20.3.13

Telat

Kringg!! Kringg!! Kringg!!
Aku mendengar suara alarm. Malas-malasan aku meraba meja mencari weker. Jam berapa, sih? Kenapa aku memasang alarm jam 5.00 pagi? Aku menekan tombol weker. 

Tok tok tok! 
Siapa sih ketok-ketok pintu. Ini kan masih pagi.
Tok tok tok!
Suara ketukan pintu semakin keras. Aku membenamkan kepalaku dalam selimut tebal.

Jder jder jder!!
Suaranya bukan suara ketukan lembut di pintu lagi, tapi gedoran keras tanda kesabaran di ambang batas.
"Lola, kalau kamu nggak bangun, aku tinggal!" Suara seorang perempuan yang jauh dari kesan lemah lembut menyusul gedoran pintu.
"Ya, sudah, aku duluan yah!" Suara itu terdengar lagi. Aku membuka mata. Ada apa sih, ini? Ini masih pagi, kan? Pikirku dalam hati. Oh, My God! Pantes dia marah-marah.
"Cindai!!!! Tunggu!" Aku cepat-cepat membuka selot pintu dan berlari mengejar Cindai, sahabatku.

***
Setengah jam kemudian, aku dan Cindai sudah berada di perempatan Jalan Riau-Merdeka dengan sepeda masing-masing. Sepanjang jalan, aku harus pasrah mendengar omelan Cindai. Hampir saja aku kembali lagi ke rumah. Kayuhan pedal ini sudah membuatku lelah. 'Nyanyian' Cindai sepanjang jalan membuatku semakin bertambah lelah.
"Untung masih belum macet." Kata Cindai. "Kalau telat 5 menit aja, kita pasti nggak akan bisa nyampe cepat ke car free day. Keburu kena macet." Cindai masih mengomeli aku. Lampu hijau. Omelan terus berlanjut. Aku tidak tahan. Aku berhenti dengan perasaan kesal. Aku duduk di pinggir jalan. Untung sudah ada di dalam daerah car free day. Cindai masih belum sadar kalau aku tidak melanjutkan perjalanan. Aku merengut. Aku melempar-lemparkan kerikil ke kakiku sendiri. Tiba-tiba, sebuah sepeda berhenti di sebelah sepedaku. Aku melihat dari sudut mataku. Bukan Cindai. Bodo amat, ah. Aku masih melempar-lemparkan kerikil ke sekelilingku. Aku merasakan ada yang duduk di dekatku. Bukan Cindai, batinku. Orang di sebelahku menyapaku. 

"Kamu berantem sama temen kamu, ya?" 

Aku menoleh. Tuhan! Ia manis sekali. Moodku seketika berubah. Wajahku berangsur-angsur berubah menjadi berseri-seri. Dalam hati aku berkata, 

"Terima kasih, Cindai. I love you. Moga-moga minggu depan kita bersepeda lagi dan aku telat lagi, ya." 

Cowok ini manis sekali. Aku akhirnya mengobrol dengan cowok sebelahku. Tiba-tiba datang sepeda dengan decitan rem. Aku menoleh ke arah sepeda itu. Cindai!!! Mukanya terlihat jengkel sekali. 

***
Bandung
10.00 PM saat menunggu cucian dan mata mengantuk.

Aera..Aera..

Aku duduk di ruang makan kantor. "Pasti enak nih, rujak buah ini," pikirku. Aku baru makan beberapa potong. Tiba-tiba datang Aera. 
" Eh ada rujak. Mau, ya." Tanpa permisi ia mencomot rujak buahku. Aku diam saja. Kami seperti konsep korespondensi satu-satu dalam matematika. Aku ambil potongan buah, ia juga. Begitu seterusnya. Hmm... makan siangku ternoda.

***
Makan di mall. Aku pesan makanan favorit aku, tomyam. Aera datang. Ia bertanya padaku apa pesananku. Setelah aku jawab, ia memanggil waiter. 

"Mbak, pesen nasi 1, ya." Ia memesan.
"Kenapa pesen nasi doang?" Tanyaku.
"Tomyam kan, banyak. Jadi kita makan berdua, ya."

Aku bengong. Selera makanku langsung menguap.

***
Aku dan beberapa temanku sedang berada di ruang tempat biasa kami berkumpul di kantor.
"Eh, aku kan piket. Pergi dulu, ya." Aera pergi dari tempat kumpul kami.
"Tumben, dia cepet-cepet pergi. Biasanya kan nggak pernah piket dia," salah seorang temanku berkata.
"Kalo piket siang kan ada jatah makan siang," temanku yang lain menyahut.

Aku hanya geleng-geleng kepala. Aera..Aera.. Kapan dia berubah?

17.3.13

Nyamuk dan Kepik

karyaanakbangsa.heck.in

Seekor nyamuk terbang berputar-putar. Ia tinggal di salah satu pohon dekat Danau Hijau. Nyamuk itu berhenti di selembar daun lebar. Ia mengusap peluh dengan sayap-sayapnya. Sejak hari mulai terang, ia sudah terbang. Saat ini, matahari hampir di ubun-ubun. 

