31.12.17

Nomor Besar Atau Nomor Kecil?

Saya penyuka kereta api. Nggak fanatik dengan selalu beli tiket dengan kursi eksekutif, bisnis, atau ekonomi. Apapun yang penting sesuai dana yang dimiliki. Dengan kemajuan yang terjadi, saat ini, PT Kereta Api Indonesia-pun mengalami perubahan. Mutu atau mati. Ungkapan yang cocok untuk layanan jasa apapun. 

Perubahan baru yang diusung PT KAI juga membuat penyesuaian dalam penyediaan gebong eksekutif, bisnis, dan ekonomi. Contohnya, saya naik kereta Cirebon Ekspres dari Cirebon ke Jakarta. Pilihannya hanya dua, eksekutif atau ekonomi. Berhubung saya pesan dalam waktu yang agak-agak (biasa) mepet, harga tiket eksekutif dan ekonomi yang ramah kantong (saya) sudah habis. Akhirnya saya pilih ekonomi.

Gerbong ekonomi sudah bukan lagi gerbong dengan kursi yang tak nyaman, sumpek, banyak pedagang. Dengan aturan baru, pedagang asongan yang dilarang masuk ke dalam stasiun membuat nyaman penumpang. Ditambah lagi, sekarang kursi kereta ekonomi-pun cukup nyaman. Jarak antar kursi masih sempit. Kalau sama lebarnya dengan gerbong bisnis atau eksekutif, ga ada bedanya dong, hehehe.. Tapi ini ga terlalu masalah. Toh kaki saya gak panjang. Lutut saya masih bisa masuk dan masih ada jarak dengan kursi depan. Akan jadi tidak nyaman kalau penumpangnya berperawakan besar atau berkaki panjang. 


Colokan listrik. Salah satu benda yang dicari-cari di zaman sekarang tersedia di setiap lajur kursi. 

Gerbong ekonomi yang sekarang bentuknya berhadapan di tengah (no. 11 dan 12). Nomor 1-10 mengikuti arah kursi no.11 dan nomor kursi sesudah 12 mengikuti arah no.12. Ketika saya memilih nomor yang berlawanan arah dengan arah laju kereta, disitu saya merasa seperti menentang hukum alam (halah..lebay). Ga apa-apa sih. Tapi buat saya nggak enak rasanya. Masalahnya adalah... saya SELALU LUPA...mana kursi yang searah dengan laju kereta. Berusaha diingat-ingat, tapi pada saat memesan lagi, saya lupa. Berusaha dicatat, saat mau mesan, catatannya entah di mana. Di mana saya mencatat saja lupa. Akhirnya saya browsing dan mengikuti apa yang tertulis di salah satu blog. Katanya, kalau tujuan kita arah timur, pilihlah nomor kecil dan sebaliknya, kalau tujuan kita arah barat, pilihlah nomor besar. Karena saya mau ke Jakarta yang itu berarti ke arah barat dari Cirebon, saya pilih no. 14A. A letaknya di pinggir jendela (tempat duduk favorit saya adalah dekat jendela)..Dan benaarrrr. Thanks to the blogger. Saya merasa bukan seperti undur-undur yang berjalan mundur, 😆😆 Have a nice trip******


Akhirnya saya memilih mencatat di blog. Supaya lain kali saya memesan kursi di gerbong ekonomi, saya ingat di mana catatan saya. 

30.12.17

Ke Jepang, Naik Apa?

Jelas, naik pesawat lebih efektif dan efisien. Kalau naik kapal laut, pasti lama nyampenya. Kalau naik mobil, pasti butuh pesawat atau kapal laut juga untuk bawa mobilnya. Kalau bawa mobil naik pesawat, kok rasanya repot amat ya. Ah sudahlah. Dua kali ke Jepang, pastinya dapat tiket pesawat murah.

