Pukul 11.30 siang.
Matahari siang memanggang bumi.
Damn! Aku
mengutuk kemacetan ini. Tak ada yang mendengar tentu saja. Aku sendirian di
dalam mobil. Kalau saja Ana, adikku, tidak datang hari ini, aku takkan keluar
dan menghadapi kemacetan. Aku benci macet. Tapi aku harus keluar menjemput Ana
di bandara. Ia pulang hari ini. memang, tidak biasanya aku melewati jalan ini.
Alih-alih menghindari kemacetan karena libur yang berderet, aku malah terjebak
ke dalam kemacetan yang semula ingin kuhindari.
Kulayangkan pandang ke sekeliling. Mobil berderet
diam di depanku. Di sebelah kanan dan kiri juga sama. Dari kaca spion kulihat
di belakang juga begitu. Kuhembuskan napas. Kedua tangan kuletakkan di atas
stir. Menunggu.
Syukurlah. Antrian sudah mulai maju. Aku menjalankan
mobilku sekitar 2 kilometer sebelum kemudian terjebak lagi dalam antrian yang
panjang. Entah kapan akan berakhir.
Damn! Aku
mengutuk lagi dalam hati. Ana sudah tiba di bandara. Kembali kulayangkan pandanganku
ke sekeliling. Aku tertegun. Di mana aku pernah melihat keadaan seperti ini? Apakah
ini ilusi? Fatamorgana? Kubelalakan mata. Keadaan yang kulihat tetap sama. Berarti
bukan ilusi. Kupejamkan mata dan kubuka lagi. Sama! Kututup lagi mataku.
Kuhitung sampai 10 sebelum kubuka mata. Tidak ada yang berubah, masih sama
seperti sebelum aku menutup mata. Ada selintas ingatan yang muncul di benakku.
Toko besi di sebelah kananku. Di sebelah
kiri toko besi ada kantor desain. Tulisan 10+ terpampang besar-besar di jendela
kacanya. Di sebelah kanan kantor desain ada bank. Di sebelah kiri toko besi ada
tanah kosong dengan warung tenda berdiri di atasnya. Tak ada aktivitas di sana.
Hanya meja dan bangku panjang yang ditumpuk di atas meja. Kulihat antrian di
depanku masih belum bergerak. Kucoba memanggil ingatan yang muncul tadi. Nihil.
Aku menengok lagi ke sebelah kanan. Tidak berubah. Rasanya familiar. Kupejamkan
mata rapat-rapat sambil menghitung lagi.
Tet....tet....!
Hitunganku mencapai 23 ketika suara klakson
mengagetkanku. Seketika membuat aku membuka mata. Mobil di depanku sudah
berjalan sekitar 5 meter. Aku
cepat-cepat menjalankan mobilku sambil melihat ke arah kanan. Deretan bangunan
di sebelah kananku tidak berubah. Dan warung itu.... tetap ada di sana. Di mana
aku pernah melihat hal yang sama? Toko bangunan, kantor desain, bank, dan .....
sebuah warung. Apakah aku sering
melewati jalan ini? Tidak! Baru kali ini aku lewat ke sini. Tapi rasanya
aku pernah melewatinya. Sering malah. Tapi kapan? Di mana? Kapan aku pernah ke
sini? Ataukah aku mengalami deja vu?
***
“Kenapa? Dari tadi diam sambil mikir gitu.” Ana
bertanya padaku dalam perjalanan pulang dari bandara.
“Deja vu.”
“Apa?” Suara Ana terdengar heran.
“Deja vu. Aku mengalami deja vu,” aku berkata pelan.
“Deja vu apa?”
“Ah.. sudahlah. Kenapa tadi delay?” Aku
mengalihkan pembicaraan.
Deja vu. Ya. Deja vu.
Kata itu berkeliaran di dalam kepala. Aku masih terus memikirkan jalanan
yang kulewati tadi. Pun di rumah sesudah menjemput Ana. Di mana aku pernah
melihat hal yang sama seperti ‘pemandangan’ saat perjalanan ke bandara?
Ingatan itu masih terpikirkan sampai aku tertidur.
Warung itu muncul di dalam mimpiku. Alam bawah sadar sialan!