"Siang yang panas, ya, " seekor kepik tua menyapa nyamuk. 
"Selamat siang, Pak Kepik. Boleh saya menumpang istirahat sejenak?" Nyamuk berkata pada kepik.
"Boleh, Nak. Silakan istirahat. Tampaknya kau kelelahan," kata Pak Kepik.
"Iya, Pak. Saya lelah sekali. Dari tadi saya berputar-putar tapi yang saya cari belum ketemu," jawab nyamuk lemah. 
"Memangnya apa yang kamu cari, Nak?" tanya Pak Kepik.
"Aku mau mencari saudaraku. Seekor laba-laba," jawab nyamuk.
"Kenapa kamu mencarinya?" tanya Pak Kepik lagi.
"Kemarin saya terbang ke sekolah di dekat Danau Hijau. Di salah satu kelas, murid-muridnya sedang berdebat, Pak. Ada yang berkata kalau laba-laba itu termasuk keluargaku, keluarga serangga, ada yang bilang bukan, " nyamuk menjelaskan pada Pak Kepik. Pak Kepik mendengarkan penjelasan si nyamuk.
"Lalu, kalau kamu bertemu laba-laba, apa yang akan kamu lakukan?" Tanya Pak Kepik.
"Saya mau bertanya padanya, apakah ia keluarga saya atau bukan. Sudah lama saya tinggal sendiri di sini. Keluarga saya sudah mati semua karena mereka terbang ke sekolah itu. Saat mereka berjalan-jalan ke sana, di sekolah ada penyemprotan anti serangga. Kalau saya bertemu laba-laba, saya akan senang sekali. Paling tidak saya masih punya keluarga, " suara nyamuk semakin lama semakin lirih.  Mendengar cerita nyamuk, Pak Kepik tersenyum. Ia kemudian bertanya pada nyamuk.

"Nak, kamu tahu bagaimana caranya menentukan apakah seekor binatang itu keluarga serangga?"
"Tidak, Pak. Bapak tahu?" Tanya nyamuk.
"Pertama, coba hitung berapa kakimu!" Kata Pak Kepik
"Kaki saya ada 6, Pak," jawab nyamuk.
"Sekarang, hitunglah berapa bagian tubuhmu!" Pak Kepik berkata lagi pada nyamuk.
Nyamuk meraba-raba tubuhnya dengan sayapnya. Ia terdiam sejenak lalu berkata, 

" Ada 3, Pak. Kepala, toraks, dan abdomen," kata nyamuk.
" Coba sekarang periksa kepalamu! Apakah kamu menemukan sesuatu?" tanya Pak Kepik pada nyamuk. Nyamuk memeriksa kepalanya. Ia meraba antenanya.
"Saya punya sepasang antena, " teriak nyamuk. Suaranya terdengar bersemangat.
"Betul, Nak. Serangga punya sepasang antena," Pak Kepik tersenyum pada nyamuk. Pak Kepik kemudian berkata lagi pada nyamuk. 
"Sekarang kamu ingat-ingat si laba-laba. Apakah laba-laba sama seperti dirimu?" 
Nyamuk diam. Keningnya berkerut-kerut.
"Pak, apakah laba-laba bukan keluargaku? Keluarga serangga?" tanya nyamuk. Nada bicaranya mulai melemah lagi.

"Kenapa kamu berkata seperti itu?" Tanya Pak Kepik.
"Laba-laba punya 8 kaki, bagian tubuhnya hanya 2 bagian, dan laba-laba tidak punya antena. Laba-laba bukan keluargaku, Pak." Nada sedih terdengar dari ucapan nyamuk. 
Nyamuk menatap Pak Kepik. Pak Kepik hanya tersenyum. Ia tidak berkata apa-apa. Tiba-tiba mata nyamuk membesar. Ia menatap Pak Kepik dengan tatapan yang tajam. 

"Yihaa! " Nyamuk berteriak keras sambil terbang. Ia mengepakkan sayapnya dengan bersemangat. Tidak berapa lama kemudian, ia kembali ke depan Pak Kepik. 

"Pak! Saya tidak mau mencari laba-laba lagi. Saya sudah menemukan keluarga saya," kata nyamuk sambil terbang. 
Diambil dari nugum.blogspot.com
Nyamuk lalu berhenti terbang. Ia diam di depan Pak Kepik. 

"Bapaklah keluarga saya. Pak Kepik seperti saya. Semua hal yang tadi Pak Kepik tanyakan pada saya, ada pada Pak Kepik." 

Nyamuk kembali terbang. Kali ini, kepakan sayapnya kuat. Senyuman tampak di wajahnya. Senyum senang karena bertemu keluarga. Ia berputar-putar mengelilingi Pak Kepik. Pak Kepik hanya tersenyum ketika melihat tingkah polah nyamuk.  


Bandung, 12.00 PM.