2015
Jakarta - Osaka
Perjalanan pertama, dari Bandara International Soekarno-Hatta, Jakarta, kami (saya pergi dengan seorang teman) naik AirAsia. Dari Jakarta, kami transit di Kuala Lumpur International Airport 2 (KLIA2), Malaysia. Sampai di KLIA sekitar jam 11-an kalau nggak salah. Jadi makan siang di sana. Kalau bawa bekal, makan aja bekalnya. Kalau makan siang di airport, jangan lupa bawa ringgit. Kalau tahan sama lapar, bisa beli makan di pesawat. Tapi sebaiknya jangan nggak makan. Soalnya sampai Kansai International Airport di Osaka malam hari. Kalau nggak makan, alhasil kelaparan dengan amat sangat. Kecuali memang niat nggak makan (tapi mending jaga kesehatan). 

KLIA2, Kuala Lumpur, Malaysia

Oh iya, karena transit, jadi begitu turun pesawat, carilah petugas bandara untuk melaporkan bahwa kita transit dan akan melanjutkan perjalanan ke Kansai International Airport, Osaka. 

Beberapa jam kemudian, kami terbang di sekitaran jam 3 sore. Di pesawat, untuk minum dan makan, harus beli. Silakan pesan makanan dan minuman kalau lapar dan haus (jika tidak membawa persediaan makanan). Kalau minuman, mungkin tidak akan bisa lolos atau pemeriksaan. Mau nggak mau harus beli di pesawat kalau ingin minum.

Tokyo – Jakarta
Pulang ke Jakarta, kami naik Philippine Airlines dari Haneda Airport, Tokyo. Dapat tiket promo. Naik Philippine Airlines, saya juga transit di Ninoy Aquino International Airport, Manila. Turun pesawat, penumpang yang transit akan diarahkan untuk ke bagian transit dan menunggu perjalanan berikutnya. Kami kemudian naik Philippine Airlines menuju Bandara Soekarno- Hatta, Jakarta.

Ninoy Aquino International Airport, Manila - Filipina
Soal makanan dan minuman, penumpang  terjamin dengan baik. Dari Haneda, Tokyo ke bandara Ninoy Aquino, Manila, kami mendapat makan dan minum. Dari Manila ke Jakarta, kami juga dapat makan lagi. Kalau perjalanan malam, siap-siap saja dibangunkan untuk diberi makan.

2017
Jakarta – Kansai International Airport
Dari Jakarta, saya dan beberapa teman seperjalanan naik Garuda Indonesia jam 5 sore. Beruntungnya kami, tiketnya promo pergi - pulang. Kami transit di Ngurah Rai International Airport, Bali. Sampai di Bali kurang lebih jam 8 malam waktu setempat. Turun pesawat, petugas sudah berjaga-jaga untuk memberitahu arah bagi penumpang yang transit.

Kami menunggu sampai tengah malam, baru kami terbang ke Osaka. Untuk urusan makan, tidak perlu dikhawatirkan. Dari Jakarta – Bali, Bali- Osaka, pramugari pesawat lalu lalang menawarkan makanan dan minuman.



Kansai International Airport - Jakarta
Dari Kansai ke Jakarta, kami mengambil penerbangan langsung. Jadi tidak transit dulu ke Bali. Saat kami pulang, Bandara Ngurah Rai Bali sedang ditutup karena meletusnya Gunung Batur. Keadaan ini membuat meja check in penuh dan mengantri panjang karena penerbangan ke Bali dialihkan ke Jakarta. Tak ayal lagi, penerbangan ke Jakarta penuh. Berhubung kami sudah memesan tiket pulang pergi, kami aman sampai di Jakarta. Masalah makanan, tidak perlu khawatir. Urusan perut terjamin tanpa perlu bayar lagi.


Jadi, 
1. Jika ingin bepergian jauh, paling asyik memang cari tiket promo. Ada rasa puas (dan bangga) kalau dapat tiket promo. Untuk itu, harus rajin-rajin browsing atau cari info tentang kapan ada acara-acara jual tiket promo. Kami dapat promo Garuda waktu Garuda Fair. Tiket promo belum tentu urusan makan tidak terjamin. Ada kok, penerbangan-penerbangan yang menyediakan makanan meskipun kita bayar murah. 

