesedihan harus disertai dengan tangis. 

Lalu kenapa aku tidak menangis?
Karena aku tahu, perpisahan ini bukan untuk selamanya. Hanya sebatas kertas putih sebagai batas formal yang disebut kontrak atau surat kesepakatan. Aku dan kalian, para sahabatku, masih bisa bertemu seperti yang sudah pernah kita lakukan sebelumnya. Kita masih bisa bercanda, bertukar cerita, tertawa bersama, saling mendukung bersama, dan banyak hal yang bisa kita lakukan bersama. Itu yang membuat aku tidak menangis.

Sahabat-sahabatku, hidup adalah pilihan. 
Terima kasih karena sudah memberikan kenangan indah selama ini.
Di mana pun kalian berada, aku yakin kalian pasti akan bisa bahagia.
Bahagia itu sederhana. Sesederhana tawa kita bersama. 

Aku teringat salah seorang sahabatku pernah berkata, "Inilah yang dinamakan sahabat, In. Kita tidak harus bertemu dan berbincang setiap hari. Tetapi, ketika kita bertemu, kita bisa lebur dalam obrolan, mengalir tanpa beban, saling berbicara tanpa ada pamrih. Seperti yang kita lakukan sekarang ini. Ringan."

Semoga, kita tetap menjadi sahabat yang benar-benar bersahabat. Sampai bertemu lagi di lain kesempatan. Insya Allah.


Photo by Lupytha Hermin


#14DaysofInspiration.
Gabungan 'Kangen' dan 'Kenapa Aku Tidak Menangis?

21.7.13

Kotak Kenangan

Aku menyebutnya kotak pandora. Kotak berisi kenangan masa lalu tentang seseorang. Raganya sudah hilang entah ke mana, tapi rasanya masih terasa segar di ingatan... dan di hatiku. Isinya? Tak perlu kau tahu. Kotak itu kusimpan di tempat tersembunyi (menurutku). Tak seorangpun kuizinkan mengambilnya apalagi membuka isinya. Sesekali kubuka kotak itu jika rindu membuncah dengan amat sangat pada seseorang yang kenangannya menghuni pandora. Mengamati dalam diam, memutar balik 'film-film' dalam ingatan, menyusuri jalan kenangan, dan menutupnya dengan harapan: 

Semoga aku masih bisa bertemu dengannya suatu saat nanti. 

Aku belum siap mengganti sosoknya dengan sosok baru. Aku belum memiliki daya untuk mengubur kotak itu dan membuka kenangan baru dengan yang lain. Sosok itu begitu besar memengaruhi jiwa ragaku. 

"Tante Ran, aku boleh pinjam balok-balok kayu milik Tante Ran? Aku mau buat gedung tinggi."

Hans, ponakanku yang berumur empat tahun nongol di pintu kamarku. Sebelumnya, dia sudah pernah meminjam mainan balok milikku. Jadi, sudah menjadi kebiasaan setiap datang ke rumah, ia meminjam balok itu. 

"Ran, tolong Mama belikan tepung terigu di warung Bu Imas. Ternyata tepungnya sudah habis."

Mama berkata padaku dari dapur sebelum aku menjawab permintaan Hans. Aku bangkit dari tempat tidur. 

"Iya, Ma. Hans, baloknya ada di lemari Tante paling atas. Hans ambil sendiri. Hati-hati mengambilnya, ya."

Aku berkata pada Mama dan Hans bergantian. Kemudian, aku pergi ke warung. Warung Bu Imas sedang ramai sehingga aku tidak bisa cepat-cepat kembali ke rumah. Setengah jam kemudian aku baru selesai transaksi. 

Degg!! Dalam perjalanan pulang, aku teringat kotak pandoraku. Hans. Kotak balok. Aku berjalan cepat-cepat menuju rumah bahkan hampir berlari. Kubuka pintu pagar dengan terburu-buru dan berlari melewati pintu depan yang terbuka. Di ruang tamu, aku melihat kotak pandoraku terbuka. Isinya bertebaran di mana-mana. Foto-foto, bunga mawar kering, earphone dan MP3 player, surat-surat, buku-buku, dan semua kenangan yang kusimpan di dalamnya. 

"Hans!!!!"

Aku berteriak memanggil Hans. Aku menepuk keningku sendiri. Kemarin, aku membuka kotak pandora itu. Setelah melihat isinya, aku kembalikan lagi pada tempatnya. Kotak balok itu, berukuran hampir sama dengan kotak pandora, kuletakkan bersebelahan. Ketika aku meletakkannya, kugeser kotak balok ke arah dalam. Pasti Hans melihat kotak pandora itu lebih dulu daripada kotak balok untuk ia mainkan. Mengingat kejadian tadi malam, aku tidak bisa marah pada Hans karena ia salah mengambil kotak.

"Kiran! Apa kabar?"

Tiba-tiba, ada suara dari arah sofa ruang tamu. Aku terhenyak. Suara itu! Suara yang sering kurindukan sehingga kubuka kotak pandora untuk melepaskan rindu. Tidak mungkin! Tidak mungkin! Aku memutar kepala ke arah suara. Wajah itu tersenyum padaku. Brak!! Kantong berisi tepung terlepas dari tanganku. Kulayangkan pandanganku pada isi kotak pandora yang masih bertebaran di lantai ruang tamu. Sosok itu nyata. Sosok yang wajahnya sama persis dengan foto-foto yang tersebar di lantai. Hanya saja, sosok yang tersenyum itu sekarang terlihat lebih matang dan lebih tampan. Aku melihat Hans sedang memandangku dari pintu ruang tengah. Aku tiba-tiba kehilangan suara. Kutak tahu harus berkata apa. Aku merasakan wajahku memanas. Sosok nyata itu, masih memandangku. Sekarang, ia sudah berdiri. 

#ngabubuwrite, kenangan

20.7.13

Surat Untuk Kei (2)

Hai, Kei! 
Bertemu lagi dalam surat. Semoga kamu tidak bosan dengan suratku. Kali ini, aku ingin berbicara tentang keharmonisan dalam perbedaan yang kita miliki. Bingung? Maksudku begini, Kei. Kita berdua sudah membuktikan bahwa perbedaan itu bukan masalah. Ya, kita memiliki buktinya tanpa kita sadari ataupun sengaja membuktikan diri. 

