22.8.16

Awan dan Angin

Suatu ketika, awan marah pada angin. Angin pun demikian. Setiap perkataan awan membuat angin marah. Kata-kata angin membuat awan marah. Tidak ada lagi cerita antara angin dan awan. Angin tidak pernah membawa kabar untuk awan tentang keadaan di bumi. Awan tidak pernah menceritakan keadaan langit pada angin. Awan tidak mengetahui apa yang dirasakan angin. Ketika ia berusaha untuk menyatakan perasaannya terhadap angin, keadaan justru semakin buruk. Padahal, harapan awan dengan berbicara, kesalahpahaman mereka akan selesai. Awan sedih. Angin semakin menjauh. Awan rindu dengan cerita-cerita angin. Awan rindu dengan semilirnya. Awan rindu dengan canda tawa mereka berdua. Dua sahabat itu jarang bertemu. Kalaupun bertemu, itu pun hanya sekilas. Angin hanya menebar semilirnya kemudian pergi mencari tempat sendiri. Hanya saja, angin sedang sibuk di tempat lain. Ajakan-ajakan awan kadang tidak bersambut. Untuk bertanya pada angin, awan tidak berani. Ia takut membuat angin marah. Awan menyesal suatu saat dalam kehidupannya. Ia tidak ingin berada dalam keadaan ini.

Kehilangan angin, sahabatnya, membuat awan gundah gulana. Ia yang semula seputih kapas menjadi kelabu bahkan hitam pekat. Awan menurunkan hujan karena kesedihannya. Ia tidak kuat menanggung titik-titik air yang semakin memberatkan tubuhnya. Namun, titik-titik air yang keluar dari tubuhnya tidak membuat perasaan awan menjadi ringan. Ia masih dilingkupi kesedihan kehilangan angin. Apakah angin memiliki perasaan yang sama dengan awan? Entahlah. Awan hanya berharap, mereka dapat saling berbicara terbuka seperti dulu. Awan sungguh rindu cerita tentang bumi yang sudah jarang ia dengar lagi. Apakah di bumi masih banyak pohon? Apakah di bumi masih ada air? Awan ingin bercerita pada angin bahwa di langit masih banyak bintang. Di langit masih ada bulan. Tapi, kesempatan itu tak kunjung ada. Angin seperti sudah tidak menganggapnya sahabat lagi. Awan ingin meminta maaf. Awan sudah meminta maaf. Tapi awan takut angin menyangka kalau awan mengungkit masa lalu. Tidak move on. Akhirnya, awan hanya bisa membiarkan saja. Ia tidak berharap ia dan awan berjalan bersama memandang bumi. Awan hanya berharap ia dimaafkan dan hubungannya dengan angin bisa membaik kembali. 

Hari ini angin mendatangi awan. Awan senang sekali. Setelah sekian lama awan tidak bersua dengan angin, awan kembali bercerita banyak pada angin. Angin menanggapi cerita awan seperti dahulu. Awan dan angin tertawa bersama. Awan bahagia. Ia berharap, ia dan angin dapat kembali saling bercerita. Cerita yang membuat malam-malam mereka ceria walaupun gelap di sekitarnya. Awan ingin tubuhnya seputih kapas kembali. Awan tidak ingin menjadi kelabu apalagi hitam pekat. Awan ingin bertanya pada angin," Maukah?" Awan ingin berjalan dengan angin menikmati bumi dari atas langit.

****

17.8.16

Selamat Ulang Tahun, Uci!

Dear ,Uci!
Tiba-tiba aja pengen nulis khusus untuk Uci. 
Sebagai hadiah ulang tahun. Hadiah yang telat.

Terima kasih, Ci, selalu jadi sahabat sampai detik ini.

Sahabat yang selalu menerima aku datang kapan pun aku ingin datang.  Entah di Jatinegara, atau pun di Cengkareng. Feel like own home always. Nyaman dan selalu diterima. Canda, tawa, cerita selalu ada. Jadi basecamp kumpul siapa pun teman atau sahabat yang lagi ada di Jakarta.

Sahabat yang bisa membuat ‘dinding’ aku runtuh.  Masih ingat percakapan panjang kita? Aku lagi makan di warung soto (yang sekarang warungnya udah pindah).

Sahabat yang membuat aku merasa disayang.
Sahabat yang selalu peduli.
Sahabat yang sudah seperti keluarga (selalu diajak ke mana-mana).

Terima kasih sudah membuat sebagian chapter hidupku berwarna.
Terima kasih sudah membuat aku merasa berharga.

Selamat ulang tahun, Ci. Semoga Uci dan keluarga selalu diberikan kesehatan.  Bahagia selalu dengan Mas Deni, Shafa, dan Fiori. Ceritakan foto-foto kita pada Fiori. Ceritakan tentang persahabatan kita. Semoga dia akan punya cerita seperti cerita kita. Shafa, dia sudah cukup besar untuk menyaksikan sendiri cerita persahabatan kita tanpa perlu story telling. Jangan pernah lupa. Uci punya aku untuk cerita. This too, shall pass. Kita pasti bisa melewati cerita hidup kita.

Love you, Ci.

*****

Kalau diingat-ingat, aku nggak ingat kapan kita mulai dekat. Teman satu kosan waktu kuliah jelas bukan. Teman main di kampus, bukan juga. Oh... kita pernah satu kelompok praktikum psikodiagnostik. Kadang-kadang main bareng ke Bandung. Naik angkot rame-rame. Tapi entah kenapa, sesudah lulus malah jadi sering bareng, ya.:-)