2. Kalau kita beli tiket promo pergi-pulang, maka tiket pergi harus terpakai. Jika tidak terpakai, akan dianggap hangus sehingga tiket pulang tidak bisa digunakan. Jadi, harus beli tiket baru lagi untuk pulangnya. Misal, saya beli tiket promo pergi - pulang dari Jakarta - Kansai, Kansai - Jakarta. Tapi karena saya ada urusan mendadak ke Malaysia, saya berangkat dari Kuala Lumpur, bukan Jakarta. Nah, kalau begini, tiket saya hangus Saya tidak bisa memakai tiket pulang saya. 

Saya tidak tahu apakah ini hanya berlaku bagi semua maskapai atau hanya untuk Garuda Indonesia saja. Sebaiknya tanyakan dulu jika kalian membeli tiket promo pergi - pulang. Jangan sampai baru tahu saat di bandara. 

3. Intinya, pelajari baik-baik sebelum memilih penerbangan mana yang mau kita ambil sehingga kita tidak kecewa.   

4. Kalau transit, jangan lupa, carilah bagian transit untuk laporan sebelum perjalanan berikutnya.


Selamat bepergian. Enjoy your life! Enjoy your trip. 

29.12.17

Musim Gugur, Romantic Season yang Tak Romantis


Aku duduk di bawah pohon maple. Mengagumi momiji yang seakan tersenyum dan berkata,”Pandanglah aku sepuasnya!” Kenapa Tuhan menciptakan begitu banyak keindahan di sekelilingku? Tak henti-hentinya aku bersyukur. Tak bosan-bosannya aku memandang dedaunan berbagai warna. Tak puas-puasnya aku mengagumi keindahan ini. Thanks, God! Momiji ini setidaknya dapat memberikan kesegaran jiwaku yang mulai limbung. Aku memang berniat menghilangkan segala kegalauan yang kurasakan di tanah air dengan berlibur ke sini. Dinginnya udara tidak membuatku untuk segera berpindah. Biarlah! Kapan lagi aku bisa merasakan udara dingin seperti ini? Aku mempererat syal yang melingkari leherku. Kehangatan menjalar seketika.

Dari dulu, aku bercita-cita bisa mengunjungi Jepang pada saat musim gugur. Vina, teman seperjalananku  yang sekarang sedang mencari teh hangat di vending machine, ingin pergi di musim semi. Kami memang partner dalam beberapa kali perjalanan. Hanya berdua. Kami tidak pernah mengikuti tur. Membatasi kebebasan kami dalam menentukan keinginan menurut kami. Dengan kata lain, kami tidak mau diatur. Duduk manis menikmati perjalanan dengan pemandu kami anggap kurang menantang. Kami ingin mengatur diri kami sendiri. Mempelajari peta dan kesasar adalah bumbu yang mewarnai perjalanan kami. Di situlah asyiknya. 

Aku tidak mau pergi di musim semi. Aku bilang pada Vina, pergi di musim gugur, atau kita pergi sendiri-sendiri. Akhirnya Vina mengalah. Toh, kalau melihat reaksinya, aku menyimpulkan kalau ia cukup ...bukan, bahkan sangat puas. Aku pengagum musim gugur, tapi dia berteriak lebih kencang dari aku ketika pertama kali melihat pohon ginko. Aku yang bersikeras pergi di musim gugur, tapi ia yang paling sering minta difoto di berbagai taman dengan latar belakang momiji. Cih!

Ke mana Vina? Kenapa ia lama sekali pikirku. Sebentar lagi malam. Kuil ini akan tutup. Penjaga kuil biasanya akan berkeliling dan ‘mengusir’ pengunjung yang belum juga keluar. Sambil menunggu Vina, aku keluarkan ponsel dari saku. Kukagumi foto-foto berbagai tempat yang sudah kami kunjungi selama di Jepang. Sampai pada satu foto berhenti. Kekaguman yang kurasakan berubah menjadi kejengkelan. Sialan! Kenapa foto ini belum aku hapus? Rasanya aku sudah menghapus semua foto Adelio. Ya, Tuhan, kenapa rasa bahagia ini harus sedikit rusak karena Adelio? Lelaki pengecut yang membuat aku ‘kabur’ ke negeri ini? Cepat-cepat aku hapus dengan kejengkelan luar biasa. Tidak, aku tidak mau rasa senang ini berganti dengan kejengkelan. Aku kembali melihat foto-foto dan mengaguminya. Pelan-pelan senyumku kembali mengembang.