Kei, seringnya aku berkunjung ke tempatmu tidak menghalangi kita untuk menjalankan ibadah sesuai dengan agama masing-masing. Aku berdoa sesuai dengan agamaku, begitu pula dirimu. Kau mengucapkan 'Selamat Lebaran' dan aku memberi 'Selamat Tahun Baru'. Seingatku, kita tidak pernah sekalipun membicarakan tentang perbedaan agama yang kita anut, atau berbicara masalah agama atau berdiskusi dari kaca mata agama. Tidak sengaja dihindari, tapi tidak pernah terucap dalam obrolan kita. Apalagi 'melintasi batas' dengan saling 'mengajak' dalam menjalankan ibadah. Justru dengan begitulah, kita dapat dengan bebas menjadi diri kita masing-masing. Toleransi yang kita bangun membuat kita merasa nyaman untuk saling berbagi dan beraktivitas bersama. Sekian tahun pertemanan kita, tidak sekali pun kita 'ribut'. Mungkin karena kita saling menghargai satu sama lain, ya, Kei. Apakah kau memiliki pendapat yang sama denganku, Kei? 

Kei, hari sudah semakin malam. Sebentar lagi, tanggal akan bertambah satu. Aku mau tidur. Besok aku harus bangun pagi-pagi. Semoga surat singkat ini memperat persahabatan kita. Sampai jumpa lagi, Kei.


Iin

#14DaysofInspiration, toleransi.

19.7.13

Jangan Menyuruhku Berhenti Bermimpi, Callysta!

"Mau sampai kapan kamu begini, Na? Berpijaklah ke dunia nyata. Lihat sekelilingmu untuk melihat kenyataan. Berhentilah bermimpi."

Sahabatku berkata padaku pada suatu sore yang indah. Ya, seharusnya sore yang indah kalau saja, Callysta, sahabatku tidak memintaku untuk berhenti bermimpi. Ia menganggap bahwa kesukaanku menonton film Korea membuat aku terbuai dalam mimpi. Oh.. tidak, Sahabatku! Aku masih bisa menggunakan nalarku untuk membedakan mimpi dan kenyataan. 

"Ya, enggaklah, Cal. Aku masih cukup waras untuk bertindak. Kamu pikir gara-gara aku penyuka film Korea, lalu aku mengidamkan lelaki seperti dalam film-film itu?"

Aku menjawab dengan nada agak (sedikit) tinggi. Kulanjutkan omelanku.

"Aku bukan seperti remaja-remaja atau perempuan yang baru memasuki masa dewasa awal. Aku nggak lantas ngomel-ngomel pada lawan main aktor yang disukai kalau mereka punya chemistry dengan lawan main mereka. Aku nggak nangis-nangis saking cemburunya. Aku bisa memisahkan antara kenyataan dan imajinasi. Jangan kau memintaku berhenti bermimpi."

Callysta diam. Sepertinya ia sedang mencari kata-kata untuk 'melawanku'. Bisa juga karena ia terkaget-kaget karena aku yang pendiam tiba-tiba menjadi banyak bicara. Aku menghela nafasku.

"Jangan minta aku untuk berhenti bermimpi, Callysta! Mimpi membawaku pada harapan untuk menjalani hidup. Mimpi membuatku bersemangat membuat hidup lebih berwarna. Mimpi membawaku pada usaha dan kerja keras untuk mewujudkannya. Beberapa mimpiku sudah terwujud. Jadi, jangan memintaku berhenti bermimpi."

Callysta tidak berkata apa-apa. Mungkin ia mengakui kebenaran kata-kataku. Callysta tidak tahu mengapa aku begitu ngotot mempertahankan mimpi-mimpiku. Adalah sebuah pesan singkat ucapan Selamat Tahun Baru beberapa tahun lalu dari seorang teman untukku. Tentang mimpi. 
                  
          Mimpi adalah setengah cita-cita
          Cita-cita adalah setengah rencana
          Rencana  adalah setengah kerja keras
          Kerja keras adalah setengah keberhasilan

Kata-kata itu begitu 'mengena' sehingga aku mempertahankannya untuk tidak dihapus dari kotak pesan ponselku. Kata-kata itu memberikanku kekuatan untuk tidak takut bermimpi. Kata-kata itu mendorongku untuk mewujudkannya. 

"Jadi, Callysta sahabatku, berhentilah menuduhku tanpa dasar atas mimpi-mimpiku. Aku punya hak untuk bermimpi."

Ya, aku punya hak untuk bermimpi, dan kamu juga. 

#14DaysofInspiration, mimpi

Bunga Mawar Putih

jualbibitpremium.wordpress.com
Nenekku sangat sayang pada bunga mawar putih yang beliau tanam di halaman rumah. Katanya, bunga mawar itu sudah dipelihara sejak Nenek masih muda. Aku tidak pernah tahu asal muasal mengapa Nenek menanam bunga mawar tersebut. Yang jelas, setiap kali beliau pergi menginap di rumah om atau tanteku yang notebene adalah anak-anaknya, pesan beliau cuma satu: 

Tolong siram bunga mawar, Nenek ya, Mala. Jangan sampai lupa!

Kalau Ibu menelepon Nenek atau sebaliknya, pasti Nenek tidak lupa menanyakan apakah aku menyiram mawar putihnya atau tidak. Berkali-kali aku melihat Nenek 'mengurus' bunga itu dengan sepenuh hati. Ya, betul, sepenuh hati. Bagaimana tidak, Nenek akan memetik daun-daun kering perlahan-lahan, mengusap debu-debu yang menempel di daun, mencium bunganya, memotong tangkai dengan sangat berhati-hati. 

Saat aku lahir, Ibuku mengatakan bahwa Nenek sudah memiliki bunga itu. Aku pernah bertanya pada Ibu mengapa Nenek begitu menunjukkan sikap welas asih pada bunga mawar itu. Ibu menjawab bahwa bunga mawar juga mahluk Allah, yang hidup, dan perlu dipelihara. Sampai detik ini, aku tidak pernah mendapat jawaban yang memuaskan dari Nenek kalau aku bertanya padanya. 

Sampai suatu hari, gempa melanda kotaku. Pot bunga jatuh terguling dan menimpa bunga mawar putih Nenek. Aku baru saja sampai ke rumah ketika kulihat Nenek sedang berjongkok di depan mawar putih yang tangkainya patah. Nenek memeriksa tangkai bunga mawar dengan hati-hati, mengusap kelompoknya, dan berusaha menegakkan tangkai yang patah. Aku ikut berjongkok di sebelah Nenek. Diam, tidak bicara. Tiba-tiba Nenek berbicara.

