Istriku cantik sekali. Matanya selalu bersinar. Aku cinta mati padanya. Begitu pun dirinya. Aku jatuh cinta pada pandangan pertama. Ketika aku bertemu dengannya di depan toko roti dekat rumah.
Pada hari ke-3611 pernikahan kami, istriku kembali berpesan padaku. Pesan
yang selalu diulang setiap bulan. Jangan biarkan cahaya bulan masuk rumah jika
purnama tiba, begitu pesannya.
“Kenapa
begitu?” Tanyaku saat aku melamarnya.
“Aku akan menerima lamaranmu dengan dua syarat. Syarat pertama:
Jangan buka tirai jendela jika purnama tiba. Kedua, jangan tanya alasannya,”
jawabnya.
Aku heran tapi aku diam saja.
“Baiklah.
Aku menerimanya,” ujarku. Cintaku buta. Aku kalah oleh persyaratan tak
masuk akalnnya.
Menikahlah
aku dengannya. Demi cintaku padanya. Sebelum malam tiba, kami akan menutup tirai jendela rapat-rapat. Istriku
memiliki kalender yang ia tandai setiap bulan purnama. Pada saat purnama, ia
tidak pernah mau kuajak ke luar rumah. Padahal, aku berharap kami duduk-duduk
di luar sambil memandang bulan dan bintang. Namun, sampai usia pernikahan yang
menginjak hampir 10 tahun, harapanku tak pernah terwujud.
Hari ini ia pulang cepat dari tempat kerjanya.
“Aku
mau selesaikan pekerjaan kantor di rumah,” begitu katanya ketika aku membukakan
pintu. Hari ini aku tidak masuk kerja. Aku flu berat. Malam ini malam purnama. Jika hari kerja, istriku akan pulang cepat. Ia akan
memilih untuk membawa pulang kerjaannya. Aku sempat berpikir, apakah istriku
seorang manusia srigala?
“Sudah makan?” Tanya istriku.
“Sudah makan?” Tanya istriku.
“Belum.”
“Aku siapkan
makan dulu ya. Sesudah itu makan obatnya.”
Aku menurut. Sesudah makan obat, aku mengantuk sekali. Sayup-sayup
aku dengar istriku berkata. Entah apa. Aku tertidur tak lama kemudian.
Aku terbangun dengan kaget mendengar teriakan istriku.
“Ada apa.. ada apa?” Aku bergegas bangun dan mendekati
istriku. Istriku ketakutan. Ia menutup
wajahnya.
“Itu bulan purnama.” Istriku berkata. Ia masih menutup
wajahnya.
Sontak aku melihat ke arah jendela. Kami lupa menutup
tirainya. Aku tertidur. Istriku di kamar kerjanya. Kami benar-benar lupa. Sekarang
bulan purnama. Aku cepat-cepat menutup tirai jendela. Istriku mulai
terisak-isak.
“Sudah terlambat,”
katanya lirih.
Aku tidak mengerti apa maksudnya.
“Sudah terlambat,” katanya lagi. “Cahaya bulan sudah mengenaiku,”
katanya lagi.
Aku semakin tidak mengerti. Tiba-tiba, aku melihat cahaya terang di halaman rumah. Ada suara
berdesing pelan. Tangis istriku semakin keras. Aku semakin tidak mengerti. Aku guncang-guncang
tubuhnya. Aku peluk dirinya. Aku tanya,
”Mengapa? Mengapa?”
Istriku tidak
menjawab. Hanya tangisnya semakin keras. Tiba-tiba aku mendengar pintu diketuk.
Aku terdiam. Begitu juga istriku. Mukanya terlihat sedih sekali.
“Jangan,” kata istriku lirih. “Jangan buka pintunya.”
Aku menurut. Hampir saja aku berdiri kalau saja aku tak
mendengar istriku.
Ketukan di pintu masih terdengar. Aku diam saja. Istriku juga.
Tiba-tiba, pintu rumah terbuka sendiri. Aku terpana. Istriku juga. Tangis istriku
semakin keras. Ia memelukku erat. Aku semakin tidak mengerti. Sesosok tubuh
mendekati kami. Wajahnya tampan. Ia bicara kepada istriku. Bahasa yang aneh. Aku
heran ketika istriku menjawab sosok itu dengan bahasa yang sama. Bahasa yang
sama sekali tidak kumengerti. Istriku berdiri. Ia masih berpegang kepadaku. Aku
ikut berdiri. Istriku menggandengku keluar. Isaknya masih terdengar. Sosok itu
berjalan ke luar diikuti istriku. Istriku menggenggam tanganku. Ia berjalan. Aku
mengikuti mereka.
Di luar, aku ternganga. Sebuah benda berbentuk bulat seperti
yang pernah aku lihat dalam film-film buatan Amerika. Istriku memandangku. Dengan
terisak-isak ia berkata:
“Aku harus kembali ke tempat asalku. Cahaya bulan purnama
yang mengenaiku akan mengirim sinyal ke tempat asalku. Karena itu, aku mencoba
menghindar setiap bulan purnama. Aku tidak mau berpisah denganmu. Kali ini aku
tidak bisa menghindar. Aku harus pergi.”