Tiba-tiba, suasana berubah menjadi teduh. Sosok di depanku menghalangi sinar matahari yang sebentar lagi akan lenyap. Ah... Vina sudah datang rupanya.
“Lama bener, Vin. Nyangkut di mana?” 
Aku  mendongak hendak menatap Vina. Yang berada di depanku bukan Vina. Tapi sesosok tinggi kekar dengan wajah gelap karena sinar matahari berada di belakangnya. Pelan-pelan, pandanganku mulai jelas. Ia bukan Vina.

“Halo, Karla! Apa kabar?” Sosok itu tersenyum. Aku sebaliknya. Senyumku memudar. Ponsel yang kupegang hampir terlepas. Tuhan, kenapa kau hadirkan kembali sosok masa lalu yang sudah aku lupakan dengan susah payah? Kenapa ia tiba-tiba ada saat aku juga ingin mengenyahkan Adelio dari hidupku? Tuhan, Kau memang sutradara ulung. Tak bisa aku melawanmu. Kenapa Kau pertemukan kami di sini? Tempat yang dulu menjadi incaran kami berdua untuk berlibur?

Sosok itu masih tersenyum. Senyumnya masih memikat. Karismanya masih terasa lekat. Aku tak kuasa memandang wajahnya. Kualihkan pandangan. Di kejauhan, kuil Kinkakuji berdiri kokoh seakan berkata,”Pandangilah aku sepuasnya! Kalian pergi jauh-jauh ke sini untuk melihat aku, kan?”

Rasanya aku seperti mendengar lagu Mantan Terindahnya Raisa mengalun di telingaku. Semacam lagu pengiring musim gugur yang katanya romantic season. Di mana romantisnya ketika aku masih berkubang dengan masa lalu?

Vina...mana Vina? Aku butuh pengalih perhatian!

*******
Momiji: Perubahan warna pada daun pohon saat musim gugur.
Vending machine: mesin otomatis yang menyediakan barang-barang seperti berbagai snack, minuman, atau beberapa benda lainnya dengan memasukkan uang koin pada mesin sesuai harga yang tertera. 
Ginko: sejenis pohon berdaun kuning terang saat musim gugur.

11.8.17

Mungkin Kau Jodohku

Setiap kali masuk ke ruangan ini, aku langsung menuju pojok di dekat lemari buku fiksi. Sepertinya pojokan itu adalah kutub selatan magnet, dan aku kutub utaranya. Temanku sampai heran. Jangankan temanku, aku sendiri begitu. Semacam ada dorongan entah dari mana. Aku masuk, mencari buku, menuju pojokan itu, dan membaca. Selalu begitu. Sudah dua tahun berlalu sejak aku mengenal perpustakaan ini.
Hari ini adalah hari kesekian aku berlaku sama. Aku mencari buku untuk kubaca (dan akhirnya akan kupinjam), lalu pergi ke pojokan favoritku. Sial! Ada yang sedang berada di sana. Agak kecewa. Tapi, tak mungkin aku menyuruhnya pergi. Aku beringsut mendekati pojok. Duduk di dekat pojokan itu dan berharap. Aku berharap orang itu segera pergi. Lima menit, sepuluh, lima belas menit aku berkali-kali menengok ke arah itu. Masih ada. Aku kembali kecewa. Namun, aku tak jua punya keinginan mencari pojok lain untuk membaca. Dua puluh menit kemudian orang di pojokan itu pergi. Aku tersenyum (walau bersorak dalam hati). Akhirnya. Aku menuju pojokan itu. Ada buku di sana. Mungkin milik orang yang tadi duduk di sini. Aku buka bukunya.  “Mungkin kau jodohku”. Tulisan pada pembatas buku yang ada di dalam buku yang kutemukan. Dih...gombal. Aku bukan tipe perempuan romantis yang berbunga-bunga oleh rayuan kata. Aku letakkan buku itu dan lanjut membaca.
                                                       ***
Hari ini aku berencana pergi ke perpustakaan lagi. Bis yang menuju ke arah perpustakaan belum datang. Halte sepi. Ada buku di bangku halte. Aku membukanya. Rasanya aku pernah melihat buku itu. Tapi di mana? Kubuka buku itu. “Mungkin kau jodohku”. Tulisan itu lagi. Pembatas buku yang sama. Mungkinkah ini buku yang kutemukan di perpustakaan? Aku masih mengingat-ingat buku yang itu ketika terdengar suara bis mendekat. Kuletakkan buku itu di bangku halte. Aku berjalan cepat menuju bis yang baru datang.
                                                       ***