Bunga ini lambang kasih sayang, Mala. Kenapa Nenek merawat bunga ini dengan welas asih, karena pemberi bunga ini adalah seorang penyayang. Ia mengajari Nenek untuk berbagi kasih dengan sesama mahluk Tuhan. Walaupun hanya sebatang pohon. Kenapa Nenek mengistimewakan bunga ini, karena pemberi bunga ini adalah orang yang istimewa. Tanpanya, ibumu tak akan lahir. Kalau ibumu tidak lahir, kamu juga tidak akan lahir. Kamu dan ibumu adalah orang-orang istimewa bagi Nenek dan bukti kasih sayang kakekmu. Allah terlalu menyayangi kakekmu sehingga memanggilnya dengan cepat. Jangankan kamu, ibumu juga belum lama memanggilnya 'Ayah'. 

Nenek menjelaskannya dengan senyum bahagia terpancar dari wajahnya. Aku tepekur dalam diam. Sekarang aku tahu, apa arti bunga mawar putih itu bagi Nenek.

#14DaysofInspiration, welas asih.

Zein

Aku berkata pada Zein:

Zein, sekarang kita latihan menulis, ya. 
Oke, Bu.
Zein, sekarang kita latihan membaca, yuk!
Ayuk!
Zein, tugas menggambarmu belum tuntas, ayo diselesaikan hari ini, ya!
Iya Bu. 
Hari ini kita mau bermain. Permainannya adalah mencari kata-kata yang dimulai dari huruf tertentu. Siapa yang mau bermain?
Asyikk!! Aku mau bermain, Bu.
Zein, coba kamu baca lagi kalimat yang kamu buat!
Oh iya, Bu. Ini seharusnya huruf 'g'. 
Zein, Bu Cintya tidak bisa menerima tugasmu.
Oh... aku belum menuliskan hari tanggal. Aku tulis dulu, Bu.

Zein berkata padaku:
Bu, aku sudah menemukan sepuluh kata.
Bu, aku mau mencari kata-kata di luar kelas, ya.
Bu, aku sudah membuat pertanyaan sebanyak lima kalimat. 
Bu, aku sudah menulis empat teka-teki.
Bu, ......
Bu, .....
Bu, ......

Zein, ia adalah muridku. Duduk di kelas 2 SD. Penyandang disleksia. Bukan anak dengan IQ rendah, karena ia memiliki kecerdasan yang normal. Zein kadang salah ketika membaca kata. Ia sering kesulitan dalam memahami kalimat. Hal itu membuat ia juga sulit memahami soal-soal ulangan. Akibatnya, nilai-nilainya kadang diambang batas KKM (Kriteria Ketuntasan Minimal). Tidak jarang ia harus remedial karena nilai ulangannya di bawah KKM . Ketika menulis, kadang ia kehilangan huruf dalam kata atau kalimat yang ditulisnya. Ketika membaca kalimat dalam satu paragraf, kadang ia melompati baris. Ia sering tertukar antara huruf 'b' dan 'd'.  

Menghadapi itu semua, Zein tidak pernah mengeluh. Zein mengerjakannya dengan penuh semangat. Ia membaca kembali tulisannya untuk mengecek apakah ia kehilangan huruf atau tidak. Ia mau menggunakan kertas penutup supaya ia tidak lompat baris. Ia mau berlatih menulis agar tulisannya terbaca oleh orang lain. Ia selalu mengikuti kegiatan dengan semangat. 

Zein, sebagai gurumu, aku banyak belajar darimu. Belajar untuk berusaha, belajar untuk tidak mengeluh, belajar untuk selalu bersemangat menghadapi kesuliatan apa pun. Zein, semangatmu tertular padaku. Terima kasih, Zein, sudah menjadi guru buatku. Aku bangga jadi gurumu. Tetaplah menjadi anak yang sopan dan bersemangat tinggi.

#Ngabubuwrite, semangat.

18.7.13

Tidak Beruntung

Suatu sore yang cerah ketika aku berkunjung ke rumahmu. Untuk kesekian kalinya kita berhadapan. Kuhadapi lagi keraguanmu yang aku benci terutama saat ini. Padahal, aku membutuhkan keputusanmu sekarang. Ya, atau tidak? Sudah dari sebulan lalu aku memintamu untuk memikirkan hal ini. Tapi, setiap kali kutanyakan apa keputusanmu, kamu bilang masih dipikir, lagi berpikir, sedang dipikirkan dan selalu seperti itu. Aku beri waktu kamu sebulan untuk berpikir karena aku tahu kamu adalah orang yang sudah memutuskan. Keputusan mudah saja sulit kau ambil apalagi yang susah? Memilih baju apa yang akan dipakai bisa memakan waktu satu jam. Memutuskan untuk membeli pasta gigi apa memerlukan waktu sepuluh menit. Apalagi sekarang aku meminta kamu untuk memutuskan jadi ikut atau tidak travel ke negera impian kita berdua. Sampai kapan aku harus menunggu lagi? Pernah aku mengambil keputusan sendiri, dan kau seminggu marah padaku. 

Cepat putuskan sekarang! 

Aku berkata padamu. Tapi kamu tetap diam. 

Jika kamu tidak putuskan, aku yang akan memutuskan.

Ketidaksabaranku akhirnya menelurkan ucapan itu. Kamu masih tetap diam. Perasaan kesal sudah menggunung dalam hatiku. Hampir membuncah kemarahanku karena sikapmu. Sekarang, keputusanku sedang ditunggu oleh pihak travel. Jika tidak ada keputusan, maka tiket promo ke negara yang ingin kukunjungi akan diberikan oleh orang lain. Dan aku harus menunggu keputusanmu yang entah kapan akan kudapatkan. 

Kalau kamu tidak putuskan sekarang, aku ambil keputusan sendiri. 

Aku kembali mengancammu. Apa lagi yang harus kulakukan agar kamu membuka mulutmu dan mengambil keputusan? Aku putus asa. Kamu masih tetap diam. 

Nay, kamu kan tahu, aku sungguh menginginkan pergi ke sana. Aku butuh kerjasama kamu. Kalau kamu tidak putuskan sekarang, aku akan pergi sendiri. 

Kamu masih tetap diam. Aku heran, bagaimana kamu bisa tahan dengan diammu itu. Aku sudah akan membuka mulut ketika dering telepon rumah berbunyi dari dalam. Kamu beranjak pergi. Aku tidak bisa berbuat apa-apa selain menunggu. Kuhempaskan badanku di kursi teras menunggu datangnya kamu kembali. Tiba-tiba, ponselku berbunyi. Dari biro perjalanan. Aku celingukan ke dalam rumah tapi kamu tidak kunjung keluar. Aku angkat ponselku.