Catatan:
Gambar 'nyamuk' diambil dari karyaanakbangsa.heck.in dan gambar 'kepik' diambil dari nugum.blogspot.com

13.3.13

Di Kereta Malam

Aku berlari-lari menuju stasiun. 5 menit lagi. Kalau aku tidak sampai dalam 5 menit, tiket di  tanganku akan hangus. Artinya lagi, aku gagal pulang ke Surabaya. Padahal, aku sudah diultimatum keluargaku. Kalau besok aku tidak sampai rumah, aku dicoret dari daftar keluarga. Memangnya ada masalah apa sih, sampai ultimatum dikeluarkan untukku? Aku terus berlari menaiki tangga menuju keretaku. Aku dengar peluit panjang. Oh... itu keretaku. Aku berlari serasa terbang. Aku tidak ingat kalau aku menjejak bumi. Hop!! Aku melompat ke salah satu pintu kereta yang masih terbuka. Kereta yang mulai berjalan pelan. Aku menarik napas lega. Napasku masih memburu. Keringat bercucuran. Aku mengusap dahiku yang berkeringat. Lalu, aku mulai berjalan di dalam gerbong. Entahlah, saat ini aku berada di gerbong berapa. Aku pun tak ingat. Aku mulai bertanya-tanya aku ada di gerbong berapa. Sambil menenangkan diriku, aku berjalan mencari tempat dudukku. 

Oh, itu di sana. Itu tempat dudukku. Aku berjalan menuju kursiku. Masih dengan kening berkeringat, aku menghempaskan diriku. Aku ambil buku dari dalam tas. Kukipas-kipas mukaku. Padahal, aku berada di gerbong ber-AC. Aku menghembuskan napas lega sambil mengipasi mukaku. Aku ambil air minum. Kuteguk sampai setengah botol. Kusenderkan punggungku di kursi kereta. Lega!! Akhirnya aku berhasil pulang. Tiba-tiba 'The Wedding Songs'-nya Kenny G mengalun dari dalam tas. Aku cepat-cepat mengambil telepon genggamku dan menekan tombol bicara. Ayahku! 

"Jadi pulang, kan, In?" Ayah bertanya di seberang sana.
"Ini udah di kereta, Yah." jawabku.
"Bagus!" Singkat ayah menanggapi.
"Kenapa sih, Yah, aku disuruh pulang? Sampai diultimatum segala." aku bertanya.
"Kamu mau Ayah jodohkan."
"What?" Aku berteriak. Upss!! Aku menutup mulutku lalu memandang sekeliling dengan tatapan meminta maaf. Beberapa mata memandangku. Aku malu. Ayah masih berkata di ujung sana, tapi aku sudah tidak mendengarkan lagi. Aku kalut. 

"Dijodohin, ya, Mbak?" lelaki di sebelahku bertanya sambil nyengir. 
Aku diam, kesal dengan orang sok tahu. 
"Tadi mau ketinggalan kereta ya, Mbak?" 
Aku membalikkan badan memunggunginya. Aku pura-pura tidur. Aku sebal. Pada ayah, dan pada orang di sebelahku. Sekilas kuperhatikan dia. Senyumnya manis, matanya ramah. Sepertinya ia baik. Tapi saat ini aku belum berminat beramah-tamah dengannya. Topik perjodohan masih memenuhi pikiranku.

Sampai di Surabaya. Acara perjodohan ternyata bukan gertak sambal. Aku sudah hampir nangis-nangis tapi ayah tetap pada pendiriannya. Aku tertunduk lesu. Lelaki itu sudah datang. Tahukah kamu siapa dia? Lelaki yang duduk di sebelahku di kereta malam! Hmm...

Life is Wonderful

Hari ini aku malas sekali bangun. Am I hate Monday? No, because today is Wednesday. Hari Rabu berarti aku harus berangkat pagi-pagi karena aku piket pagi. Kringggg!!!! Kembali jam weker dengan bunyi yang khas bunyi weker berdering keras. Aku meraba-raba meja dan menekan tombol snooze kemudian kembali menutup mata. 10 menit kemudian aku kembali dibangunkan oleh jeritan weker di atas meja. Aku melihat jam. Oh.. sudah pukul 6.00. Pelan-pelan aku bangun, mencari-cari sandal rumahku, dan melangkah keluar kamar menuju kamar mandi. 

****
Aku sampai di kantor jam 6.59. Beuh.. hampir saja aku telat. Aku langsung piket, menyambut murid-murid sampai jam 7.30. Sesudah piket pagi, aku bersiap-siap mengajar. Aku mengajar di kelas 1 sampai pukul 10.00. Ya, Tuhan. Hari ini anak-anak ajaib sekali. Mereka tidak seperti biasanya. Hari ini sebagian besar dari mereka 'ngeyel' sekali. Aku dan mereka banyak berdebat. Aku berkali-kali berdoa supaya diberi kesabaran menghadapi mereka. Aku menghembuskan napas lega ketika waktu sudah menunjukkan pukul 10.00. Pfuh! Saatnya aku istirahat sejenak. Aku pergi ke ruang guru. Aku membuka laptopku dan mengecek email-email yang masuk. Oh, Tuhan! Kembali aku berseru dalam hati. Email dari ibu yang satu ini sangat menjengkelkan. Beliau memintaku menulis berbagai hal mengenai perkembangan anak-anak yang kupegang. Padahal, aku merasa sudah menuliskannya lengkap menurut aku. Namun, menurut beliau, atasanku, apa yang kutuliskan kurang sempurna. Baiklah! Aku coba lagi. Akhirnya, dua jam kemudian, aku berhasil menyelesaikannya. 