Perpustakaan hari ini sepi. Aku langsung menuju pojokan favoritku. Aha! Kosong. Kukeluarkan buku dan kubaca. Tinggal sedikit lagi. Aku akan baca sekarang dan meminjam yang lain. Tiba-tiba, seorang lelaki duduk di depanku. Aku terus membaca. Tamat! Aku tersenyum. Akhir cerita yang bagus. Kututup buku yang baru selesai kubaca. Tak sengaja aku menatap ke depan. Aku terperangah. Bukan pada lelaki di depanku. Tapi pada buku yang ia baca. Buku yang sama dengan yang tadi kutemukan di halte bus (dan di sini, di pojok perpustakaan ini). Aku masih terperangah ketika lelaki di depanku mengangkat mukanya dan menatapku dan tersenyum. Aku semakin terperangah. Lelaki yang tampan dengan senyum menghanyutkan. “Mungkin kau jodohku”. Aku teringat kata-kata pada pembatas buku dalam buku yang ia pegang. Refleks kutatap jari-jarinya. Tak ada cincin di sana! 

12.5.17

Wife from Universe



                Istriku cantik sekali. Matanya selalu bersinar. Aku cinta mati padanya. Begitu pun dirinya. Aku jatuh cinta pada pandangan pertama. Ketika aku bertemu dengannya di depan toko roti dekat rumah.