Hallo!

Mbak Kara?

Iya. 

Bagaimana keputusannya, Mbak. Sekarang harus diputuskan karena jika tidak saya akan menelpon orang lain.

Aku menengok lagi ke dalam rumah. Sebenarnya aku ragu. Berharap Naya segera keluar tapi harapanku sia-sia. Bagaimana ini?

Boleh tunggu sebentar, Pak?

Tidak bisa, Mbak, harus sekarang. Kalau tidak diputuskan sekarang, saya akan memberikan pada orang lain.

Tidak bisa. Oke aku putuskan sendiri.

Baiklah, Pak. Saya ambil satu tempat. 

Oke, Mbak.

Hubungan terputus. Aku siap dengan segala resikonya. Aku hembuskan napasku. Kususun kata-kata untuk Naya. Naya keluar saat aku sedang memikirkan apa ucapan yang pantas kutujukan untuk Naya. Aku berdiri. Naya hendak membuka mulutnya untuk berbicara dan aku langsung memotongnya.

Nay, aku dulu yang mau bicara. Aku sudah memberikan keputusan pada biro perjalanan bahwa aku jadi memesan tiket. Tapi hanya satu. Maaf, Nay. Kamu masih ragu jadi tidak kupesankan. Aku tidak mau kehilangan kesempatan ini. Sekarang, apa yang mau kamu katakan?

Aku akhirnya memberikan kesempatan pada Naya untuk bicara. Naya menatapku dengan tatapan getir.

Kemarin, aku mendapat doorprize. Tiket ke Korea, negara yang ingin kita datangi bersama-sama. Pulang-pergi. Gratis. Aku masih berpikir-pikir siapa yang akan pergi bersamaku. Tadi aku mendapat telepon dari keluargaku. Tidak ada yang bisa pergi bersamaku. Jadi, aku memutuskan untuk mengajakmu. Tapi, kamu sudah memutus sendiri. 

Aku jatuh terduduk di kursi teras. Kuambil ponselku. Ku-dial nomor telepon biro perjalanan yang tadi menghubungiku. Aku ingin membatalkan keputusanku. 

#ngabubuwrite, keraguan

17.7.13

Hilangnya Sepatu Keanu

Bicara tentang kejujuran mengingatkanku pada konfrontasi yang kulakukan pada seorang anak kecil berusia 6 tahun. Bicara dengannya harus siap dengan alasan logis. Maklum, ia adalah anak lelaki pintar meskipun baru kelas 1 SD. Anak itu bernama James, muridku di Sekolah XYZ.

Asal mulanya adalah hari sebelumnya. Jam pulang sekolah, seorang anak kelas 1 SD menghampiri kakeknya dengan hanya mengenakan kaos kaki. Namanya Keanu. Ia datang dari perpustakaan. Keanu mengatakan pada kakeknya kalau sepatunya hilang. Sang kakek marah karena sepatu cucunya hilang. Guru yang saat itu mengantar Keanu terkena damprat sang Kakek. Aku dan guru tersebut mencari ke sekitar lokasi hilangnya sepatu tapi tidak ketemu. Akhirnya, dibuatlah sayembara untuk mencari sepatu tersebut pada keesokan harinya.

Esok hari, kelas James adalah kelas pertama yang mencari sepatu. Setelah guru di kelas James menceritakan tentang peristiwa hilangnya sepatu dan mengumumkan sayembara, James berlari ke sisi kantin di mana terdapat tumpukan pot bunga yang tidak terpakai. Saat aku mencari sepatu, aku tidak mencarinya sampai ke sana karena tidak pernah terpikir untuk mencari ke tempat itu. James berteriak kalau ia berhasil menemukan sepatu Keanu. Sebagai penanggung jawab kegiatan, aku bertanya pada beberapa anak untuk mengetahui bagaimana proses ditemukannya sepatu. Seorang anak mengatakan bahwa ia melihat Keanu langsung menuju pot di sebelah kantin dan mengambil sepatu dari sana.

Aku panggil James dengan alasan ingin mendengarkan cerita keberhasilannya menemukan sepatu. Senyum senang mengembang di wajahnya. Terjadilah tanya jawab seputar bagaimana ia menemukan sepatu Keanu. 

"Aku melihat sepatu Keanu kemarin di perpustakaan tapi kemudian sepatunya hilang. Keanu dimarahin sama kakeknya." Kata James.

"James tahu siapa yang mengambil sepatu Keanu?"

"Aku tidak tahu " jawab James.

James menjawab dengan nada bangga setiap pertanyaan-pertanyaan yang kuajukan.
Aku juga menanyakan tentang apa perasaan Keanu ketika hilang sepatunya, saat dimarahi kakeknya, kemungkinan yang terjadi pada Keanu di rumah. Aku juga menanyakan apa yang terjadi pada pencuri itu, apa akibatnya untuk diri dan orang lain jika mencuri? Ketika James menjawab pertanyaan-pertanyaan ini, nada suaranya mulai berubah menjadi tidak yakin, duduknya gelisah, dan matanya sering menatap ke arah lain. Sampailah aku pada konfrontasi yang kuceritakan di awal. Aku berkata pada James.

"James, Bu Raisya sudah tahu siapa yang mencuri sepatu Keanu. Ibu hanya ingin orang itu berkata jujur. Bu Raisya tidak akan marah. Hanya saja, Ibu perlu membicarakan lebih lanjut apa yang perlu dilakukan oleh pencuri tersebut untuk bertanggung jawab.Ibu juga harus mengatakannya pada guru dan orangtua anak itu agar dapat mengingatkan anak kalau mencuri itu tidak baik."

James diam. Matanya berkaca-kaca. Ia lalu berkata:

"Aku yang mencuri sepatu Keanu."
"Kenapa?"
"Karena Keanu pernah menyembunyikan sepatu aku."
"Kenapa James tidak jujur? James takut?"
"Iya."
"Pada siapa?"
"Mama. Aku takut Mama marah."
"Oke. Apa harapan kamu terhadap Mama?"
"Aku ingin Mama tidak marah padaku."
"Apa yang ingin kamu lakukan untuk mengganti kemarahan Mama?"
"Aku mau membantu Mama mencuci baju dan membantu mencuci mobil Bapak."
"Lalu apa yang mau kamu lakukan untuk bertanggung jawab karena telah mencuri sepatu?"
"Aku mau minta maaf ke Keanu."

