31.12.15

Daftar Film Favorit

Ini adalah film-film favorit saya sepanjang masa.

1. Full House
2. Wedding
3. All about Eve
4. Finding Forester
5. School 2013
6. While you were sleeping
7. The Classic
8. Madeline
9. Notting Hill
10. Noble
11. Master sun
12. Ghost
13. The Winter The Wind Blow
14. Proposal
15. Oh My Venus

Tapi Iin Nggak Pernah Ngucapin Natal Ke Gue

               Kalimat itu dilontarkan sahabat saya pada Hari Natal yang lalu. Saya tidak langsung menjawab. Tidak mau impulsif atau bersikap reaktif. Takut akan membawa dampak tidak mengenakkan buat kami. Buat saya, menjawab pertanyaan ini tidak semudah menjawab pertanyaan kenapa saya suka mengumpulkan snowball? Atau pertanyaan seperti “kenapa saya mengucapkan Selamat Ulang Tahun atau Selamat Tahun Baru?” Saya harus hati-hati menanggapinya
               “Kalian nggak haram temenan ama gue (disusul stiker menangis)?” Ini awal mula percakapan saya dan sahabat saya. Saya masih di kereta api. Dua jam lagi baru sampai tujuan.
                “Apaan, sih? Lu abis baca apa?” Saya balik bertanya. Mungkin kalau berhadapan, suara saya terdengar kalem. “Pasti abis baca sesuatu,” tambah saya lagi (masih kalem).
                “Kan ngucapin Natal haram. Sama aja ngeharamin temen,” lanjutnya.
                “Kalau gue sih prinsipnya lakum diinukum waliyadin. Bagimu agamamu, bagiku agamaku. Artinya, kalau masalah ibadah itu masing-masing. Berteman dengan yang beda agama nggak masalah, tapi nggak akan ikut ibadah agama temen gue. Lu misa gue nggak akan ikut. Gue salat, gue nggak akan ngajak lu salat. Kalau berteman dengan non Islam haram, sahabat-sahabat gue nggak ada yang nonmuslim. Tapi gue punya (dan saya sebutkan sahabat-sahabat saya yang nonmuslim),” jawab saya.
                “Trus apa yang salah dengan ngucapin Selamat Natal? Ngucapin doang kan nggak berarti lu ngejalanin ibadah gue. Gue ngucapin Lebaran ke lu nggak berarti gue ngeyakinin agama lu. Gue ngucapin karena ngehormatin lu sebagai temen. Sahabat malah. Tapi Iin nggak pernah ngucapin Natal ke gue. Nah ini udah jadi masalah gue dari sejak sahabat gue SMA nggak pernah ngucapin. Gue diem-diem aja karena gue juga menghargai. Tapi itu gue rasain sebagai minotitas di sini. Gue ngerasa kalian nggak mengakui keberadaan kami. Even my best friend nggak mau mengakui keberadan gue, jati diri gue.”
                Cukup membuat saya harus berpikir keras menjawabnya. Saya tidak mau kehilangan sahabat saya karena masalah ini. Sampai dua jam kemudian saya tiba di tujuan, sampai di rumah pun, diskusi ini belum berakhir.  Dan baru kali ini saya mengalaminya.
                Berada dalam situasi di mana saya berada pada lingkungan majemuk (berbeda keyakinan) saya alami saat SMP, SMA, dan kuliah. Kuliah lebih beragam lagi. Beberapa sahabat saya nonMuslim seperti Kristen atau Katolik. Teman-teman saya selain Kristiani ada juga yang Hindu dan Budha. Berada  pada lingkungan yang majemuk membuat pengalaman saling menghargai saya dapatkan. Saya tidak suka kalau ada yang menjelekkan atau mencemooh agama teman-teman saya. Kenapa? Karena saya jarang dicemooh atau diejek oleh sahabat atau teman-teman saya yang nonmuslim. Pernah terjadi sekali ketika saya di SMP. Tapi pengalaman itu tidak begitu membekas dan bahkan lupa. Saya sering menginap di kosan sahabat saya yang Kristiani dan salat di sana. Ia tidak pernah melarang kamarnya dijadikan tempat salat. Setiap malam dan pagi hari ia berdoa dan membaca Alkitab. Saya tidak pernah mengusiknya. Itulah prinsip beragama yang saya jalankan. Lakum diinukum waliyadin. Bagiku agamaku, bagimu agamamu. Saya menghormati orang yang berbeda agama untuk menjalankan ibadahnya. Saya tidak akan mengajaknya mengikuti saya ketika saya beribadah. Ketika dalam suatu kegiatan ada ibadah agama yang bukan saya anut, saya tidak akan mengikuti. Itu juga yang saya terapkan ketika momen Natal tiba. Natal adalah diyakini sebagai suatu perayaan keagamaan. Di dalamnya terdapat ibadah. Ada satu prinsip dalam agama saya yang tidak selaras dengan prinsip keyakinan mereka. Perbedaan prinsip itu yang membuat saya mengikuti prinsip yang saya yakini. Ketika Natal tiba, berbagai pendapat mengenai bagaimana hukum Selamat Natal pasti bermunculan di media sosial. Saya tidak pernah mengungkit hal itu. Saya tidak menyatakan sikap saya mengenai hal itu di media sosial. Mengapa? Karena saya tidak ingin mempeributkan hal tersebut. Ketika Natal tiba, ingin rasanya saya mengucapkan ‘Selamat Natal’ pada teman-teman Kristiani saya, apalagi sahabat saya. Tapi, saya hanya ingin menjalani apa yang saya yakini.
                Perbedaan keyakinan bukan berarti saya tidak menghargainya. Tidak mengucapkan Natal tidak berarti saya mengabaikan keberadaan dan jati diri teman-teman saya yang nonmuslim.  Bagi saya, kalian ‘ada’. Saya akui jati diri kalian. Saya akui keberadaan kalian. Kita hanya berbeda dalam prinsip hidup.
                Saya tahu bagaimana rasanya jadi minoritas. Betapa susahnya mencari tempat untuk ibadah (baca: salat) sampai saya harus nebeng di tempat-tempat makan, bahkan tidak layak. Betapa susahnya saya mencari makanan halal sampai kadang cuma makan nasi saja. Tapi itu saya jalani karena saya mengharapkan berkah Allah, bukan manusia. Saya bukan orang suci. Saya hanya berharap surga.
                Saya senang dianggap sebagai teman yang lebih dari sekedar teman (baca: sahabat) oleh sahabat saya. Saya senang sahabat saya terbuka tentang apa yang ia rasakan. Saya senang kita sering bersama meski beda keyakinan. Semoga kau (dan teman-temanku lainnya) bisa memahami apa yang saya rasakan dan kita tetap bersahabat.
                Dulu, saya pernah membaca salah satu cerita pendek di majalah remaja. Dulu sekali. Dan saya masih ingat ceritanya. Dua orang berbeda keyakinan yang saling bersahabat sejak mereka sekolah. Mereka masih tetap bersahabat sampai mereka kemudian berpisah. Suatu saat, mereka bertemu lagi. Yang muslim sudah menjadi hajjah, dan yang Katolik menjadi biarawati. Mereka masih tetap bersahabat. Entah kenapa, saya suka sekali dengan cerita itu. Sampai sekarang. Selamat Tahun Baru.