Pada hari ke-3611 pernikahan kami, istriku kembali berpesan padaku. Pesan yang selalu diulang setiap bulan. Jangan biarkan cahaya bulan masuk rumah jika purnama tiba, begitu pesannya.
                “Kenapa begitu?”  Tanyaku saat aku melamarnya.
                “Aku akan menerima lamaranmu dengan dua syarat. Syarat pertama: Jangan buka tirai jendela jika purnama tiba. Kedua, jangan tanya alasannya,” jawabnya.
Aku heran tapi aku diam saja.     
                “Baiklah. Aku menerimanya,” ujarku. Cintaku buta. Aku kalah oleh persyaratan tak masuk akalnnya.
                Menikahlah aku dengannya. Demi cintaku padanya. Sebelum malam tiba, kami akan menutup tirai jendela rapat-rapat. Istriku memiliki kalender yang ia tandai setiap bulan purnama. Pada saat purnama, ia tidak pernah mau kuajak ke luar rumah. Padahal, aku berharap kami duduk-duduk di luar sambil memandang bulan dan bintang. Namun, sampai usia pernikahan yang menginjak hampir 10 tahun, harapanku tak pernah terwujud.                                            
                Hari ini ia pulang cepat dari tempat kerjanya.
                “Aku mau selesaikan pekerjaan kantor di rumah,” begitu katanya ketika aku membukakan pintu. Hari ini aku tidak masuk kerja. Aku flu berat. Malam ini malam purnama. Jika hari kerja, istriku akan pulang cepat. Ia akan memilih untuk membawa pulang kerjaannya. Aku sempat berpikir, apakah istriku seorang manusia srigala?
                “Sudah makan?” Tanya istriku.
                “Belum.”
                “Aku siapkan makan dulu ya. Sesudah itu makan obatnya.”
Aku menurut. Sesudah makan obat, aku mengantuk sekali. Sayup-sayup aku dengar istriku berkata. Entah apa. Aku tertidur tak lama kemudian.
                 “AAAAAAAA!”
Aku terbangun dengan kaget mendengar teriakan istriku.
                 “Ada apa.. ada apa?” Aku bergegas bangun dan mendekati istriku. Istriku ketakutan. Ia menutup wajahnya.
                 “Itu bulan purnama.” Istriku berkata. Ia masih menutup wajahnya.
Sontak aku melihat ke arah jendela. Kami lupa menutup tirainya. Aku tertidur. Istriku di kamar kerjanya. Kami benar-benar lupa. Sekarang bulan purnama. Aku cepat-cepat menutup tirai jendela. Istriku mulai terisak-isak.
                 “Sudah terlambat,” katanya lirih.
Aku tidak mengerti apa maksudnya.
                 “Sudah terlambat,” katanya lagi. “Cahaya bulan sudah mengenaiku,” katanya lagi.
                 Aku semakin tidak mengerti. Tiba-tiba, aku melihat cahaya terang di halaman rumah. Ada suara berdesing pelan. Tangis istriku semakin keras. Aku semakin tidak mengerti. Aku guncang-guncang tubuhnya. Aku peluk dirinya. Aku tanya,
                 ”Mengapa? Mengapa?” 
Istriku tidak menjawab. Hanya tangisnya semakin keras. Tiba-tiba aku mendengar pintu diketuk. Aku terdiam. Begitu juga istriku. Mukanya terlihat sedih sekali.
                “Jangan,” kata istriku lirih. “Jangan buka pintunya.”
Aku menurut. Hampir saja aku berdiri kalau saja aku tak mendengar istriku.
Ketukan di pintu masih terdengar. Aku diam saja. Istriku juga. Tiba-tiba, pintu rumah terbuka sendiri. Aku terpana. Istriku juga. Tangis istriku semakin keras. Ia memelukku erat. Aku semakin tidak mengerti. Sesosok tubuh mendekati kami. Wajahnya tampan. Ia bicara kepada istriku. Bahasa yang aneh. Aku heran ketika istriku menjawab sosok itu dengan bahasa yang sama. Bahasa yang sama sekali tidak kumengerti. Istriku berdiri. Ia masih berpegang kepadaku. Aku ikut berdiri. Istriku menggandengku keluar. Isaknya masih terdengar. Sosok itu berjalan ke luar diikuti istriku. Istriku menggenggam tanganku. Ia berjalan. Aku mengikuti mereka.
                  Di luar, aku ternganga. Sebuah benda berbentuk bulat seperti yang pernah aku lihat dalam film-film buatan Amerika. Istriku memandangku. Dengan terisak-isak ia berkata:
                 “Aku harus kembali ke tempat asalku. Cahaya bulan purnama yang mengenaiku akan mengirim sinyal ke tempat asalku. Karena itu, aku mencoba menghindar setiap bulan purnama. Aku tidak mau berpisah denganmu. Kali ini aku tidak bisa menghindar. Aku harus pergi.”

Perlahan-lahan, istriku melepas genggamannya. Lidahku kelu. Kakiku berat. Istriku dan sosok yang menjemputnya berjalan ke arah benda yang aku namakan pesawat luar angkasa. Mereka masuk. Pesawat berdesing, mengeluarkan cahaya, dan mengangkasa perlahan.  Lama-lama semakin jauh membawa istriku. Entah ke mana. Hanya satu yang kuingat. Cerita tentang bidadari yang melarang suaminya melihat ke dalam tempat ia menanak nasi. Sampai pada suatu hari, suaminya sangat penasaran. Ia pun mengintip ke dalam tempat nasi. Sang suami kaget. Hanya ada sebutir beras di dalamnya. Sejak itu, sang bidadari tidak pernah lagi bisa menanak nasi dengan sebutir beras. Saat ini aku merasa, aku seperti suami bidadari itu.