Aku katakan bahwa aku menghargai kejujuran James tapi aku tidak menyukai perilaku mencuri yang dilakukannya. Dengan James, aku membahas tentang mencuri dan akibatnya. Kemudian, aku panggil Keanu. James mengatakan pada Keanu kalau ia yang mengambil sepatu dan meminta maaf pada Keanu. James memeluk Keanu.

"Aku nggak tahu kalau kamu yang mengambil sepatu aku. Kenapa kamu ambil sepatu aku?" Tanya Keanu dengan polosnya. Keanu memaafkan James. Ia menasihati James supaya tidak melakukan hal itu lagi. Masalah selesai. Ah.. dasar anak-anak. 

Pulang sekolah, aku panggil Mama James. James kuminta menceritakan pada mamanya apa yang terjadi, apa harapannya, dan apa yang mau dilakukannya. Mamanya mau menerima apa yang dikatakan James. 

Selalu ada alasan dibalik suatu kejadian dan anak harus tahu apa akibat dari yang dilakukannya. Disitulah fungsi orang dewasa. Memberikan wawasan dan pemahaman pada anak mengenai nilai benar dan salah. Bukan memberikan penilaian 'kamu salah/benar' tapi anak perlu menilai sendiri apakah yang dilakukannya 'benar/salah'. 

Ngomong-ngomong, aku jadi ingat kalau aku juga harus melakukan konfirmasi pada Keanu apakah benar ia pernah menyembunyikan sepatuJames. Aku benar-benar lupa.


#14DaysofInspiration, #iwritetoinspire, kejujuran
Bandung, pada malam hari saat hati sedang galau.

16.7.13

Sendal Jepit Baru

Hari ini adalah hari keempat aku mengikuti suatu pelatihan. Setiap pagi, peserta dan panitia selalu ditanya apa perasaan hari ini. Begitu juga ketika selesai pelatihan. 

Pagi ini, sang trainer kembali bertanya apa perasaan kami hari ini. Aku, dengan bahagia mengatakan:

     "Hari ini aku merasa lega sekali karena pagi ini, sebelum pergi ke sini, akhirnya aku berani meminta maaf pada kakakku atas kesalahan yang kulakukan berpuluh-puluh tahun lalu." 

Selain perasaan lega, hati ini rasanya bahagia. Waktu aku kecil, aku menangis karena ingin sekali mempunyai sendal jepit baru. Sendal jepit! Ibuku tidak punya uang untuk membeli yang baru. Saat itu hujan turun dengan derasnya. Aku tidak mau tahu, pokoknya aku ingin sendal baru, begitu pikirku. Kakakku, dengan berhujan-hujanan, mencuci sendal jepit lama di sumur di samping rumah. Ia lalu datang lagi kepadaku. Rambutnya basah. Kakak membawa sendal. Ini sendal baru, kata kakakku. Sambil menangis, aku menolak sendal itu karena aku tahu sendal itu bukan sendal baru. 

Sesudah aku beranjak besar, aku masih teringat dengan peristiwa itu. Aku merasa bersalah. Perasaan yang saat kejadian itu tidak aku rasakan. Aku merasa bersalah karena membuat kakakku harus berbasah-basahan mencari 'sendal baru'. Trenyuh setiap kali mengingatnya. Meminta maaf sangat ingin aku lakukan, tapi aku tidak berani. Sampai hari ini, aku sedang memakai sepatu sebelum pergi pelatihan. Aku dan kakakku berbicara tentang 'masa dulu'. Saat itulah aku meminta maaf atas kesalahanku waktu itu. 

Ya, hari ini aku merasa lega dan bahagia karena berhasil mengatakan 'maaf' pada kakakku. Saat aku menceritakan ulang kejadian itu, kakakku bertanya:
     
     "Yang mana, sih?"

Ia benar-benar lupa kejadian itu! Perasaan bersalah kutanggung setiap kali mengingatnya padahal kakakku sendiri tidak ingat kejadiannya. Yang pasti, aku makin sadar bahwa kakak benar-benar sayang padaku.


#14DaysofInspiration
사랑 해요, 언니!

Pulang

Aku terguncang-guncang di dalam bis. Inilah salah satu alasan kenapa aku malas untuk pulang kampung ke kotaku. Jalan yang tidak pernah menjadi mulus, bis yang nge-tem di luar terminal, kecepatan bis yang kurasa pelan, membuat waktu tempuh bis bertambah lama. Setelah tiga tahun, aku kembali ke kampung halaman. Untuk menengok Ibuku. Selama aku tidak pulang, aku hanya menelepon beliau. Ibu sering memintaku pulang tapi dengan berbagai alasan, aku tidak pernah mengabulkan permintaannya. Bahkan saat lebaran pun, aku lebih memilih untuk berlibur daripada pulang ke kampung. Kakakku tidak bosan-bosan membujukku. Tapi aku tetap pada pendirianku. Sampai tadi malam kuputuskan untuk pulang. Dan di sinilah aku sekarang, menghibur diri di dalam bis, berharap cepat sampai di tujuan. Kupejamkan mataku. Siapa tahu dengan tidur, aku akan cepat sampai ke kampungku. Dengan mata terpejam, pikiranku melayang pada keputusanku tadi malam.

Minggu lalu, aku menelepon ke rumah. Pada percobaan pertama, tidak ada yang mengangkat. Ke mana Ibu? Ke mana Kak Dhina? Kucoba lagi dan lagi. Tidak ada yang mengangkat. Aku menghubungi telepon genggam kakakku, sama. Ia tidak mengangkatnya. Malamnya aku mencoba menelepon lagi ke rumah. Tetap tidak ada yang mengangkat. Tadi malam, aku menghubungi telepon genggam kakakku lagi. Sekali, dua kali, tiga kali, baru pada empat kalinya akhirnya ada jawaban dari seberang sana. 

     "Ibu sakit, Ras.Kamu pulanglah." Kak Dhina memberitahu aku. Deg! Aku terkesiap. Selama ini aku tidak pernah mendengar Ibu sakit parah. "Pulanglah sebelum terlambat." Kak Dhina membujukku. Aku mengiyakan. Tadi malam kuputuskan untuk pulang. 

                                                                  ***
Udara panas menyambutku ketika aku turun dari bis. Beginikah kampungku sekarang? Pasarnya sekarang sudah berbentuk bangunan permanen akibat kebakaran dua tahun lalu. Di sebelahnya sekarang ada mall. Pedangan es serut langgananku sudah tidak ada. Oh aku rindu es serut itu. 

     "Mbak Diza! Mbak Diza, kan?" Seorang tukang becak memanggilku.
     "Mang Cecep, ya?" Tanyaku
     "Iya. Mau pulang, Mbak?" 
     "Iya. Ayo, Mang! Kita pulang." 

