Masa sulit bertahun lamanya yang aku alami
karena kehilangan yang datang bertubi membuat hati dan segala rasa menjadi
kering. Aku tak ingat lagi bagaimana memaknai bahagia. Aku bahkan lupa
bagaimana cara tertawa. Entah aku yang mau lupa atau memang aku sengaja tak
ingin bahagia. Meratapi nasib yang terjadi pun tak ada arti. Hidup terus
berlari bahkan ketika aku tak dapat berdiri. Hidup tak mau menunggu meski aku
memohon dengan tertatih.
Ya! Hidup tak mau menunggu. Aku sudah
memohon. Aku meratap. Aku berteriak! Bahkan aku sudah mulai kehilangan
kekuatanku untuk menegakkan kedua kakiku. Orang bilang, aku sampai pada jam
ke-11. Betul! Jam ke-11, suatu masa di mana aku sudah merasa putus asa dengan
apa yang terjadi dengan diriku. Sampai suatu ketika, angin berhembus pelan membisikkan
setitik harapan. Aku terdiam. Mencoba mencerna, apakah ini benar-benar terjadi? Karena tak akan ada hal yang abadi di dunia
ini. Begitu pun rasa pahit akan selalu ada penawarnya. Kesedihan akan berganti
kebahagiaan. Duka akan berganti suka. Kuingat-ingat kembali rasa bahagia yang
dulu pernah menghinggapi, nyatanya aku masih dapat tersenyum di antara ingatan. Mestinya aku tak boleh begini. Bagaimana
dengan Rani yang selalu menjadi penghibur diri? Dia selalu bisa membuatku
tersenyum kembali. Membawakan aura bahagia disetiap celoteh riangnya. Harusnya
aku memikirkannya, bukan malah menangisi kehilangan ini.
Rani. Dialah setitik harapan yang dihembuskan
angin. Aku ingat sekarang. Rani dengan wajah lucunya, binar matanya, harum khas
rambutnya, sedikit demi sedikit mulai mengikis rasa kehilangan ini. Aura
bahagia tersebar tanpa bermaksud menebarkan. Nuansa riang setiap dia ada, mulai
mengganti ratapan menjadi titik-titik senyuman. Aku mulai menjejak bumi.
Mengumpulkan titik-titik senyum menjadi sebongkah kecil tawa. Aku mulai
mengingat bagaimana bentuk tawa. Aku mulai sadar bagaimana caranya tertawa.
Rani yang mengubah diriku tanpa aku sadari.
Ah, Rani putri kecilku yang cantik. Engkaulah
malaikat kecil yang dititipkan Tuhan untuk mengobati rasa sakit ini. Engkaulah
sesungguhnya sumber bahagia yang menjadikan tawa selalu ada. Tuhan memberiku
anugerah dan mukjizat yang tiada tara dalam diri putri kecilku ini. Tawa
renyahnya menghangatkan jiwa yang dulu dingin dan beku. Inilah yang
sebenar-benarnya aku rindu. Tawa riang dan hangat dari putri kecilku.
Rani, terima kasih karena sudah mengenalkanku
lagi pada arti kebahagiaan. Aku bahagia memilikimu. Aku sayang padamu, Rani.
Selamanya.
Kolaborasi @Jo_iin & @i_lestari_pm
Ternyata tokoh di sini Rani juga namanya
ReplyDeleteTapi di sini dia masih kecil :D
iya. mungkin yang hari ini kita bikin cerita gedenya, hahaha
ReplyDeletejumat nanti ya mbak lanjutin kisah rani setelah ketemu sama pak alex, sesuai tema hari itu tentunya :D
ReplyDelete