16.7.13

Pulang

Aku terguncang-guncang di dalam bis. Inilah salah satu alasan kenapa aku malas untuk pulang kampung ke kotaku. Jalan yang tidak pernah menjadi mulus, bis yang nge-tem di luar terminal, kecepatan bis yang kurasa pelan, membuat waktu tempuh bis bertambah lama. Setelah tiga tahun, aku kembali ke kampung halaman. Untuk menengok Ibuku. Selama aku tidak pulang, aku hanya menelepon beliau. Ibu sering memintaku pulang tapi dengan berbagai alasan, aku tidak pernah mengabulkan permintaannya. Bahkan saat lebaran pun, aku lebih memilih untuk berlibur daripada pulang ke kampung. Kakakku tidak bosan-bosan membujukku. Tapi aku tetap pada pendirianku. Sampai tadi malam kuputuskan untuk pulang. Dan di sinilah aku sekarang, menghibur diri di dalam bis, berharap cepat sampai di tujuan. Kupejamkan mataku. Siapa tahu dengan tidur, aku akan cepat sampai ke kampungku. Dengan mata terpejam, pikiranku melayang pada keputusanku tadi malam.

Minggu lalu, aku menelepon ke rumah. Pada percobaan pertama, tidak ada yang mengangkat. Ke mana Ibu? Ke mana Kak Dhina? Kucoba lagi dan lagi. Tidak ada yang mengangkat. Aku menghubungi telepon genggam kakakku, sama. Ia tidak mengangkatnya. Malamnya aku mencoba menelepon lagi ke rumah. Tetap tidak ada yang mengangkat. Tadi malam, aku menghubungi telepon genggam kakakku lagi. Sekali, dua kali, tiga kali, baru pada empat kalinya akhirnya ada jawaban dari seberang sana. 

     "Ibu sakit, Ras.Kamu pulanglah." Kak Dhina memberitahu aku. Deg! Aku terkesiap. Selama ini aku tidak pernah mendengar Ibu sakit parah. "Pulanglah sebelum terlambat." Kak Dhina membujukku. Aku mengiyakan. Tadi malam kuputuskan untuk pulang. 

                                                                  ***
Udara panas menyambutku ketika aku turun dari bis. Beginikah kampungku sekarang? Pasarnya sekarang sudah berbentuk bangunan permanen akibat kebakaran dua tahun lalu. Di sebelahnya sekarang ada mall. Pedangan es serut langgananku sudah tidak ada. Oh aku rindu es serut itu. 

     "Mbak Diza! Mbak Diza, kan?" Seorang tukang becak memanggilku.
     "Mang Cecep, ya?" Tanyaku
     "Iya. Mau pulang, Mbak?" 
     "Iya. Ayo, Mang! Kita pulang." 

Mang Cecep adalah tukang beca langgananku. Ia juga tetanggaku. Sepanjang jalan kami mengobrol. Ia bertanya mengapa aku jarang pulang. Mang Cecep juga bercerita kalau Ibu sakit dan sekarang sudah kembali ke rumah setelah dirawat di rumah sakit. Kiri kanan jalan sudah berubah. Toko Pak Koko masih ada tapi barangnya semakin sedikit dan terlihat sepi. Pak Koko sedang duduk di depan tokonya. Pandangannya kuyu dan seperti melamun. Apakah karena sekarang banyak mini market di sana-sini? Mbak Cani masih menjual rujak. Rujak yang selalu aku rindukan. Pohon-pohon di sisi jalan sudah tidak ada. Gantinya adalah pohon kecil. Oh.. ke mana warung Pak Komar? Kenapa sekarang berubah jadi warnet. Mang Cecep memberikan jawaban-jawaban atas berbagai pertanyaanku. Tak terasa sampailah aku di rumah.

Rumah terlihat sepi. Aku buka pintu. Tidak terkunci. Aku mengucap salam dan masuk. Mana Ibu? Mana Mbak Dhina? Aku semakin masuk ke dalam rumah. Kutuju kamar Ibu. Aku ketuk pintunya dan bersiap mengejutkan beliau. Kupasang senyum manis. Aku panggil Ibu dan masuk ke dalam kamar. Seorang perempuan dengan rambut putih melihat ke arahku. Ia sedang duduk di tempat tidur sambil bersandar. Perempuan itu memandangku heran. Aku memanggilnya.

     "Siapa kamu? Kenapa kamu masuk rumahku tanpa permisi? "

Seketika senyum di wajahku menghilang. Aku terkejut. Ia ibuku, tapi kenapa tidak mengenali aku?

No comments:

Post a Comment