Mang Cecep adalah tukang beca langgananku. Ia juga tetanggaku. Sepanjang jalan kami mengobrol. Ia bertanya mengapa aku jarang pulang. Mang Cecep juga bercerita kalau Ibu sakit dan sekarang sudah kembali ke rumah setelah dirawat di rumah sakit. Kiri kanan jalan sudah berubah. Toko Pak Koko masih ada tapi barangnya semakin sedikit dan terlihat sepi. Pak Koko sedang duduk di depan tokonya. Pandangannya kuyu dan seperti melamun. Apakah karena sekarang banyak mini market di sana-sini? Mbak Cani masih menjual rujak. Rujak yang selalu aku rindukan. Pohon-pohon di sisi jalan sudah tidak ada. Gantinya adalah pohon kecil. Oh.. ke mana warung Pak Komar? Kenapa sekarang berubah jadi warnet. Mang Cecep memberikan jawaban-jawaban atas berbagai pertanyaanku. Tak terasa sampailah aku di rumah.

Rumah terlihat sepi. Aku buka pintu. Tidak terkunci. Aku mengucap salam dan masuk. Mana Ibu? Mana Mbak Dhina? Aku semakin masuk ke dalam rumah. Kutuju kamar Ibu. Aku ketuk pintunya dan bersiap mengejutkan beliau. Kupasang senyum manis. Aku panggil Ibu dan masuk ke dalam kamar. Seorang perempuan dengan rambut putih melihat ke arahku. Ia sedang duduk di tempat tidur sambil bersandar. Perempuan itu memandangku heran. Aku memanggilnya.

     "Siapa kamu? Kenapa kamu masuk rumahku tanpa permisi? "

Seketika senyum di wajahku menghilang. Aku terkejut. Ia ibuku, tapi kenapa tidak mengenali aku?

Surat Untuk Kei

Hai, Kei.
Apa kabar? Aku senantiasa berdoa agar kamu baik-baik saja. Kei, bagiku, kamu  adalah orang yang dermawan dan tanpa pamrih pada siapa pun. Kamu siap menolong. Bukan saja terhadap keluargamu, teman-temanmu, bahkan pada orang yang baru kamu kenal. Sebagai perantau dari pulau paling timur Indonesia, kamu begitu terbuka dengan orang-orang yang berasal dari pulau yang sama, apalagi jika berasal dari kota yang sama. Kamu anggap mereka saudara. Padahal, sama sekali tidak ada hubungan darah. 

Kei, apakah kamu ingat? Kami (aku dan Candra) pernah berencana membuat kamu marah karena kami tidak pernah melihatmu marah. Sekalipun ada teman yang mengambil keuntungan darimu, kamu tenang saja. Aku ingat perkataanmu pada kami waktu itu.

     "Sudah, sudah. Tuh, kan. Aku sebenarnya nggak ingin cerita pada kalian. Kalau cerita, kalian pasti marah. Benar, kan?"

Benar, Kei. Aku dan Candra tidak rela melihat orang lain 'mempergunakanmu'. Teman-temanmu sering menggunakan printer tanpa mengganti, memakai barang-barangmu, bahkan belanja dengan uangmu. Tapi, kamu tidak pernah menganggap hal itu sebagai masalah. Kamu terlalu baik pada orang lain, Kei.

Kei, kamu ingat boneka ikan berbibir tebal berwarna biru hadiah ulang tahun darimu? Sekarang masih ada di kamarku. Aku sengaja memasangnya karena aku ingin selalu mengingatmu. Kamu terlalu baik untuk dilupakan.

Kei, kita semakin jarang berbincang satu sama lain. Selain kita berjauhan, sekarang kita memiliki kesibukan yang berbeda. Bukan lagi anak kuliahan yang saling menginap di tempat kos masing-masing, mengerjakan tugas kelompok, mengejar-ngejar dosen, memesan mie rebus/goreng, atau pergi ke mall yang jaraknya satu setengah jam perjalanan dari tempat tinggal sementara kita. Kita bukan lagi anak kos yang bermimpi membuat terowongan dari tempat kosku ke tempat kosmu karena seringnya kita bersama-sama. Dari jejaring sosial, aku tahu kegiatanmu banyak saat ini. Aku terkesan dengan itu. Kamu benar-benar mengaktualisasikan dirimu. Mengajar, memberikan pelayanan, melakukan kegiatan sosial yang kamu lakukan semakin menunjukkan jiwa sosialmu. Itu adalah kamu yang sebenarnya. Aku sendiri tidak menyangka bahwa kamu akan sibuk sekali. Tapi, itulah kamu. Temanku yang baik hati.

Kei, semoga kamu selalu diberikan kesehatan supaya kamu tetap dapat berbagi dengan siapa saja. Semoga, kamu bisa datang ke Jakarta atau Bandung supaya kita dapat bersua lebih lama. Tidak hanya sekedar pertemuan singkat di bandara, atau makan mi dan es alpukat di Linggarjati. Aku tidak berharap bertemu denganmu karena kamu harus berobat di Jakarta seperti beberapa waktu lalu. Aku berharap saat kita bertemu, kamu benar-benar dalam keadaan sehat. Orang-orang yang kamu tolong pasti mendoakan kesehatanmu karena kamu benar-benar baik.

Sampai bertemu kembali, Kei
 Iin

#14DaysofInspiration
Untuk 'Kei' nun jauh di sana. Tidak sabar menunggu kabar kedatanganmu, Kei.

14.7.13

Bahagia Itu Sederhana



Entah siapa yang pertama kali menggulirkan kalimat ini, tapi aku suka, sangat suka:

                       "Bahagia itu sederhana."

Ya! Bahagia itu sederhana, simple, nggak neko-neko
Aku sebal dengan orang-orang yang selalu mengeluh. 
Mengeluh itu tidak menyelesaikan masalah. 
Kenapa tidak mencoba membahagiakan diri sendiri saja?

Bahagia itu sederhana. 
Ketika aku senang, aku telepon keluargaku.
Ketika aku kesal dan sedih, aku pesan talkmania seharga Rp. 2000 untuk menelepon temanku dan berbicara panjang lebar.
Ketika ada yang berulang tahun, kuucapkan selamat ulang tahun.
Ketika aku punya sesuatu, aku berbagi.
Ketika supir angkot mengambil bayaran lebih banyak dari biasanya, kuikhlaskan saja. Niatkan saja beramal.
Ketika teman mengajak main dan aku bisa, kuiyakan.
Ketika ada yang memberi komentar di facebook atau reply di twitter, kubalas komentarnya dan me-reply
Ketika ada yang berdoa baik untukku, aku aminkan (semoga terkabul). 
Ketika ada yang menggosipkanku, aku aminkan kalau gosipnya baik. Kalau gosipnya buruk, aku berdoa semoga aku mendapat banyak rejeki dan dia diampuni dosanya.