Sekarang waktunya istirahat. Di ruang makan, aku bertemu rekanku. Ia bercerita kalau ada orangtua yang marah-marah karena anaknya tidak diperbolehkan mengikuti program rekanku. Ya, aku memang tidak memperbolehkannya karena orangtua tersebut sudah menandatangani perjanjian bahwa anaknya akan mengikuti programku. Aku sebel!!! Kenapa juga rekanku tidak berkoordinasi denganku sehingga terjadi tumpang tindih.

Sampai sore hari, beberapa kejadian tidak mengenakkan seakan-akan datang bertubi-tubi. Aku kesal. Pulang ke rumah aku merasa kepala seakan-akan mau meledak! Ingin kuberteriak. Saat aku merebahkan diri di tempat tidur untuk menghilangkan kekesalanku, tiba-tiba ada bunyi sms. Temanku dari Jakarta. Pesannya pendek. "In, gue lagi di Bandung. Ntar malem ketemuan, yah." AAhhhh!!! Aku teriak. Life is wonderful. AKhirnya hari ini ditutup dengan kegembiraan. 

8.3.13

Kangen

Aku menengok ke kiri dan ke kanan sebelum menyeberang jalan. Aku melewati tukang kupat tahu. Ia masih setia di depan gedung itu. Di sebelahnya, masih ada gerobak penjual minuman pak tua. Semua masih tetap di posisi seperti dulu. Pohon mangga yang rimbun masih berdiri tegak di halaman depan. Yang jelas berbeda adalah gambar kolase di dinding depan. Dulu kolasenya adalah kastil. Dulu, sebelum aku meninggalkan gedung ini. Aku berjalan melewati meja front office. Penghuni ruangan ini benar-benar mahluk setia. Sejak pertama kali ia kerja di sini sampai sekarang masih bertahan. Aku tersenyum padanya. Mahluk ayu berambut panjang yang selalu tenang. Nyaris tidak pernah terlihat marah bagaimanapun kesalnya dia. Sampai aku dan teman-temanku berencana membuatnya marah. Hanya untuk melihat dia mengembangkan emosi dan ekspresi agar tidak terpendam.

Aku melangkah ke ruangan berikutnya. Aku tertegun di ruangan itu. Sekarang ruangan ini sudah berubah. Meja-meja dan kursi-kursi ukuran kecil tersusun di ruangan ini. Aku merindukan blocks yang dulu tersusun rapi di sini. Tidak, bukan blocks-nya yang aku rindukan. Aku merindukan semua orang-orang yang sering menghuni ruangan ini. Dulu, beberapa tahun lalu. 

Aku termenung mengingat kenangan itu. Aku merindukan teman-temanku. Sahabat-sahabatku. Timku yang solid. Kala itu, kami benar-benar seperti keluarga. Saling membantu tanpa memikirkan 'ini bukan tugasku'. Yang kami pikirkan saat itu adalah 'apa yang bisa kubantu'. Sungguh! Sampai saat ini, aku belum menemukan lagi tim seperti teman-temanku dahulu. Semilir angin dari pintu samping yang terbuka menyadarkanku dari ketermenunganku. Aku memasuki ruangan itu dan duduk di salah satu kursi. Aku menghadap tembok di depanku. Aku tidak begitu ingat kolase apa yang dulu tertempel di sana. Yang aku ingat adalah dulu ada gambar perahu tertempel. 

Kenangan itu muncul tanpa diminta. Ruangan yang aku duduki sekarang, dulu adalah ruangan berkarpet dengan blocks tertata di sekeliling ruangan. Kecuali bagian pintu tentu saja. Aku dan teman-temanku sering berkumpul di sini. Mengerjakan tugas-tugas kami. Mengisi buku hijau, membuat laporan, memeriksa karya, lembar kerja, mencari sumber belajar, dan lain sebagainya. Entahlah, rasanya kami melakukan segala hal di ruangan ini. Paling sering kami menghadapi laptop-laptop kami. Termasuk memutar music video Super Junior kalau kami merasa suntuk. Akhirnya, kami akan tertawa-tawa bersama. Cukup menghilangkan kesuntukan kami. Ah.. aku kangen kalian semua. Aku meraba sudut mataku. Apa ini? Air? Oh..mungkin karena debu yang terbawa angin tadi. Aku menghapus sudut mataku. Aku berdiri mendekati dinding yang dulu tertempel perahu, meraba pinggiran dindingnya. Meresapi kenangan yang berdatangan. Banyak kenangan di ruangan ini. Senang, sedih, suka, duka, semua terjadi di ruangan ini. Aku pernah tertidur saat rapat, diskusi sampai malam, curhat, dan lain sebagainya. 

Cukup sudah aku berdiam diri di sini. Waktu terus berjalan. Aku melihat jam tangan yang melingkar di tangan kiriku. Aku masih ada janji. Aku datang ke sini hanya untuk mengenang. Tidak untuk kembali. Aku berjalan meninggalkan ruangan terbuka yang hanya dibatasi tripleks setinggi satu meter. Aku berjumpa teman lamaku. Ia bertanya, "Pengen balik ke sini, ya?" Aku tersenyum tanpa berkata sepatah kata pun. Tidak! Aku tidak akan kembali ke sini. "Aku hanya merindukan kalian, " kata hatiku. Aku hanya ingin di sini ketika kalian juga ada di sini. Tapi itu tidak mungkin. 