#curahan hati menuju pergantian tahun.
#kau tetap sahabat saya

30.12.15

^Peduli Itu Keren^

     GagasCeria Special Week atau biasa disebut GSW adalah program rutin di Sekolah GagasCeria pada setiap akhir semester. Topik GSW semester 2 adalah Social Service. Kali ini, Social Service  mengusung judul ^Peduli Itu Keren^. 

     Program GSW Social Service diharapkan dapat mengasah kepekaan siswa-siswa terhadap lingkungan sekitar. Oleh karena itu, beberapa kegiatan dilakukan sebagai bentuk kepedulian kepada lingkungan baik fisik maupun sosial. Poin penting dari kegiatan ini adalah siswa-siswi dapat mengalami secara langsung dan dapat berkontribusi pada masyarakat. Poin yang disebutkan diakhir merupakan misi Sekolah GagasCeria.

     Hal yang dilakukan pertama kali oleh siswa adalah survey. Lokasi untuk survey sudah ditentukan. Ke sanalah mereka nanti akan melakukan social service.  




Setelah survey, mereka menentukan aksi. Apa yang akan dilakukan didiskusikan berdasarkan hasil survey. Ada beberapa kegiatan yang direncanakan misalnya, bermain bersama, tanding catur dengan opa serta pencarian bakat di panti jompo, melakukan gerakan pungut sampah, kerja bakti di masjid, mencuci mukena, dan lain sebagainya.