****
Hari ini aku kembali melewati jalanan sewaktu aku
menjemput Ana di bandara. Penasaran. Bangunan dan urutannya tetap sama seperti
seminggu lalu. Bedanya, bank yang seminggu lalu
tutup sekarang sudah buka. Aku tak juga bisa memanggil memori tentang
urutan bangunan yang mengganggu pikiranku seminggu ini. Termasuk warung itu.
Baiklah... aku menyerah. Kulewati deretan bangunan
itu dengan satu tekad: lupakan saja! Kulayangkan warung tenda yang minggu lalu
kosong. Sekarang ada kesibukan di sana. Lotek Ceu Edoh. Lotek Ceu Edoh! Lotek Ceu Edoh tertulis di
kain penutup warung. Tiba-tiba, ingatan yang enggan muncul beberapa hari ini
bermunculan. Seperti air yang keluar
dari kran. Mengucur deras.
Perih. Seiring dengan ingatan yang bermunculan, rasa
perih itu muncul menyeruak mengganggu metabolisme mentalku. Sialan! Aku pun
kembali menjadi pengumpat.
****
“Selamat ulang tahun, Vira. Semoga, sehat, banyak
rejeki, bahagia terus bersamaku,” Danis menyalamiku.
“Terima kasih,” aku
menyambut uluran tangannya dengan bahagia. Tangan yang sudah bertahun-tahun
menjadi penyambung hidupku. Tangan yang memegang harapanku agar ia bisa terus
menjadi pendamping hidupku. Belum! Ia belum jadi suamiku. Tapi, tak bisa
kupungkiri. Bersamanya, hidupku terasa lengkap. Akan lebih lengkap lagi jika
aku bersanding dengannya di depan altar. Sudah sering pikiran itu terlintas
tapi kami tak jua membicarakannya dengan serius. Biarlah. Aku tak ingin
kehilangan saat-saat bahagiaku bersamanya.
“Ke tempat biasa?” Danis bertanya padaku. Kuanggukkan
kepala.
“Let’s go!”
Kami pun masuk ke dalam mobil dan menuju ‘tempat
biasa’. Jangan! Jangan berpikir macam-macam. Tempat biasa kami adalah sebuah
warung makan di pinggir jalan di Lembang. Sebelah kanannya terdapat toko
bangunan. Sebelah kanannya lagi ada satu kantor desain, dan kemudian bank. Nama
kantor desainnnya berbeda, tapi nama bank-nya sama. Warung itu sebuah warung
lotek. Rasa loteknya biasa. Tidak sangat enak sehingga kami rela menempuh jarak
jauh hanya untuk merayakan ulang tahunku atau ulangtahunnya. Bukan candle
light dinner romantis di restoran, ucapan selamat disertai setangkai bunga
dan kartu, atau surprise tengah malam. Bukan makan mie seperti orang Cina atau
makan sup rumput laut seperti orang Korea. Suatu ‘kebiasaan’ yang tidak biasa
untuk merayakan ulang tahun. Ditraktir lotek. Yang menjadikan makan lotek pada
ulang tahun kami sebagai sesuatu hal yang istimewa adalah kami berdua. Danis
menyatakan cintanya di warung itu 5 tahun lalu. Saat kami sedang kelaparan dan
menemukan warung itu dalam perjalanan menuju Gunung Tangkuban Perahu bersama
teman-teman satu fakultas. Tidak romantis. Memang! Sangat tidak romantis. Tapi,
aku adalah orang yang menurutku paling bahagia pada hari itu.
Sejak saat itu, setiap kami berulang tahun (aku atau
Danis) kami akan ke Lembang, makan di warung itu, dan mengingat kembali awal
kami jadian.
Hari ini genap 6 tahun hubunganku dengannya. Cukup
lama. Tapi tetap saja, belum ada dari kami yang membicarakan pernikahan.
Biarlah. Toh aku masih menikmati hubungan kami. Begitu pula Danis. Putus
nyambung pernah terjadi. Tapi alasannya bukan karena topik ‘pernikahan’. Lebih banyak karena kecemburuan. Suatu hal
yang biasa, kan?
“Vir, duduk di sini,” Mama memanggilku suatu malam.