Aku kembali ke front office dan bercengkerama sejenak dengan sang gadis Jawa lemah lembut itu. Angin kembali menyapaku seakan-akan membisikkan kata bahwa aku harus segera pergi. Baiklah, aku pergi. Aku berdiri dan pamit padanya. Kupandangi sekeliling ruangan ini. Ruangan yang dulu sangat akrab denganku. Sungguh, aku tidak ingin kembali ke sini. Ada satu hal yang membuat aku tidak ingin kembali. Aku kemari karena aku rindu kenangan bersama teman-temanku. Aku turuti perkataan angin. Aku keluar, meninggalkan segala kenangan buruk, dan membawa serta kenangan manis. ***

Sejuta rindu untuk sahabat-sahabatku. The best team I ever had
Zia, Umi, Eri, Risna, Dian, Endang, Tati, dan Septi (sebagai peserta luar biasa). 
너들 행복 하길 바래. Wish you all the best, friends.

7.3.13

Petir, Hujan, Matahari, dan (Pikiran)ku

Petir menggelegar terdengar di luar sana. Sepertinya awan sudah tidak kuat menahan muatan-muatan listrik positif dan negatif ini sehingga mereka beradu. Seperti itu pulakah pikiranku saat ini? Aku membayangkan malaikat bersayap berbaju putih dengan lingkaran di kepalanya sedang beradu pendapat dengan mahluk berbaju merah, bertanduk, dan bertongkat. Mereka beradu di atas kepalaku! Aku menggeleng-gelengkan kepalaku. Berharap pikiran-pikiran ini hilang seiring gelengan kepalaku. Tapi ternyata, tidak semudah yang kubayangkan dan kuharapkan.

Akhirnya hujan turun. Sekarang petir bersahut-sahutan. Dibumbui kilat dan angin. Seperti inikah pikiranku saat ini? Aku masih menekuri kertas-kertas, buku, dan laptop di hadapanku. Sederet poin-poin tertera di agendaku. Sederet rencana masih di kepalaku. Belum sempat kutuangkan dalam bentuk tulisan di agenda atau catatan kegiatan di laptopku. 

Hujan masih turun dengan derasnya. Kali ini kilat sudah mengalah. Sepertinya angin masih mendominasi. Derunya terdengar keras sekali. Mengombang-ambingkan air yang turun dari langit. Apakah angin mempunyai kebutuhan untuk tampil pada dunia sehingga ia enggan pergi? Aku masih menghadapi kekacauan di mejaku... dan pikiranku. 

Hujan mulai mereda. Aku mulai berpikir lagi. Seraya detektif mencari bukti atau sejarawan napak tilas ke tempat bersejarah. Aku berusaha menelusuri apa yang terjadi. Kemudian, aku sadar. Aku seperti papan tulis yang sudah penuh coretan. Mau ditulis ulang, dirapikan, tapi bingung apa yang mau ditulis lebih dulu. Aku juga sadar, aku harus mengambil keputusan. Aku sadar, berada pada keadaan bimbang sungguh sangat merugikan.

Hujan benar-benar berhenti. Udara sejuk menyebar di sekitarku. Aku menata hatiku. Satu keputusan sudah kuambil. Aku harus menata pikiranku, semangatku, dan suasana hatiku. Kesadaran tanpa melakukan apa-apa tidak akan ada artinya. Aku kumpulkan kertas-kertas yang berserakan. Aku tutup agendaku. Aku tutup semua tabs yang terbuka di laptopku. Kuklik shut down. Aku tumpuk kertas-kertas di meja kerjaku, kumasukkan buku agenda dan laptopku ke dalam tas. Aku berdiri dari kursiku dan kuambil tasku. Kusapa beberapa rekan yang masih di cubical-nya masing-masing. Aku melangkah keluar dari ruang kerjaku.

Matahari menyambutku. Setelah hujan disertai angin ribut, kilat, dan petir, matahari sore menyapa dunia. Mendung menyingkir begitu cepat. Seakan-akan tidak terjadi apa-apa. Hanya menyisakan basah, daun-daun yang tak kuat lagi bertahan di dahan dan melayang ke tanah. Semburat warna oranye mulai menghias langit barat. Bisakah aku seperti ini? Secepat ini berganti rupa? Aku belum tahu. Hanya saja, aku memang harus berubah. Aku tak bisa seperti papan tulis yang banyak coretan dan hanya dibiarkan begitu saja. Aku harus membersihkan papan tulis ini. Move on, girl. Aku menyemangati diriku sendiri, mencoba untuk meraup kekuatan, berusaha mengukuhkan keputusan yang akan kutetapkan.