Bahagia itu sederhana.
Aku bahagia ketika aku tidak punya hutang.
Aku bahagia ketika aku bisa menabung walaupun sedikit.
Aku bahagia ketika kulihat angka di tabungan yang bertambah (walaupun pada akhirnya diambil lagi).
Aku bahagia ketika bisa menolong orang lain.
Aku bahagia ketika tugas-tugasku selesai.

Bahagia itu sederhana.
Kubersyukur dengan apa yang kudapatkan.
Kurancang mimpi-mimpiku.
Kukejar harapan-harapanku.
Kuhadiahi diriku sendiri.
Kusisihkan waktu untuk diriku.
Kusisihkan waktu untuk kesenanganku.
Kubuat rencana untuk bahagia.
Aku juga berhak bahagia, kan?

Kalau kamu? 
Kamu juga berhak bahagia.
Apa yang membuat dirimu bahagia?


#14DaysofInspiration, hari ke-5: happiness

Panti Jompo

Chantigi salut pada Karindra karena jiwa sosialnya yang tinggi. Bagaimana tidak, setiap bulan, Karindra selalu pergi ke panti jompo. Panti jompo yang berbeda-beda. Chantigi beberapa kali pernah ikut dengan Karindra. Di sana, Karindra mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Mencuci baju penghuni, membersihkan kamar, menyuapi kakek-nenek yang sudah sangat renta, mengobrol, membacakan cerita, menunggui nenek-nenek sampai tertidur, dan lain sebagainya. Ia tidak merasa riskan dengan kamar yang beraroma pesing dan balsem. Karindra tetap tersenyum dengan omelan penghuni yang kadang tidak jelas ditujukan pada siapa dan penyebabnya apa. Ia tetap sabar melayani mereka. Sementara Chantigi berusaha keras menahan dirinya supaya tidak muntah karena aroma-aroma itu.

Pertama kali Chantigi ikut ke panti jompo, ia tidak bertanya apa-apa pada Karindra. Sampai ia menemukan bahwa Karindra sering mengunjungi berbagai panti jompo yang berbeda di mana pun ia berada termasuk saat ia berlibur atau bekerja ke luar kota. Karindra akan melakukan hal yang sama di semua panti jompo. Keheranan mengusik Chantigi dan membuatnya ingin tahu apa motif sebenarnya di balik itu.

     "Kenapa kamu suka sekali pergi ke panti jompo?" Tanya Chantigi suatu ketika.
     "Hanya ingin berbagi," jawab Karindra. 

Setidaknya, apa yang dilakukan Karindra berpengaruh juga pada Chantigi. Ia jadi sering ikut pergi dengan Karindra. Bagus, kan?
                                                          
                                                              *** 
Suatu malam, Chantigi dan Karindra sedang menonton televisi di rumah kos mereka. Stasiun televisi yang mereka tonton menayangkan berita tentang gempa bumi yang kembali mengguncang Aceh. Chantigi langsung melihat Karindra. Karindra menatap layar kaca tanpa teralih. Wajahnya pucat, raut mukanya tegang, dan air mata meleleh di pipinya. Chantigi bertanya apakah ia perlu memindahkan saluran televisi?  Karindra tidak menjawab, tapi ia menggangguk. Aceh adalah tempat asal Karindra. Hanya itu yang Chantigi tahu. Karindra menutup diri tentang diri dan keluarganya. Ia tidak bercerita banyak kecuali bahwa ia berasal dari Aceh. Chantigi memindahkan channel televisi ke acara lain. 

Karindra menyusut air matanya. Tiba-tiba saja, Karindra berbicara tanpa diminta atau pun ditanya oleh Chantigi. Gempa bumi mengingatkan Karindra pada bencana tsunami yang melanda Aceh. Kampungnya porak-poranda. Rumahnya tak bersisa. Ia kehilangan kontak dengan nenek dan kakeknya, keluarga yang selama ini membesarkannya. Ayahnya sudah meninggal ketika ia kecil. Ibunya meninggalkannya setahun setelah ayahnya 'pergi'. Karindra sudah mencari ke mana-mana tapi kakek dan neneknya (bahkan jasadnya jika mereka sudah meninggal) tidak juga ditemukan. 

     "Aku sering ke panti jompo dengan harapan bertemu Kakek dan Nenek, jika mereka masih hidup. Membantu panti jompo adalah caraku menghormati Kakek dan Nenek. Bentuk bakti dan ucapan terima kasih yang belum sempat kuberikan pada Kakek dan Nenek. Aku  merasa dekat dengan Kakek dan Nenek ketika aku berada di panti jompo." 

Karindra kembali menghapus air matanya. Chantigi terdiam. Ia teringat pada ayah, ibu, kakek, dan neneknya. Ia belum pernah melakukan 'penghormatan' pada mereka. Seharusnya ia banyak bersyukur karena keluarganya masih lengkap.


#14DaysofInspiration, hari ke-4: respect.

13.7.13

Buah Mangga dan Seekor Kupu-kupu

Di halaman rumah bercat kuning gading, tumbuh sebatang pohon mangga dengan buah yang lebat. Saat itu, buah mangga sedang berbincang-bincang dengan seekor kupu-kupu yang hinggap di ranting pohon mangga. Mereka membicarakan tentang penghuni rumah.

     "Ga, siapa yang kau senangi dari penghuni rumah itu?" Tanya Kupu-kupu pada Mangga.
     "Aku suka dengan Sarah. Ia baik padaku, sering menyiram pohonku dan menyapu dedaunan yang jatuh, " kata Mangga. "Kalau kamu?" Mangga balik bertanya pada Kupu-kupu.
     "Aku senang dengan Kayla, kakak Sarah. Ia rajin merawat bunga-bunga di taman. Jadi bunga-bunga tumbuh subur. Aku punya stok makanan yang banyak. Lihatlah, badanku jadi gemuk, kan?" Jawab Kupu-kupu.
     "Mereka orang-orang yang baik, ya. Aku berharap Sarah selalu merasa senang," kata Mangga.
     "Aku juga ingin Kayla bahagia," kata Kupu-kupu.

