27.12.13

Petualangan ke Negeri Kuayan Part.2

Sambungan dari Petualangan ke Negeri Kuayan Part.1

Esoknya, saya dan teman saya melanjutkan perjalanan ke Kuayan, tempat praktik teman saya yang sedang PTT (Pegawai Tidak Tetap) sebagai dokter gigi. Biasanya, jarak temput Sampit-Kuayan hanya 3 jam jika melalui Jembatan Bajarum. Sayangnya, Jumat malam (20 Desember 2013), jembatan itu runtuh. Sebuah kapal tongkang menabraknya. Sontak jalur transportasi yang melewati Jembatan Bajarum terputus. Jalur transportasi pun memutar melewati jalan lain. Alhasil, waktu tempuh yang biasanya hanya 3 jam, kini ditempuh dalam waktu kurang lebih 5 jam. Dua jam kami melewati jalanan beraspal tanpa kemacetan. Setelah istirahat makan siang, kami melanjutkan perjalanan. Mulailah kami memasuki jalanan tak beraspal di dalam perkebunan sawit. Debu tanah merah menyerbu setiap kali ada kendaraan yang berpapasan. Sepanjang perjalanan, jarang sekali kami menemukan perumahan penduduk. Sempat terpikir bagaimana kalau mobilnya mogok atau mengalami kerusakan di tengah-tengah perkebunan sawit ini?


Jalanan berdebu di dalam perkebunan sawit
Jalan menuju perkampungan penduduk
Pos penjaga perkebunan

Kami juga menemui penambangan emas ilegal. Di sekitarnya terdapat pasir putih. Selain itu, kami melewati suatu daerah dengan lubang besar di tengah-tengah jalan. Konon, lubang ini tidak pernah dapat ditutup meskipun sudah pernah ditimbun dengan tanah. Tanah yang ditimbun kemudian lenyap. Sekeliling lubang ditutupi dengan kain dan papan peringatan untuk untuk tidak ‘mengganggu’ area tersebut.


Sekitar penambangan
Pasir putih di sekitar penambangan ilegal
Hujan turun saat kami berada di tengah-tengah perkebunan kelapa sawit. Rasanya? Deg-degan! Kalau mobilnya terperosok ke dalam tanah gembur bagaimana? Untungnya hujan hanya sebentar walaupun cukup deras. Pada beberapa area, mobil dijalankan dengan hati-hati karena berlumpur. Alhamdulillah, kami berhasil melewatinya dengan selamat.


Hujan membuat jalanan berlumpur
 Setelah dua jam melewati perkebunan kelapa sawit tanpa ada rumah penduduk, kami akhirnya melihat perumahan salah satu perusahaan kelapa sawit. Perumahan tersebut terletak di puncak bukit.  Atap-atap putih terlihat dari kejauhan. Lega rasanya melihat ada ‘kehidupan’ setelah beberapa jam hanya menemui jalanan sepi yang diapit pohon sawit.
Tiga jam sejak kami memasuki perkebunan sawit, turun naik bukit, melewati jalan berlumpur, rumah-rumah penduduk akhirnya terlihat. “Sudah sampai kuayan,” kata salah seorang penumpang. Lega! Akhirnya sampai juga. Alhamdulillah, selamat sampai rumah dinas teman saya.


Perumahan perkebunan sawit
Baru beberapa menit di Kuayan, aku disambut mati lampu. Hal yang sangat biasa di Kuayan salah satunya adalah: mati lampu!

Bersambung ke Part.3
                                                                 ***

Iin 
Kuayan, malam hari.

NB: Meli, thanks untuk sumbangan foto-fotonya.

26.12.13

Petualangan ke Negeri Kuayan Part.1

Sebenarnya, nama daerahnya bukan Negeri Kuayan, tapi Kuala Kuayan, sebuah daerah di Mentaya Hulu, Kotawaringin Timur, Kalimantan Tengah. Hanya saja, seorang teman yang sedang PTT di sana sering menyebutnya Negeri Kuayan. “Biar keren,” katanya. Warga setempat biasa menyebutnya Kuayan. 

Untuk mencapai Kuayan, saya terbang dari Jakarta menuju Sampit. Sampit adalah kota terdekat dari Kuayan, merupakan ibukota kabupaten Kotawaringin Timur. Hanya ada dua maskapai penerbangan yang bertujuan ke Sampit yaitu Kalstar Aviation dan Merpati Airline. Sepintas mirip dengan Bandara Husein Sastranegara di Bandung (karena atap bangunan berwarna biru), namun ukurannya lebih kecil. Nama bandara Sampit adalah H. Asan. Dari atas (sebelum mendarat), yang terlihat adalah hamparan pepohonan dan sungai. Jarang terlihat atap bangunan.
Bandara H. Asan Sampit
 Sebelum melanjutkan perjalanan ke Kuayan, saya harus bermalam di Sampit. Tidak ada transportasi umum di sore atau malam hari menuju Kuayan. Satu-satunya transportasi umum yang bisa digunakan untuk mencapai Kuayan adalah taksi. Jangan bayangkan ‘taksi’ seperti ‘taksi’ di kota-kota besar. ‘Taksi’ yang dimaksud adalah mobil berplat hitam dengan tarif Rp. 100 ribu per orang milik pribadi, bukan perusahaan. Teknisnya seperti travel  door to door tanpa nama perusahaan travel atau simbol-simbol perusahaan di badan mobil seperti travel yang biasa kita lihat di kota-kota di Jawa. Penumpang akan dijemput pada pagi menjelang siang dan diantar sampai tempat tujuan. Kebanyakan hanya ada sekali trayek dari Sampit ke Kuayan, begitu pula sebaliknya. Jarang ada trayek pulang-pergi Kuayan-Sampit-Kuayan.

Pemandangan dari Batu Mandi ke arah Sungai Mentaya
Salah satu tempat unik di Sampit adalah Batu Mandi, sebuah tempat makan yang menyajikan hidangan ikan bakar dan sejenisnya. Letaknya di tepi Sungai Mentaya dan dibangun saung-saung di atas sungai. Banyak perahu (besar dan kecil) berlalu lalang atau ditambatkan di sungai tersebut karena menunggu barang dimasukkan ke dalam perahu. Jika ada perahu yang lewat, beberapa saat kemudian, saung tempat saya duduk akan bergoyang-goyang terkena gelombang air yang dilewati perahu.

Pagi harinya, teman saya mengajak sarapan di depan Taman Kota Sampit. Banyak pedagang di depan taman dan mereka menyajikan menu khas Jawa karena mereka berasal dari Jawa. Sebelum saya berangkat ke Kuayan, kami sudah menyusun rencana termasuk sarapan pagi di Sampit sebelum ke Kuayan. Saat itu, kami sudah berdebat tentang menu sarapan yang diajukan teman saya. Perdebatan masih berlangsung saat menu sarapan kembali dibahas di mobil dan saat berjalan menuju Taman Kota. Kenapa diperdebatkan? Karena teman saya mengajukan menu ini untuk sarapan!
'Cherbon maning' di Kalimantan
Sebagai orang Cirebon, sudah sering saya makan bubur ayam khas Cirebon. "Jauh-jauh ke Kalimantan masa makan bubur ayam Cirebon." Itu yang saya ungkapkan pada teman saya. Namun, pada akhirnya kami tetap makan di sana. Baiklah. Seperti kata pepatah "Buah jatuh tak jauh dari pohonnya." Orang Cirebon tidak bisa berjauhan dengan hal-hal berbau 'Cirebon'.

Bersambung ke Part.2.

Iin
Kuala Kuayan di Siang Hari.