Aku melangkah melewati genangan-genangan air. Tasku melayang-layang di pundakku. Sudah aku tetapkan. Pertama yang akan kulakukan, aku mau mampir ke kedai depan kantorku. Akan kupesan secangkir cappuccino breeze dan sepotong tiramisu cheese cake. Aku mau duduk dekat kaca supaya aku bisa memandang keluar. Jam 5.30 sore. Biasanya, pria tampan itu akan datang sekitar jam itu. Ia akan memesan secangkir coffee late. Biasanya, sambil menyecap minumannya, ia membaca buku. Dari tempatku aku bisa memandang ke arahnya dengan leluasa, menikmati wajah tampannya, tanpa takut diketahui olehnya. Ketahuilah, tak ada cincin di jari manisnya. Itu yang membuatku sering mengulang kegiatan serupa.

Matahari sudah mulai mendekati ufuk barat. Warna oranye semakin banyak. Aku sampai di depan kedai itu. Aha! Dia sudah datang. Aku tersenyum. Senang! Aku segera memesan sesuai rencana, duduk di tempat yang tadi kubayangkan, dan benar-benar menikmatinya. Betul-betul kusyukuri keputusan pertama yang kuambil, sebelum melaksanakan keputusan selanjutnya . ***

Maret 07, 2013
Sehabis hujan turun dari langit.

2.3.13

Perjanjian di Meja Makan

Matahari terbit. Aku lahir saat matahari terbit. Kata ibuku, semburat jingganya memasuki kisi-kisi jendela ruang persalinan saat tangis pertamaku memekakkan telinga dan membahagiakan semua yang menunggu cemas di samping tempat tidur persalinan. "Matahari terbit adalah pertanda baik, karena saat Sang Surya menggeliat bangun dari lelapnya, seorang manusia lahir dan bersenandung melalui tangisan," begitu mendiang ibu berkata padaku sewaktu umurku masih lima.

Mungkin memang begitu adanya. Tetapi saat ini, matahari terbit menandakan deret tanggal yang kucoret satu persatu di kalender untuk menandai sudah hari keberapa menjelang pernikahan ayah dengan Tante Suci, ibu dari Bram, lelaki yang sudah delapan tahun ini kucintai dalam diam. Lelaki yang dengannyalah aku bisa tertawa dalam hujan, meskipun sesudahnya aku akan demam. Tapi Bram akan datang menjenguk karena rumahnya hanya beberapa langkah dari rumahku. Dia akan menceritakan hal-hal jenaka sehingga demamku seperti sembuh seketika. Aku turut berbahagia untuk ayah, tapi juga merasa tidak sanggup menerima kenyataan bahwa aku harus membunuh perasaan ini kepada Bram. Ah, biarlah, toh Bram tidak pernah tahu rahasia yang kusimpan dengan baik di kotak yang kukunci di palung hati.

Kadangkala pikiran-pikiran itu berkelebat di dalam pikiranku. Entah itu memang tulus dari relung hatiku, atau hanya sekedar defense mechanism -pertahanan diri yang kubangun- untuk mencari pembenaran terhadap yang terjadi saat ini. Aku memang tidak pernah bercerita pada siapa pun tentang Bram. Tidak juga pada ayah, orang yang paling dekat denganku selama ini. Kebahagiaan ayah adalah kebahagiaanku. Begitulah pikirku.

Namun, ternyata apa yang kupikirkan tak mudah untuk dilakukan. Mencoba untuk memandang Bram dari sudut pandang yang lain ternyata tak semudah memilih sepatu atau baju yang cocok. Mengubah persepsi dari 'sosok yang selama ini kuharapkan mendampingi hidupku menjadi kakak selama sisa hidupku' sungguh tak pernah kupikirkan sebelumnya. Bagaimana nanti kalau kami sudah hidup serumah sebagai 'kakak-adik'? Ada rasa perih setiap kali aku mengingat itu. Tapi aku berusaha kembali menguatkan diriku. Kebahagiaan ayah adalah kebahagiaanku.

***
Hari ini Bram main ke rumah, ia mengajakku untuk menontonnya bertanding sepak bola di kampus siang nanti. Jika Bram mengajakku menonton keahliannya menggocek bola, itu artinya sepulang pertandingan akan ada acara mampir di kedai es krim kesukaannya tak jauh dari rumah kami. Biasanya jika sedang lelah, Bram akan mengajakku berlama-lama ngobrol ngalor ngidul hingga senja.

Ingin rasanya menjadi saksi kehebatan Bram mengoper si benda bundar itu, tapi hari ini aku harus mulai membiasakan memberi sehasta jarak di hati kami. Aku tidak akan sanggup jika harus melakukannya sambil menatap mata bundarnya lama-lama dan menyesap banana shake di kedai es krim langganan kami. Tidak bisa. Pertahanan diriku pasti akan luluh-lantak dengan mudahnya.

Bram merasa aneh dengan penolakanku. Beda dari biasanya. Biasanya aku tidak pernah berkata, "Tidak." jika ia mengajakku. Kali ini, aku memberikan berjuta alasan agar aku tidak ikut dengannya. Bram heran. Tapi, ia tidak bertanya lebih lanjut. Mungkin karena sebentar lagi ia harus ada di lapangan sepak bola. Ia pun akhirnya pergi dengan wajah bertanya-tanya. Ayah yang melihat kami kemudian berkata kepadaku. 

"Tumben," kata Ayah. "Biasanya kamu selalu ikut kalau Bram mengajakmu pergi," kata ayah lagi. 

"Aku capek, Yah. Lagi pula banyak PR." Begitu aku menjawab pertanyaan ayah. Aku pun pamit ke kamar. 

Bagaimana kalau mamanya dan ayah sudah menikah? Akankah dia tinggal di sini? Atau aku yang tinggal di rumahnya? Aku dan ayah memang belum membicarakan hal ini. Bagaimana kalau aku dan Bram serumah? Bukankah secara fisik jarak kami begitu dekat? Apa yang akan kulakukan? Aku pusing. Aku bingung. Terbayang senyuman Bram yang serasa memberiku kehangatan. Apa yang akan kulakukan? Berkali-kali pertanyaan ini terngiang-ngiang di benakku.

***
"Kirana, nanti malam kita makan bersama Bram dan Tante Suci, yah. Tante Suci sudah menyiapkan masakan kesukaanmu, gulai kepala ikan." ucap ayah pagi itu sambil membangunkanku di hari Minggu.

"Iya Yah." jawabku singkat. Aku melihat kalender. Lima hari. Hanya lima hari lagi. Dadaku dipenuhi udara yang menghimpit. Sepertinya terjadi demonstrasi besar-besaran di wilayah hati. Aku harus bagaimana?

***
Malam itu aku mengenakan mini dress hadiah ulang tahun dari ibu. Gaun berbahan sifon yang melambai searah dengan muara udara malam itu. Ada satu tekad dalam hatiku untuk membebaskan diri dari rasa yang menyiksa hati. Aku mesti bicara pada Bram.

Aku tidak ingin membiarkan perasaan ini terpendam tanpa pernah diketahui keberadaannya. Bukannya aku hendak mengacaukan pernikahan ayah dan Tante Suci. Aku sudah berpikir dan menimbang-nimbang. Aku akan meneruskan hidup dengan kejujuran yang kukuliti hingga inti terdalam.

Lalu biarlah, hubunganku dengan Bram menjadi sebeku salju. Aku terima. Setidaknya aku dapat merelakan perasaanku, apapun konsekuensi yang disandangnya. Aku mau ayah bahagia, dan aku mau belajar untuk menerima.

Dan di sinilah aku sekarang. Di ruang makan rumah Bram. Selama makan, aku berusaha untuk bersikap 'biasa saja'. Padahal, aku sekuat tenaga menjaga mataku agar tidak terus menerus mencuri pandang ke arah Bram. Aku menimpali obrolan Tante Suci, Bram, dan ayah. Sungguh! Kalau aku ikut pemilihan aktris berbakat, aku yakin aku pemenangnya. Aku sama sekali tidak menampakkan bebanku agar terlihat 'normal'. Padahal, kau tahu? Makanan yang kutelan seakan-akan batu berukuran besar sehingga aku merasa susah menelannya. 

Makan malam akhirnya selesai. Ayah berbincang-bincang dengan kami sebentar. Ia mengajakku pamit. Tapi aku bilang aku masih mau mengobrol dengan Bram. Ayah pun pulang lebih dahulu. Mama Bram sudah masuk ke dalam rumah. Aku dan Bram berbicara di depan rumah. Kursi taman ini mungkin sudah bosan dengan aku yang sering sekali mendudukinya. Aku menguatkan diri, meyakinkan diri. Aku ingat, tadi pagi matahari bersinar cerah. Beberapa hari sebelumnya, pagi hari selalu mendung. Semoga matahari membawa pertanda baik untukku. Aku mereka-reka kata-kata. Bram mengamatiku. Sekilas aku tatap matanya. Ada rasa hangat membungkus hatiku. Baiklah. Aku siap. Kutatap Bram dengan segenap keberanian yang kukumpulkan sejak tadi siang. 

"Bram.. Aku mau bicara." tetiba tenggorokanku rasanya seperti tercekat batu kali. Aku menelan ludah sambil memantapkan hati. Aku harus melanjutkan misi ini.

"Apa sih, Na! Kayak ke siapa aja. Eh, Na, tumben, yah, langit malam ini banyak bintangnya. Kemarin mendung terus." Bram menimpaliku sambil menatapku geli.

"Tapi Bram, aku harus bicara.. hmm.. gimana yah memulainya? Ah, pokoknya selama ini kamu gak pernah merasa ada yang aneh dengan udara sekitar kita, ya, tiap kali kita bersama? Hmm... Masalahnya aku.. aku merasa, hmm.. sepertinya aku sayang sama kamu Bram."

"Aku juga sayang kamu, Na, sayang banget. Kamu gak sadar, tiap hari untuk apa aku bela-belain ngantar kamu pulang naik sepeda padahal kamu berat banget?" Argh! Bram malah bercanda! Menyebalkan!

"Ya sudah, ya, Bram, sudah malam, aku pulang aja. Lagian Ayah pasti udah nunggu." jawabku ketus.

"Eeehh.. Kirana! Sebentar. Iya, deh, iya. Aku serius kali ini. Jangan ngambek, dong.. Hehe.. Sini kuberitahu sebuah rahasia." 

Kini giliran aku yang memandangnya dengan muka penasaran, "Apa? Kasih tau aku!"

"Iya, aku sadar kamu beda akhir-akhir ini. Aku juga bisa merasa. Seandainya kamu tak bicara pun aku sadar kok, Na. Seperti ada kembang api, yah, saat kita bertemu. Tapi kamu tahu sendiri ibuku dan ayahmu akan segera menikah. Kebahagiaan mereka lebih penting. Biarlah kita mengalah dan menanti saat yang tepat untuk saling melangkah. Siapa tahu kamu akan ketemu ksatria yang bisa memasakkan brownies kukus seenak buatan ibumu." 

Mereka membisu. Tergugu dalam biru.

***
Di kejauhan, tanpa mereka sadari percakapan mereka tak sengaja terbawa angin ke telinga Tante Suci. Penantian, sebuah kata yang mampu menyedot semua perhatian karena rasa yang belum bisa tersampaikan. Apa ia tega? melihat anak laki-lakinya membumihanguskan rasa?

Apa yang harus kulakukan? Tante Suci membatin sambil memandang kedua insan di taman. berbagai hal berlarian di benaknya. Bram adalah jiwaku. Kebahagiaannya adalah kebahagiaanku. Selama ini, dialah yang menjadi kekuatan batinku, semangatku, oborku, mesinku, hingga aku bisa bertahan sampai sekarang. Sejak papanya yang tidak bertanggung jawab meninggalkan kami. Karena Bram aku bisa bertahan. Tidak ada hal lain di dunia ini yang mampu mengalahkan diriku selain Bram. Tidak juga ayah Kiranan. Kirana. Perempuan dengan senyum manis itu selalu berada di dekat Bram. Aku melihat kebahagiaan bersinar dalam diri Bram setiap kali ia bersama Kirana. Hal itulah yang membuatku merasa bahwa Kirana dan Bram adalah dua jiwa yang saling menguatkan. Aku sudah menganggap Kirana seperti anakku sendiri. Bodohnya aku! Mengapa aku tidak melihat betapa mereka saling membutuhkan dan mendukung satu sama lain? Ibu macam apa aku ini? Apakah aku tega melihat Bram dan Kirana terluka demi kepentinganku? Kebagiaan Bram adalah kebahagiaanku. Dan Bram bahagia bersama Kirana. Apa yang akan kulakukan hampir saja membuat mereka terluka. 

Lima hari ke depan. Keputusan ada di tangannya. Bram atau pernikahannya. Penantian baginya berarti melangsungkan pernikahan itu, menjadi ibu untuk Kirana dan menghadirkan ayah untuk Bram. Sementara itu, bagi Bram dan Kirana, lima hari ke depan adalah penantian mereka terhadap pemakaman rasa cinta yang tak dapat terealisasi. Keputusan harus diambil. Tante Suci masuk. Ia menuju meja telepon, mengambil gagangnya, meletakkannya di telinga kiri, dan menekan angka-angka. Ia diam. Menunggu jawaban dari ujung sana. Keputusannya sudah bulat.

***
Kirana membuka pintu rumah. Ia mengucapkan salam pada Bram yang mengantarnya dan kemudian masuk ke dalam rumah. Ia mengunci pintu. Pintu terkunci, begitu pula hatinya. Kirana melangkah menuju kamarnya. Ia melihat ayahnya sedang berbicara di telepon. Kirana berhenti sejenak. Melambaikan tangan pada ayahnya. Namun, ayahnya tidak melihat. Ayahnya terdiam dengan mata menerawang. Atau berpikir? Entahlah. Sepertinya, ayah sedang menerima telepon penting. Siapa sih, malam-malam begini telpon? Kirana bertanya-tanya dalam hati. Ia masuk kamar. Sang ayah masih terlibat pembicaraan dengan lawan bicaranya. 

***
Esok hari, di sore yang hangat.
Ayah, Kirana, Tante Suci, dan Bram bertemu di meja makan rumah Bram. Mereka membicarakan keputusan. Seakan ruang sidang pengadilan. Ada hakim yang akan memutuskan. Tanpa jaksa penuntut, terdakwa, saksi, atau pengacara. Pernikahan ayah Kirana dan ibunda Bram berakhir di sebuah perundingan. Perundingan di meja makan. Sebuah pertunangan! Bukan! Bukan untuk generasi sebelumnya. Tapi untuk Bram dan Kirana. Ayah kirana menyadari, kesepian tak mungkin membunuhnya. Namun kehilangan senyum di wajah putri satu-satunya berarti kiamat. Ayahnya tak sanggup kehilangan putrinya. Begitu pula Tante Suci. Ia tidak sanggup melihat Bram kehilangan harapan. Kini mereka saling menatap dalam diam, tanpa bermaksud memandang. Masing-masing dengan pikiran yang yang berlarian dalam benak mereka. Keputusan sudah ditentukan. Di atas meja makan. Kehangatan serta-merta menyelimuti mereka.

***
Tuhan mengedip di singgasana-Nya. Penantian keempat manusia itu dilebur dalam satu skenario. Tuhan-lah Sang Maha Sutradara.

***** 

Kolaborasi panjang antara Iin dan Ayu (@nengayuu), dari dua tempat dan waktu yang berbeda.