12.5.17

Wife from Universe



                Istriku cantik sekali. Matanya selalu bersinar. Aku cinta mati padanya. Begitu pun dirinya. Aku jatuh cinta pada pandangan pertama. Ketika aku bertemu dengannya di depan toko roti dekat rumah.

Pada hari ke-3611 pernikahan kami, istriku kembali berpesan padaku. Pesan yang selalu diulang setiap bulan. Jangan biarkan cahaya bulan masuk rumah jika purnama tiba, begitu pesannya.
                “Kenapa begitu?”  Tanyaku saat aku melamarnya.
                “Aku akan menerima lamaranmu dengan dua syarat. Syarat pertama: Jangan buka tirai jendela jika purnama tiba. Kedua, jangan tanya alasannya,” jawabnya.
Aku heran tapi aku diam saja.     
                “Baiklah. Aku menerimanya,” ujarku. Cintaku buta. Aku kalah oleh persyaratan tak masuk akalnnya.
                Menikahlah aku dengannya. Demi cintaku padanya. Sebelum malam tiba, kami akan menutup tirai jendela rapat-rapat. Istriku memiliki kalender yang ia tandai setiap bulan purnama. Pada saat purnama, ia tidak pernah mau kuajak ke luar rumah. Padahal, aku berharap kami duduk-duduk di luar sambil memandang bulan dan bintang. Namun, sampai usia pernikahan yang menginjak hampir 10 tahun, harapanku tak pernah terwujud.                                            
                Hari ini ia pulang cepat dari tempat kerjanya.
                “Aku mau selesaikan pekerjaan kantor di rumah,” begitu katanya ketika aku membukakan pintu. Hari ini aku tidak masuk kerja. Aku flu berat. Malam ini malam purnama. Jika hari kerja, istriku akan pulang cepat. Ia akan memilih untuk membawa pulang kerjaannya. Aku sempat berpikir, apakah istriku seorang manusia srigala?
                “Sudah makan?” Tanya istriku.
                “Belum.”
                “Aku siapkan makan dulu ya. Sesudah itu makan obatnya.”
Aku menurut. Sesudah makan obat, aku mengantuk sekali. Sayup-sayup aku dengar istriku berkata. Entah apa. Aku tertidur tak lama kemudian.
                 “AAAAAAAA!”
Aku terbangun dengan kaget mendengar teriakan istriku.
                 “Ada apa.. ada apa?” Aku bergegas bangun dan mendekati istriku. Istriku ketakutan. Ia menutup wajahnya.
                 “Itu bulan purnama.” Istriku berkata. Ia masih menutup wajahnya.
Sontak aku melihat ke arah jendela. Kami lupa menutup tirainya. Aku tertidur. Istriku di kamar kerjanya. Kami benar-benar lupa. Sekarang bulan purnama. Aku cepat-cepat menutup tirai jendela. Istriku mulai terisak-isak.
                 “Sudah terlambat,” katanya lirih.
Aku tidak mengerti apa maksudnya.
                 “Sudah terlambat,” katanya lagi. “Cahaya bulan sudah mengenaiku,” katanya lagi.
                 Aku semakin tidak mengerti. Tiba-tiba, aku melihat cahaya terang di halaman rumah. Ada suara berdesing pelan. Tangis istriku semakin keras. Aku semakin tidak mengerti. Aku guncang-guncang tubuhnya. Aku peluk dirinya. Aku tanya,
                 ”Mengapa? Mengapa?” 
Istriku tidak menjawab. Hanya tangisnya semakin keras. Tiba-tiba aku mendengar pintu diketuk. Aku terdiam. Begitu juga istriku. Mukanya terlihat sedih sekali.
                “Jangan,” kata istriku lirih. “Jangan buka pintunya.”
Aku menurut. Hampir saja aku berdiri kalau saja aku tak mendengar istriku.
Ketukan di pintu masih terdengar. Aku diam saja. Istriku juga. Tiba-tiba, pintu rumah terbuka sendiri. Aku terpana. Istriku juga. Tangis istriku semakin keras. Ia memelukku erat. Aku semakin tidak mengerti. Sesosok tubuh mendekati kami. Wajahnya tampan. Ia bicara kepada istriku. Bahasa yang aneh. Aku heran ketika istriku menjawab sosok itu dengan bahasa yang sama. Bahasa yang sama sekali tidak kumengerti. Istriku berdiri. Ia masih berpegang kepadaku. Aku ikut berdiri. Istriku menggandengku keluar. Isaknya masih terdengar. Sosok itu berjalan ke luar diikuti istriku. Istriku menggenggam tanganku. Ia berjalan. Aku mengikuti mereka.
                  Di luar, aku ternganga. Sebuah benda berbentuk bulat seperti yang pernah aku lihat dalam film-film buatan Amerika. Istriku memandangku. Dengan terisak-isak ia berkata:
                 “Aku harus kembali ke tempat asalku. Cahaya bulan purnama yang mengenaiku akan mengirim sinyal ke tempat asalku. Karena itu, aku mencoba menghindar setiap bulan purnama. Aku tidak mau berpisah denganmu. Kali ini aku tidak bisa menghindar. Aku harus pergi.”

Perlahan-lahan, istriku melepas genggamannya. Lidahku kelu. Kakiku berat. Istriku dan sosok yang menjemputnya berjalan ke arah benda yang aku namakan pesawat luar angkasa. Mereka masuk. Pesawat berdesing, mengeluarkan cahaya, dan mengangkasa perlahan.  Lama-lama semakin jauh membawa istriku. Entah ke mana. Hanya satu yang kuingat. Cerita tentang bidadari yang melarang suaminya melihat ke dalam tempat ia menanak nasi. Sampai pada suatu hari, suaminya sangat penasaran. Ia pun mengintip ke dalam tempat nasi. Sang suami kaget. Hanya ada sebutir beras di dalamnya. Sejak itu, sang bidadari tidak pernah lagi bisa menanak nasi dengan sebutir beras. Saat ini aku merasa, aku seperti suami bidadari itu.