Mereka masih terus membicarakan Kayla dan Sarah, dua anak pemilik rumah kuning gading. Angin sepoi-sepoi menyapu pohon mangga. Mangga dan Kupu-kupu pun mengantuk dan akhirnya tertidur.

                                                                   ***

Suatu hari, Sarah dan Kayla sedang berada di bawah pohon mangga.
     "Kak, aku ingin buah mangga yang itu." Telunjuk Sarah mengarah pada Mangga.
     "Masih mentah, Sarah. Lebih enak kalau mangga itu sudah matang, " Kata Kayla pada adiknya, Sarah.
     "Berapa hari lagi, Kak, mangga itu bisa diunduh?" Tanya Sarah.
     "Dua minggu lagi baru bisa dipanen. Sabar, ya." Kayla 

Ternyata, Mangga dan Kupu-kupu yang sedang berada di atas mereka, mendengar pembicaraan dua saudara tersebut. 
     "Lihat, Sarah ternyata menginginkan aku! Aku mau memberikan diriku untuk Sarah!" Teriak Mangga senang.
     "Sabar, Ga. Kamu masih belum matang. Sarah pasti akan senang kalau memakan mangga matang." Kata Kupu-kupu.
     "Tapi aku ingin menyenangkan Sarah." Bantah Mangga.
     "Segala sesuatu ada waktunya, Ga. Bersabarlah dulu." Kata Maggie

Mangga terdiam. Ia mengamati Sarah. Mangga benar-benar ingin membuat Sarah bahagia.

                                                                 ***


Setiap hari Sarah mengamati Mangga. Ia ingin segera mencicipi Mangga. Sebenarnya,  Manggaingin menjatuhkan diri agar Sarah bisa memakannya. Namun, Kupu-kupu selalu menyuruhnya bersabar. Sampai suatu ketika, Mangga benar-benar merasa tidak tega. Ketika angin kencang bertiup, Mangga ikut menggoyang-goyangkan badannya dengan keras supaya jatuh. Beberapa kali ia mencoba melepaskan diri dari ranting pohon di mana ia terikat, dan akhirnya Mangga berhasil membuat dirinya jatuh. 

Sarah yang saat itu sedang menyapu halaman merasa senang karena mangga yang ditunggu-tunggunya terjatuh. Ia membawa Mangga ke dalam rumah. Tidak berapa lama kemudian, ia keluar sambil membawa sepiring mangga. Daging buahnya berwarna agak kekuningan. Sarah mengambil sepotong irisan mangga. Ketika ia memakan irisan buah mangga itu, Sarah mengernyitkan mukanya. Matanya terpejam dan mulutnya meringis. Ia mengeluarkan lagi buah mangga yang sedang dikunyahnya. Kayla yang baru datang dari sekolah bertanya pada Sarah.

     "Kenapa, Sar? Rasanya tidak manis?" Tanya Kayla
     "Kecut banget, Kak." Kata Sarah sambil meringis.
     "Kan Kakak sudah bilang kalau mangga itu belum waktunya dipanen, " kata Kayla lagi.
     "Mangga ini jatuh sendiri, Kak,"  ujar Sarah. 
     "Oh...," kata Kayla. 

Sarah lalu membawa masuk sisa mangga yang masih banyak ke dalam rumah. Kupu-kupu yang sedang menghisap madu di salah satu bunga mawar berkata dalam hati. Aku kan sudah bilang pada Mangga, bersabarlah. Semua akan indah pada waktunya. Sekarang, Sarah bukannya senang malah jadi menggerutu karena rasa mangganya masam. Kupu-kupu lalu terbang ke bunga yang lain dan melanjutkan menghisap madu.

#14DaysOfInspiration hari ke-3.
Bandung di malam hari yang dingin.

downloadkumpulangambarkeren.com

Doa Bapak

Aku sering minta didoakan Bapak, bukan Ibu. Jika menghadapi sesuatu hal yang kuanggap cukup penting, aku selalu menelepon bapakku (karena kami tinggal beda kota) dan minta didoakan. Bapak selalu menjawab bahwa beliau pasti mendoakan anak-anaknya. Iya, sih, sudah pasti. Tapi, rasanya kurang afdol jika aku tidak meminta secara khusus doa dari Bapak. Biasanya, sesudah minta didoakan, Bapak akan berkata:

     "Jangan terlalu berharap. Jika tidak tercapai nanti kamu kecewa. Bapak sih tetap berdoa."

Oke, setuju. Kalau terlalu berharap dan tidak terkabul memang menyakitkan, ya. Dengan pesan itu, hidup rasanya jadi lebih ringan. Punya harapan tapi siap jika tidak terkabul. Alasan lain kenapa aku selalu meminta doa dari Bapak adalah karena ridho Allah ada pada ridho orangtua. Katanya lagi Allah akan mendengar doa orangtua. Beberapa harapanku memang terkabul. Berkat doa Bapak. 

Aku sering meminta didoakan Bapak, bukan Ibu. Jika Ibu masih 'ada' tentu aku juga akan meminta doanya. Jadi lengkaplah doa dari Ibu dan Bapak. Sekarang, aku yang mendoakan Ibu. Semoga juga Ibu mendoakan aku di 'sana'. Bapak tetap berdoa untukku, ya. Terima kasih atas doa-doanya selama ini.


#Bandung, pastinya di sore hari.

12.7.13

Mimpi dan Imajinasi

Aku senang aku masih bisa bermimpi. Mimpi adalah kebebasan berimajinasi. Aku bebas untuk bermimpi menjadi astronot, bintang film, back packer, wanita paling cantik di dunia, jalan-jalan ke luar negeri, bertemu selebriti idola, menjadi kaya raya dan sederet mimpi lainnya. Dan.. yang paling menyenangkan adalah mimpi itu gratis. Di kala harga-harga melambung tinggi, mimpi tidak membutuhkan nilai mata uang. Jadi bermimpilah. Tidak ada yang melarang, kok. 

Setelah bebas berimajinasi, mulailah dengan mewujudkan mimpi. Jadi, aku akan pilih mimpi yang mungkin bisa diwujudkan. Dengan begitu, aku terdorong untuk membuat rencana dan kemudian berusaha untuk mewujudkannya. Di sinilah perjuangan di butuhkan. Tidak lagi 'gratisan' tapi mulai butuh pengorbanan. Tapi kalau sudah pilihan, tentu harus berani mengambil resikonya, kan? Lalu, takutkah untuk bermimpi? Tidak, aku tidak takut bermimpi. Yang kutakutkan adalah kalau aku tidak bisa bermimpi lagi. 

Selamat bermimpi.