27.2.13

Anomali Ala(r)m

Malam hari.
Aku ambil telepon genggamku. Telepon genggam yang masih menggunakan keypad untuk mengoperasikannya. Sudah ketinggalan jaman. Namun masih berfungsi dengan baik. Sangat baik bahkan. Aku belum tergerak untuk membeli yang baru. Tidak punya uang? Bukan! Aku menghargai sejuta kenangan yang kumiliki selama aku menggunakannya. Kenangan itu tak bisa dibeli dengan uang bukan? Hoammm!!! Aku ngantuk. Telepon genggam sudah kupegang. Aku menyetel alarm-nya. Jam 5.00. Aku harus bangun pagi. Besok ada meeting penting. Jika aku terlambat, habis sudah kesempatanku. Jam 6.30 aku harus sudah pergi. Terlambat sedikit saja, kemacetan akan menyapaku. Selesai menyetel alarm dengan snooze 10 kali, aku tidur.

Zzzzzzzzzzz....

Kukuruyuk! Kukuruyuk! Suara kokok ayam membangunku. Aku ingat hari ini ada meeting. Oh, Tuhan! Kenapa alarm tidak berbunyi? Aku cepat-cepat bangun. Kubuka jendela kamarku. Brrr! Udara dingin langsung menyerbu begitu jendela aku buka. Aku tidak melihat matahari. Aku hanya melihat warna hitam. Gelap gulita! Aku bingung. Segera kututup lagi jendela kamarku. Aku ambil telepon genggamku. Jam 3.00 pagi. Aku mengerutkan keningku. Kenapa ayam sudah berkokok? Yang benar saja, pukul 3 pagi? Ah, sudahlah tak ingin kupikirkan tentang anomali alam ini. Atau lebih tepatnya anomali alarm? Ya sudahlah! Ok, ini artinya aku masih punya 2 jam lagi untuk melanjutkan tidurku. Ok bantal,....aku datang lagi!!!!!

Zzzzzzzzzzzzzzzzzzzzzzzzzzz.......... 

Tak sulit membawa badanku untuk tidur lagi. 

Zzzzzzzzzzzzzzzzzzzzzzzzzzzzzzzzzzzzzzzzzzzzzz............

Haduh, kok udara kian terasa panas, ya! Kugaruk-garuk kepalaku dan menendang guling agar sedikit terbebas dari udara yang terasa panas. Akhirnya karena penasaran mengapa pagi ini begitu panas, kubuka juga mataku. Kyaaaaaaaaaaaaa, gile udah terang aja di luar. Huaa, ada apa ini? Dengan sigap kubuka jendela kamarku. Dan begitu kulihat matahari, dengan kesigapan yang lebih aku langsung menuju ke kamar mandi. Waduh tak berani aku membayangkan ini sudah pukul berapa. Aku cuci muka, gosok gigi, dan berpakaian dengan secepat kilat. Aku menyabet celana dan kemeja yang gampang kuraih dari lemari, tak lupa menyabet juga dasi yang ada di gantungan baju. Set...set....set....

Aku berlari ke luar dari kamarku dan mengendarai motorku dengan kecepatan tinggi. Huft, aku masih belum bisa membayangkan pukul berapa ini. Yang ada di pikiranku hanya aku seharusnya sudah berada di ruang meeting secepatnya. Lega! Aku sudah sampai pelataran parkir. Tentunya dengan langkah seribu aku pun berlari menuju lift dan menekan tombol lantai 17. Pintu lift pun terbuka. Masih dengan berlari aku langsung menuju ke ruang meeting. Ha? Ada apa lagi ini? Mengapa ruang meeting ini gelap gulita? Ada apa ini? Badanku masih mematung tak mengerti di dalam ruang meeting. Gelap!! Ada apa ini? Kegelapan yang tidak kupahami dan seribu 'ada apa?' menghantuiku.