Persiapan

  



Gerakan Pungut Sampah


   



  
















 
Ke Panti Wreda, Panti Asuhan, Masjid, dan PAUD















Mencuci Mukena Masjid Sekitar Sekolah




Deja Vu

Pukul 11.30 siang. Matahari siang memanggang bumi.
                Damn! Aku mengutuk kemacetan ini. Tak ada yang mendengar tentu saja. Aku sendirian di dalam mobil. Kalau saja Ana, adikku, tidak datang hari ini, aku takkan keluar dan menghadapi kemacetan. Aku benci macet. Tapi aku harus keluar menjemput Ana di bandara. Ia pulang hari ini. memang, tidak biasanya aku melewati jalan ini. Alih-alih menghindari kemacetan karena libur yang berderet, aku malah terjebak ke dalam kemacetan yang semula ingin kuhindari. 
                Kulayangkan pandang ke sekeliling. Mobil berderet diam di depanku. Di sebelah kanan dan kiri juga sama. Dari kaca spion kulihat di belakang juga begitu. Kuhembuskan napas. Kedua tangan kuletakkan di atas stir. Menunggu.
                Syukurlah. Antrian sudah mulai maju. Aku menjalankan mobilku sekitar 2 kilometer sebelum kemudian terjebak lagi dalam antrian yang panjang. Entah kapan akan berakhir.      
                Damn! Aku mengutuk lagi dalam hati. Ana sudah tiba di bandara. Kembali kulayangkan pandanganku ke sekeliling. Aku tertegun. Di mana aku pernah melihat keadaan seperti ini? Apakah ini ilusi? Fatamorgana? Kubelalakan mata. Keadaan yang kulihat tetap sama. Berarti bukan ilusi. Kupejamkan mata dan kubuka lagi. Sama! Kututup lagi mataku. Kuhitung sampai 10 sebelum kubuka mata. Tidak ada yang berubah, masih sama seperti sebelum aku menutup mata. Ada selintas ingatan yang muncul di benakku. Toko  besi di sebelah kananku. Di sebelah kiri toko besi ada kantor desain. Tulisan 10+ terpampang besar-besar di jendela kacanya. Di sebelah kanan kantor desain ada bank. Di sebelah kiri toko besi ada tanah kosong dengan warung tenda berdiri di atasnya. Tak ada aktivitas di sana. Hanya meja dan bangku panjang yang ditumpuk di atas meja. Kulihat antrian di depanku masih belum bergerak. Kucoba memanggil ingatan yang muncul tadi. Nihil. Aku menengok lagi ke sebelah kanan. Tidak berubah. Rasanya familiar. Kupejamkan mata rapat-rapat sambil menghitung lagi.
                Tet....tet....!
                Hitunganku mencapai 23 ketika suara klakson mengagetkanku. Seketika membuat aku membuka mata. Mobil di depanku sudah berjalan sekitar  5 meter. Aku cepat-cepat menjalankan mobilku sambil melihat ke arah kanan. Deretan bangunan di sebelah kananku tidak berubah. Dan warung itu.... tetap ada di sana. Di mana aku pernah melihat hal yang sama? Toko bangunan, kantor desain, bank, dan ..... sebuah warung. Apakah aku sering  melewati jalan ini? Tidak! Baru kali ini aku lewat ke sini. Tapi rasanya aku pernah melewatinya. Sering malah. Tapi kapan? Di mana? Kapan aku pernah ke sini? Ataukah aku mengalami deja vu?
                                                                     ***
                “Kenapa? Dari tadi diam sambil mikir gitu.” Ana bertanya padaku dalam perjalanan pulang dari bandara.
                “Deja vu.”
                “Apa?” Suara Ana terdengar heran.
                “Deja vu. Aku mengalami deja vu,” aku berkata pelan.
                “Deja vu apa?”
                “Ah.. sudahlah. Kenapa tadi delay?” Aku mengalihkan pembicaraan.
                Deja vu. Ya. Deja vu.  Kata itu berkeliaran di dalam kepala. Aku masih terus memikirkan jalanan yang kulewati tadi. Pun di rumah sesudah menjemput Ana. Di mana aku pernah melihat hal yang sama seperti ‘pemandangan’ saat perjalanan ke bandara?
                Ingatan itu masih terpikirkan sampai aku tertidur. Warung itu muncul di dalam mimpiku. Alam bawah sadar sialan!
                                                                      ****
                Hari ini aku kembali melewati jalanan sewaktu aku menjemput Ana di bandara. Penasaran. Bangunan dan urutannya tetap sama seperti seminggu lalu. Bedanya, bank yang seminggu lalu  tutup sekarang sudah buka. Aku tak juga bisa memanggil memori tentang urutan bangunan yang mengganggu pikiranku seminggu ini. Termasuk warung itu.
                Baiklah... aku menyerah. Kulewati deretan bangunan itu dengan satu tekad: lupakan saja! Kulayangkan warung tenda yang minggu lalu kosong. Sekarang ada kesibukan di sana. Lotek Ceu Edoh.  Lotek Ceu Edoh! Lotek Ceu Edoh tertulis di kain penutup warung. Tiba-tiba, ingatan yang enggan muncul beberapa hari ini bermunculan.  Seperti air yang keluar dari kran. Mengucur deras.
                Perih. Seiring dengan ingatan yang bermunculan, rasa perih itu muncul menyeruak mengganggu metabolisme mentalku. Sialan! Aku pun kembali menjadi pengumpat.
                                                                     ****
                “Selamat ulang tahun, Vira. Semoga, sehat, banyak rejeki, bahagia terus bersamaku,” Danis menyalamiku.
                “Terima kasih,” aku menyambut uluran tangannya dengan bahagia. Tangan yang sudah bertahun-tahun menjadi penyambung hidupku. Tangan yang memegang harapanku agar ia bisa terus menjadi pendamping hidupku. Belum! Ia belum jadi suamiku. Tapi, tak bisa kupungkiri. Bersamanya, hidupku terasa lengkap. Akan lebih lengkap lagi jika aku bersanding dengannya di depan altar. Sudah sering pikiran itu terlintas tapi kami tak jua membicarakannya dengan serius. Biarlah. Aku tak ingin kehilangan saat-saat bahagiaku bersamanya.
                “Ke tempat biasa?” Danis bertanya padaku. Kuanggukkan kepala. 
                “Let’s go!”
                Kami pun masuk ke dalam mobil dan menuju ‘tempat biasa’. Jangan! Jangan berpikir macam-macam. Tempat biasa kami adalah sebuah warung makan di pinggir jalan di Lembang. Sebelah kanannya terdapat toko bangunan. Sebelah kanannya lagi ada satu kantor desain, dan kemudian bank. Nama kantor desainnnya berbeda, tapi nama bank-nya sama. Warung itu sebuah warung lotek. Rasa loteknya biasa. Tidak sangat enak sehingga kami rela menempuh jarak jauh hanya untuk merayakan ulang tahunku atau ulangtahunnya. Bukan candle light dinner romantis di restoran, ucapan selamat disertai setangkai bunga dan kartu, atau surprise tengah malam. Bukan makan mie seperti orang Cina atau makan sup rumput laut seperti orang Korea. Suatu ‘kebiasaan’ yang tidak biasa untuk merayakan ulang tahun. Ditraktir lotek. Yang menjadikan makan lotek pada ulang tahun kami sebagai sesuatu hal yang istimewa adalah kami berdua. Danis menyatakan cintanya di warung itu 5 tahun lalu. Saat kami sedang kelaparan dan menemukan warung itu dalam perjalanan menuju Gunung Tangkuban Perahu bersama teman-teman satu fakultas. Tidak romantis. Memang! Sangat tidak romantis. Tapi, aku adalah orang yang menurutku paling bahagia pada hari itu.
                Sejak saat itu, setiap kami berulang tahun (aku atau Danis) kami akan ke Lembang, makan di warung itu, dan mengingat kembali awal kami jadian.
                Hari ini genap 6 tahun hubunganku dengannya. Cukup lama. Tapi tetap saja, belum ada dari kami yang membicarakan pernikahan. Biarlah. Toh aku masih menikmati hubungan kami. Begitu pula Danis. Putus nyambung pernah terjadi. Tapi alasannya bukan karena topik ‘pernikahan’.  Lebih banyak karena kecemburuan. Suatu hal yang biasa, kan?
                “Vir, duduk di sini,” Mama memanggilku suatu malam.
                Mendengar nadanya saat ini, aku tahu, yang akan dibicarakan adalah masalah serius. Aku bisa membedakan nada suara mama jika akan membicarakan hal yang serius dan yang tidak. Aku duduk di depan Mama.
                “Apa rencanamu dengan Danis?” Straight to the point. Tanpa basa-basi, Mama bertanya padaku. Aku tidak tahu apa yang akan Danis katakan kalau Mama menanyakannya langsung padanya. Ini saja sudah cukup membuatku gelagapan walaupun sudah mengira sebelumnya.
                “Ee....ee... Belum tahu, Ma.” 
                “Sudah cukup lama kan, kalian pacaran?”
                “Iya.”
                “Untuk apa kalian pacaran kalau tidak untuk menikah?”
                “Kami belum membicarakan tentang itu.”
                “Lalu kapan? Kalian tidak akan menikah?”
                “.......” Aku diam. Belum tahu mau menjawab apa.
                “Vir?”
                “Siapa sih yang nggak ingin menikah, Ma?”
                “Lalu, kapan?”
                “Ma....”
                “Besok, minta Danis datang ke sini. Mama mau bicara.”
                “Bicara apa, Ma?”
                “Mama mau tanya padanya. Serius nggak dia sama kamu.”
                “Seriuslah, Ma.”
                “Kalau serius, kenapa sampai sekarang dia tidak melamar kamu?”
                Aku diam. Tidak tahu harus menjawab apa.
                “Besok, atau tidak sama sekali.”
                “Ma!”
                Mama pergi meninggalkan aku yang masih terdiam di sofa.
                                                                     ****
                “Hai! Belum tidur?” Suara Danis di ujung sana
                “Belum ngantuk. Ehmmm... Dan.....”
                “Kenapa?”
                “Ehmmm... Mama meminta kamu datang besok.”
                “Ada apa?”
                “Ehmmm....” Aku masih menimbang-nimbang. Bicara jujur atau pura-pura tidak tahu.
                “Vir?”
                “Tadi Mama nanya kalau kita serius nggak.”
                “Ya..seriuslah.”
                “Syukurlah kalau begitu.”
                “Kenapa?”
                “Mama tanya, kapan kita nikah,” akhirnya aku katakan juga apa yang Mama tanyakan.
                “......”  Tidak ada suara di ujung sana.
                “Dan!”
                “Ya.”
                “Kamu besok ke sini jam berapa?”
                “Ehm... besok aku ada meeting. Belum tahu sampai jam berapa. Lihat besok saja.”
                Deg! Kenapa Danis menjawab seperti itu? Apakah memang dia tidak punya niat sedikit pun untuk datang menemui Mama? Selama ini, Danis memang jarang ke rumah. Kalau Mama atau Papa mengajak berbincang-bincang, Danis seperti gelisah. Lalu, dia akan mengajakku pergi dari rumah. Aku pernah bertanya padanya tentang hal itu. Segan. Itu jawabnya. Toh kemudian aku tidak pernah mempermasalahkannya. Lebih sering aku yang mengunjungi mamanya daripada Danis mengunjungi keluargaku. Aku kenal dekat mamanya. Bahkan sering beliau memintaku menemaninya belanja.
                “Vir!” Suara di seberang menyadarkanku dari lamunan tentang kami.
                “Ya.”
                “Sudah malam. Tidur!”
                “Oke. Selamat tidur.”
               Kuletakkan ponselku di kasur. Aku masih memikirkan jawaban Danis. Malam itu aku bermimpi. Kami menikah dan.... Danis meninggalkanku di altar.
                “Mimpi sialan!” Aku mengumpat. Kulempar selimut dan pergi ke kamar mandi. Hari ternyata sudah siang.
                                                                     ****
                “Jam berapa Danis ke sini?” Mama bertanya sesampai aku di rumah sepulang kerja.
                “Dia ada meeting, Ma. Belum tahu bisa ke sini atau tidak,” jawabku.
                “Mama akan tunggu sampai dia datang. Tak peduli jam berapa.”
                “Ma!”
                “Kalau dia tidak ke sini hari ini berarti stop.”
                “Apa itu artinya?”
                “Kamu dan dia, end!”
                “Ma!”
                “Berarti dia tidak serius. Tidak usah saja.”
                “Ma!”
                Tiba-tiba aku merasa pusing. Selama hubunganku dengan Danis, tidak pernah aku merasa sepusing ini.
                                                                      ****
                “Dan, jam berapa kamu ke sini?” Aku menelpon Danis.
                “Ini masih meeting, Vir. Bakalan panjang dan masih lama. Tidak bisa ke sana.”
                “Dan, Mama bilang kalau kamu nggak ke sini, kita end.”
                Hening. Tak ada sahutan di seberang sana.
                “Dan!” Aku panggil namanya.
                Masih hening.
                Aku mulai ragu. Seberapa besar cintanya padaku. Aku tidak pernah bertanya.
                “Baiklah.” Akhirnya Danis menyahut.
                “Baiklah apa?”
                “Baiklah kalau itu mau mamamu.”
                “APA?? Apa maksudmu.” Aku kaget mendengar jawabannya.
                “Mamamu ingin kita putus? Ok!”
                “Dan, kenapa pikiranmu sedangkal itu? Mama meminta kamu datang, hanya itu.”
                “Iya. Hanya meminta datang, kemudian menanyakan kapan aku akan melamarmu. Begitu,kan?”
                “Kenapa kamu begitu terganggu dengan pertanyaan itu? Wajar, kan? Sudah lama kita pacaran.”
                Aku mulai meragukan Danis.
                “Aku belum siap. Selama ini kamu tidak pernah mempermasalahkan hal ini. Kenapa sekarang kamu mempermasalahkannya?”
                Tiba-tiba aku merasa asing dengan orang yang menjadi lawan bicaraku. Siapa dia?
                “Jadi, kamu tidak akan datang ke sini?”
                Tidak ada jawaban.
                “Aku harus masuk lagi. Rapat sudah mulai.”
                Dan... keheningan melingkupi sekelilingku.
                Mama akhirnya masuk kamar. Tak ada kata-kata yang keluar dari mulutnya. Aku hanya menangkap ekspresi mukanya. Aku periksa ponselku. Tidak ada panggilan tak terjawab. Tak ada pesan.           Jam berdentang dua belas kali. Hari sudah berganti. 23 Desember. Kulihat ponselku. Idle. Tak ada notifikasi pesan dari media sosial manapun. Danis pun sama sekali tidak menghubungi Mama untuk meminta maaf atau sekedar basa-basi karena kemarin tidak datang. Pukul 23.58. Dua menit lagi hari akan berganti. Selamat ulang tahun, Vira. Aku menyelamati diri sendiri. Hari ini hari ulang tahunku. 23 Desember. Jam di ruang tengah berdentang. Tepat jam 00.00. Hari berganti. Beralih menjadi 24 Desember. Danis tidak mengucapkan selamat ulang tahun. Dia belum menghubungiku sejak aku menelponnya kemarin sore. Aku juga tidak menghubungi dirinya.
                Aku teringat pertanyaanku pada Danis sewaktu aku menelponnya. “Jadi, kamu tidak akan datang ke sini?” Sebenarnya, aku sudah tahu jawabannya sejak kemarin malam Mama masuk ke kamar pada jam 23.30.
                                                                     ****
                Ingatan 2 tahun lalu itu muncul seperti kaleidoskop akhir tahun. Selama 6 tahun aku berpacaran dengan Danis, baru kali itu aku merasa tidak berharga. Ada rasa perih di dadaku. Dan tidak ada lotek pada hari ulang tahunku. Hari ini aku kembali menyusuri jalan itu. Sepertinya sudah otomatis ketika melewati Warung Lotek Ceu Edoh, aku memalingkan wajah ke arahnya. Aku teringat deja vu yang dulu aku kira. Bukan, ternyata bukan deja vu. Hanya pengalaman yang sudah berakar dalam ingatanku kemudian muncul pada keadaan yang mirip dengan pengalaman itu.
                “Vir, Mama mau beli lotek. Kamu mau?” Mama mengagetkanku yang sedang terhanyut oleh kenangan masa lalu.
                “Jangan tawari aku lotek, Mama. Aku benci lotek.”
                Ya. Aku benci lotek. Sejak kapan? Sejak Danis memutuskan untuk tidak datang memenuhi undangan Mama sehari sebelum hari ulang tahunku!

                                                                     ****

#Selamat ulang tahun, Ika.#

14.12.15

Selamat Hari Ibu, Bu.

Aku Indria. Umurku 5 tahun. Hari ini hujan turun lebat sekali. Aku menangis dengan suara keras. Mungkin aku ingin mengalahkan suara hujan dan petir yang bersahutan. Ibu berdiri di sebelahku. Mbak Zeta, kakakku, datang menghampiri kami. Rambutnya basah.      
     “Ini baru, In,” Mbak Zeta memperlihatkan padaku sepasang sandal jepit kecil. Sepertinya pas di kakiku. Rambutnya basah. 
     “Bohong,” teriakku di sela-sela tangisan. 
     “Itu baru, In,” Ibu ikut bicara. 
     “Iya,In. Sandal ini baru,” Mbak Zeta memberikan sepasang sandal itu kepadaku. Tubuhnya menggigil. 
     “Aku nggak mau yang itu. Aku mau sandal baru.” Ibu dan Mbak Zeta terus membujukku. Aku tidak terbujuk. Aku terus menangis. Tangisan yang sia-sia karena Ibu tetap tidak membelikanku sandal baru. 
                                           
                                            **** 
     Umurku bertambah. Sekarang aku 6 tahun. Aku sedang sakit panas. Penyakit yang biasa di kalangan anak-anak sebenarnya. Tapi aku terbaring seakan aku mengidap penyakit serius. Aku merengek pada Ibu. 
     “Ibu, aku mau sekolah,” kataku. 
     “Iya, nanti didaftarkan, “ kata Ibu sambil menyiapkan susu untukku. Aku sangat suka susu. Ibu selalu membuatkan secangkir setiap pagi. 
     “Kapan?” Tanyaku. 
     “Kalau kamu sembuh,” Ujar Ibu lagi. 
     ”Aku mau SD,” pintaku.
     “TK saja, ya. Kamu masih kecil.” kata Ibu. 
     “Nggak mau. Aku mau SD. SD Negeri 2 ya, Bu,” aku merengek. Ibu diam saja.

     Sesudah aku sembuh, aku sudah terdaftar menjadi murid Sekolah Dasar Negeri 2 kelas 1. Aku bahagia. Aku bangun pagi-pagi pada hari pertama masuk sekolah dengan riang gembira. 

                                          ****
     Aku sekarang sudah duduk di kelas 3. Sekolahku bukan sekolah besar. Ruang kelasnya terbatas. Karena itu, murid-murid bergiliran masuk pagi dan siang hari. Sekolahku sekompleks dengan Sekolah Dasar Negeri 1 dan Sekolah Dasar Negeri 3. Teman-teman mainku di rumah lebih banyak yang masuk ke Sekolah Dasar Negeri 1. Hanya aku yang sekolah di Sekolah Dasar Negeri 2. Itu karena permintaanku dulu. Hari ini aku berangkat siang. Begitu juga teman-teman mainku. Tiba-tiba saja, aku ingin pulang bersama teman-temanku di Sekolah Dasar Negeri 1. Padahal, aku pulang lebih dahulu. Aku melangkah ke salah satu kelas di Sekolah Dasar Negeri 1. Kubuka pintu kelas dan aku berdiri di samping pintu di dalam kelas. Gurunya sedang duduk di meja guru. Beliau membiarkanku masuk. Kulihat Reta, teman mainku, sedang mengerjakan tugas di bangkunya. Aku berdiri dengan sabar sampai lonceng sekolah Reta tanda pulang berbunyi. Murid-murid seketika menjadi gaduh. Mereka membereskan buku-buku yang berserakan di meja, berdoa, dan keluar. Aku menunggu sampai Reta berada di hadapanku dan kami pulang bersama. Saat aku berjalan dengan Reta, tetangga-tetangga melihat padaku. Aku heran tapi tidak bertanya. “Itu Indria. Ia tidak diculik,” teriaknya. Diculik? Aku diculik? Aku melihat pada tetanggaku dengan tatapan tak mengerti. Aku berjalan mendekati rumah. Tiba-tiba perasaanku tidak enak. Aku merasa bersalah. Aku takut Ibu marah. Benar saja. Aku melihat Ibuku. Wajahnya sangar. Beliau marah.

     “Kenapa kamu tidak langsung pulang?” Beliau bertanya dengan galak padaku 
     “Ibu, maaf.” Suaraku pelan. Kutundukkan wajahku. 
     “Ibu pikir kamu diculik, Indria.” Suaranya tegas. 
     “Maaf, Bu. Aku salah,” 
     “Kamu dihukum.” 

     Ya, aku dihukum. Pulang sekolah harus langsung pulang dan harus minta izin jika bepergian. Itu adalah aturan. Dan Ibu, adalah sosok yang sangat ketat terhadap aturan. Aku dihukum karena melanggar aturan itu. Ibuku termasuk orang yang galak. 

                                            **** 
     Aku sekarang sudah kelas 6. Suatu hari, Ibu sakit. Semakin lama, semakin parah. Ibu dirawat di rumah sakit sampai suatu ketika, keadaan Ibu berangsur-angsur membaik. Walaupun belum sembuh benar, Ibu bisa berjalan lagi. Beliau bisa duduk di kursi ruang tamu untuk merasakan kehangatan sinar mentari. Aku senang sekali. Namun, setelah itu, Ibu kembali ambruk. Kondisinya semakin lemah. Di rumahpun, botol infus selalu berada di sebelah tempat tidur. Setiap bangun tidur, aku pergi ke kamarnya. Kuperhatikan dadanya. Ketika kulihat dadanya kembang kempis, aku lega. Ibu masih hidup. Sesudah itu, aku akan pergi ke kamar mandi dan bersiap-siap ke sekolah. 

                                                 **** 
      Kupandangi foto Ibu. Wajahnya tersenyum. Beliau cantik sekali. Foto itu adalah foto kesayanganku. Kuambil dari album foto keluarga. Aku menyelipkannya di dompetku. Ketika rasa kangen muncul, kukeluarkan foto itu. Kupandangi wajahnya. Kubalas senyumnya. Kemudian, memori-memori itu bermunculan. Urutan yang sama: meminta sandal jepit baru, minta sekolah, disangka diculik dan dihukum, dan mobil ambulans. Aahh... yang terakhir belum aku ceritakan. Tentang mobil ambulans. 

                                                  ****

     Aku lega ketika melihat Ibu terbaring dengan mata tertutup namun tetap bernapas. Suatu hari, masa kelas enamku akan segera berakhir. Aku ujian akhir di sekolah lain. Aku pergi ujian naik sepeda. Pada hari kedua ujian, aku pulang bersama teman-temanku. Ketika aku hampir sampai rumah, sebuah mobil ambulans menuju ke arahku. Tiba-tiba saja aku merasa cemas. Kutanya temanku dari mana mobil itu datang. Temanku menggeleng. Hatiku semakin berdebar-debar ketika rumahku semakin dekat. Kulihat banyak orang berdiri di pinggir jalan. Aku berhenti di depan rumahku. Aku mendengar ada yang berbicara,
     
     ” Indria datang.” 

Kulihat tanteku berjalan menghampiriku. Tangisku pecah. Aku tahu apa yang terjadi. Tanteku datang dan memelukku. “Ibu pergi,” bisiknya. Tangisku semakin keras. 

                                                   ****
     Ingatan tentang ambulans masih kuat di kepalaku. Kupandangi foto Ibu. Sudah mulai lusuh karena begitu seringnya foto itu kukeluarkan dari dompet. Ibu, pertemuan kita tidaklah lama. Hanya dua belas tahun. Tapi aku belajar banyak tentangmu. Kau galak dalam benak masa kecilku. Tapi aku tahu kau menyayangiku. Ketika aku meminta sandal baru, saat itu, kau tidak punya uang. Tapi karena sayangmu padaku, kau meminta Mbak Zeta mencuci sandal agar terlihat baru. Gara-gara mencuci sandal, Mbak Zeta kehujanan dan menggigil kedinginan. Ibu, sayangmu membuat aku bisa masuk ke sekolah dasar padahal kau menginginkan aku masuk TK. Rasa sayangmu membuatmu marah ketika aku tidak meminta izinmu pulang terlambat. Ya, kau takut aku diculik, Ibu. Ibu, aku hanya bisa mendoakanmu agar kau tenang di alam sana. Aku minta maaf karena pernah membuatmu marah. 

                                                  **** 
     Sebuah tangan menyentuh pundakku. Aku menengadah. Kutatap wajah Rio. Ia tersenyum. Kubalas senyumnya. Kuusap tangannya yang masih berada di pundakku. Kubuka dompet dan kupandang foto Ibu sambil berkata dalam hati, “Ibu, sudah ada penggantimu yang akan menjagaku. Jangan khawatir, Bu.” Kumasukkan foto Ibu ke dalam dompet. Aku sayang padamu, Bu. Selamat Hari Ibu. ****


Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Writing Project #DearMama yang diselenggarakan Nulisbuku.com dan Storial.co