Mendengar nadanya saat ini, aku tahu, yang akan
dibicarakan adalah masalah serius. Aku bisa membedakan nada suara mama jika
akan membicarakan hal yang serius dan yang tidak. Aku duduk di depan Mama.
“Apa rencanamu dengan Danis?” Straight to the
point. Tanpa basa-basi, Mama bertanya padaku. Aku tidak tahu apa yang akan
Danis katakan kalau Mama menanyakannya langsung padanya. Ini saja sudah cukup
membuatku gelagapan walaupun sudah mengira sebelumnya.
“Ee....ee... Belum tahu, Ma.”
“Sudah cukup lama kan, kalian pacaran?”
“Iya.”
“Untuk apa kalian pacaran kalau tidak untuk menikah?”
“Kami belum membicarakan tentang itu.”
“Lalu kapan? Kalian tidak akan menikah?”
“.......” Aku diam. Belum tahu mau menjawab apa.
“Vir?”
“Siapa sih yang nggak ingin menikah, Ma?”
“Lalu, kapan?”
“Ma....”
“Besok, minta Danis datang ke sini. Mama mau bicara.”
“Bicara apa, Ma?”
“Mama mau tanya padanya. Serius nggak dia sama kamu.”
“Seriuslah, Ma.”
“Kalau serius, kenapa sampai sekarang dia tidak
melamar kamu?”
Aku diam. Tidak tahu harus menjawab apa.
“Besok, atau tidak sama sekali.”
“Ma!”
Mama pergi meninggalkan aku yang masih terdiam di
sofa.
****
“Hai! Belum tidur?” Suara Danis di ujung sana
“Belum ngantuk. Ehmmm... Dan.....”
“Kenapa?”
“Ehmmm... Mama meminta kamu datang besok.”
“Ada apa?”
“Ehmmm....” Aku masih menimbang-nimbang. Bicara jujur
atau pura-pura tidak tahu.
“Vir?”
“Tadi Mama nanya kalau kita serius nggak.”
“Ya..seriuslah.”
“Syukurlah kalau begitu.”
“Kenapa?”
“Mama tanya, kapan kita nikah,” akhirnya aku katakan
juga apa yang Mama tanyakan.
“......” Tidak
ada suara di ujung sana.
“Dan!”
“Ya.”
“Kamu besok ke sini jam berapa?”
“Ehm... besok aku ada meeting. Belum tahu
sampai jam berapa. Lihat besok saja.”
Deg! Kenapa Danis menjawab seperti itu? Apakah memang
dia tidak punya niat sedikit pun untuk datang menemui Mama? Selama ini, Danis
memang jarang ke rumah. Kalau Mama atau Papa mengajak berbincang-bincang, Danis
seperti gelisah. Lalu, dia akan mengajakku pergi dari rumah. Aku pernah
bertanya padanya tentang hal itu. Segan. Itu jawabnya. Toh kemudian aku tidak
pernah mempermasalahkannya. Lebih sering aku yang mengunjungi mamanya daripada
Danis mengunjungi keluargaku. Aku kenal dekat mamanya. Bahkan sering beliau
memintaku menemaninya belanja.
“Vir!” Suara di seberang menyadarkanku dari lamunan
tentang kami.
“Ya.”
“Sudah malam. Tidur!”
“Oke. Selamat tidur.”
Kuletakkan ponselku di kasur. Aku masih memikirkan
jawaban Danis. Malam itu aku bermimpi. Kami menikah dan.... Danis
meninggalkanku di altar.
“Mimpi sialan!” Aku mengumpat. Kulempar selimut dan
pergi ke kamar mandi. Hari ternyata sudah siang.
****
“Jam berapa Danis ke sini?” Mama bertanya sesampai aku
di rumah sepulang kerja.
“Dia ada meeting, Ma. Belum tahu bisa ke sini
atau tidak,” jawabku.
“Mama akan tunggu sampai dia datang. Tak peduli jam
berapa.”
“Ma!”
“Kalau dia tidak ke sini hari ini berarti stop.”
“Apa itu artinya?”
“Kamu dan dia, end!”
“Ma!”
“Berarti dia tidak serius. Tidak usah saja.”
“Ma!”
Tiba-tiba aku merasa pusing. Selama hubunganku dengan
Danis, tidak pernah aku merasa sepusing ini.
****
“Dan, jam berapa kamu ke sini?” Aku menelpon Danis.
“Ini masih meeting, Vir. Bakalan panjang dan
masih lama. Tidak bisa ke sana.”
“Dan, Mama bilang kalau kamu nggak ke sini, kita end.”
Hening. Tak ada sahutan di seberang sana.
“Dan!” Aku panggil namanya.
Masih hening.
Aku mulai ragu. Seberapa besar cintanya padaku. Aku
tidak pernah bertanya.
“Baiklah.” Akhirnya Danis menyahut.
“Baiklah apa?”
“Baiklah kalau itu mau mamamu.”
“APA?? Apa maksudmu.” Aku kaget mendengar jawabannya.
“Mamamu ingin kita putus? Ok!”
“Dan, kenapa pikiranmu sedangkal itu? Mama meminta
kamu datang, hanya itu.”
“Iya. Hanya meminta datang, kemudian menanyakan kapan
aku akan melamarmu. Begitu,kan?”
“Kenapa kamu begitu terganggu dengan pertanyaan itu?
Wajar, kan? Sudah lama kita pacaran.”
Aku mulai meragukan Danis.
“Aku belum siap. Selama ini kamu tidak pernah
mempermasalahkan hal ini. Kenapa sekarang kamu mempermasalahkannya?”
Tiba-tiba aku merasa asing dengan orang yang menjadi
lawan bicaraku. Siapa dia?
“Jadi, kamu tidak akan datang ke sini?”
Tidak ada jawaban.
“Aku harus masuk lagi. Rapat sudah mulai.”
Dan... keheningan melingkupi sekelilingku.
Mama akhirnya masuk kamar. Tak ada kata-kata yang
keluar dari mulutnya. Aku hanya menangkap ekspresi mukanya. Aku periksa
ponselku. Tidak ada panggilan tak terjawab. Tak ada pesan. Jam berdentang dua belas kali. Hari
sudah berganti. 23 Desember. Kulihat ponselku. Idle. Tak ada notifikasi
pesan dari media sosial manapun. Danis pun sama sekali tidak menghubungi Mama
untuk meminta maaf atau sekedar basa-basi karena kemarin tidak datang. Pukul
23.58. Dua menit lagi hari akan berganti. Selamat ulang tahun, Vira. Aku
menyelamati diri sendiri. Hari ini hari ulang tahunku. 23 Desember. Jam di
ruang tengah berdentang. Tepat jam 00.00. Hari berganti. Beralih menjadi 24
Desember. Danis tidak mengucapkan selamat ulang tahun. Dia belum menghubungiku sejak
aku menelponnya kemarin sore. Aku juga tidak menghubungi dirinya.
Aku teringat pertanyaanku pada Danis sewaktu aku
menelponnya. “Jadi, kamu tidak akan datang ke sini?” Sebenarnya, aku sudah tahu
jawabannya sejak kemarin malam Mama masuk ke kamar pada jam 23.30.
****
Ingatan 2 tahun lalu itu muncul seperti kaleidoskop
akhir tahun. Selama 6 tahun aku berpacaran dengan Danis, baru kali itu aku
merasa tidak berharga. Ada rasa perih di dadaku. Dan tidak ada lotek pada hari
ulang tahunku. Hari ini aku kembali menyusuri jalan itu. Sepertinya sudah
otomatis ketika melewati Warung Lotek Ceu Edoh, aku memalingkan wajah ke
arahnya. Aku teringat deja vu yang dulu aku kira. Bukan, ternyata bukan deja vu.
Hanya pengalaman yang sudah berakar dalam ingatanku kemudian muncul pada
keadaan yang mirip dengan pengalaman itu.
“Vir, Mama mau beli lotek. Kamu mau?” Mama
mengagetkanku yang sedang terhanyut oleh kenangan masa lalu.
“Jangan tawari aku lotek, Mama. Aku benci lotek.”
Ya. Aku benci lotek. Sejak kapan? Sejak Danis
memutuskan untuk tidak datang memenuhi undangan Mama sehari sebelum hari ulang
tahunku!
****
#Selamat ulang tahun, Ika.#