Aku akhirnya melihat jam tangan. 6.21. Hah? Jam berapa tadi aku berangkat? Masih dengan kebingungan yang amat sangat aku duduk di salah satu kursi. Aku flashback. Mencoba menjadi Conan sang detektif. Melakukan reka ulang di dalam pikiran. Di dalam gedung: sepi, tidak ada yang lalu-lalang kecuali satpam di pintu masuk. Di pelataran parkir: motor kuparkir di tempat favorit semua orang, di bawah kanopi, menyelamatkan motor dari air hujan. Aku jarang mendapatkan kesempatan itu. Kecuali hari ini. Di jalan raya: tak ada kemacetan. Kalau aku terlambat, aku pasti terjebak macet. Tapi tadi jalanan lengang. Di rumah: Pintu masih terkunci. Kalau aku terlambat, pintu pasti tidak akan terkunci. Adikku sekolah pagi. Ia berangkat jam 6 setiap hari. Aku semakin bingung. Kutatap lagi jam tanganku. 6.28. Kulayangkan pandanganku. Ruangan ini gelap sekali. Ada apa ini? Ruangan ini ada di sisi gedung berjendelakan kaca lebar yang menghadap matahari pagi. Kenapa gelap sekali? Aku semakin tak mengerti.

Hmm, pikirku pun melayang mengingat kembali kegelapan yang tak kupahami. 5 menit, 10 menit, 15 menit, satu jam...tak seorangpun yang datang. Ok, aku menyerah. Aku berdiri dan bersandar pada pintu. Aw, apa ini? Apa lagi ini? Kepalaku tiba-tiba sakit tak tertahankan. Rasanya tak pernah kurasakan sakit kepala sehebat ini. 

     "AAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAGH!!!!!"

Aku berteriak tak kuasa menahan sakit. Aku berusaha untuk keluar ruangan dan mencari pertolongan. Namun sakit yang tak tertahankan ini menahan kakiku untuk bergerak. Sekujur tubuhku susah untuk digerakkan. Aku tanpa daya. Aku hanya bisa berteriak, dalam kesakitan. Kegelapan ruangan kini bertambah gelap lagi karena kini pandanganku pun terasa gelap. Gelap, hitam, dan aku pun tak ingat apa yang menimpaku selanjutnya. Yang terakhir kuingat hanya gelap dan hitam, juga masih dalam ketidakmengertian.

**********************************

Kubuka mataku. Samar-samar aku melihat sosok berambut sebahu. Ia mendekatkan diri padaku. Memandang aku. Pandanganku semakin jelas. Aku kenal dengan wajah itu. Ibuku. Aku mengedarkan pandanganku. Ruangan serba putih. Ibuku memanggil-manggil aku. Ia kemudian memencet tombol di samping tempat tidurku. Seorang lelaki dan seorang perempuan datang tergopoh-gopoh mendatangiku. Lelaki itu memeriksa denyut nadiku, membuka mataku, dan memeriksa dadaku dengan stetoskop. Ia berbicara dengan ibuku lalu meninggalkan ruangan ini. Aku masih tidak mengerti. Di mana aku? Ini bukan kamarku. Ruangan ini bau obat. 

Aku pandang ibuku. Ia tersenyum lembut sambil mengelus rambutku. Matanya berkaca-kaca.

     "Nak, akhirnya kau sadar." 

Aku mendengarnya berbicara.  Aku ingin bertanya, "Kenapa aku di sini?" tapi aku tak sepatahpun kata keluar dari mulutku. Ibuku masih menatapku. Aku mengerahkan tenagaku untuk berbicara. Tetap tak ada suara. Ibu menangkap gerak bibirku. Sambil menggenggam tanganku, ia berkata, "Nak, kamu pingsan. Sudah 5 hari. Adikmu menemukanmu dalam keadaan tidak sadar di kamarmu." Aku bingung. Tak mengerti. 5 hari? Pingsan? Malam hari? Lalu suara kokok ayam itu? Udara dingin? Matahari? Pelataran parkir? Ruang meeting? Sakit kepalaku? Aku semakin bingung. Pandanganku mengabur. Suara ibuku yang memanggil-manggil namaku semakin samar kudengar. Perlahan-lahan aku merasakan kegelapan. Aku masih mendengar sayup-sayup ibuku berteriak memanggil dokter. Aku semakin jauh. Aku tidak bisa melihat apa-apa. Semua gelap, dan aku masih tidak mengerti. ***

Iin & Dhika
(Di malam yang gelap)

1 comment: