Jam
13.05.
Aku
melompat turun dari bis. Udara panas menyengat langsung menyambutku. Sungguh sangat
berbeda. Beberapa detik yang lalu aku masih menikmati udara dingin di dalam bis
patas ber-AC. Aku menyingkir menghindari motor, mobil, dan beca yang melewati
aku. Sejenak aku melayangkan pandangan di sekitarku. Aku mencari tempat yang
agak lowong untuk menata tas bawaanku. Debu dan aroma karbondioksida menambah
panas udara di sekelilingku.
Usai merapikan
penampilanku, aku kembali ke pinggir jalan, melihat ke kanan dan ke kiri,
menunggu beberapa mobil dan motor melintas di depanku. Setelah jalanan agak
lengang dan hanya ada satu mobil yang berjalan pelan dari kejauhan, aku mulai
menyebrangi jalan dengan hati-hati. Aku sampai di depan sebuah gedung yang
terlihat sepi dengan sebuah pintu kaca gelap di tengahnya. Tapi kaca itu tidak
sepenuhnya gelap, aku masih mampu melihat seorang satpam yang siap sedia
membukakan pintu jika ada orang yang mendekat ke pintu kaca itu.
Tidak, tidak! Aku
tidak boleh masuk ke sana. Alam sadarku menepis keinginan hatiku. Kakiku yang
sudah mulai melangkah mendekati pintu kaca tiba-tiba terhenti. Aku bimbang.
Masuk-tidak-masuk-tidak. Aku terpaku. Menimbang-nimbang antara melangkah atau
berbalik arah. Selintas ingatan masa lalu muncul. Aku dengan blazer gelap
melangkah anggun memasuki gedung itu setiap pagi. Menyapa orang-orang yang aku
temui dan memasuki ruangan asri beraroma wangi.
Tapi sebelum
aku sempat merampungkan pergolakan antara pahitnya kenangan yang terlintas di
benakku dengan keinginanku untuk menyelesaikan masalah yang beberapa hari ini
menggangguku, Mas Tejo, satpam yang sejak tadi sudah memperhatikanku,
membukakan pintu.
"Selamat siang, Mbak Rani," dia menyapaku dengan
senyum ramah.
"Ayo masuk dulu, Mbak, cuaca di luar panas banget,"
lanjutnya.
Aku hanya tersenyum seadanya, lalu melengos masuk melewati Mas Tejo. Sedetik kemudian aku sudah berada di tempat yang sebenarnya tidak asing bagiku, tapi siang ini aku begitu canggung berada di sini. Aku duduk di lobby. Kuedarkan pandangan di sekeliling ruangan yang dulu sangat akrab denganku. Berhentikah pergolakan batinku? Damaikah jiwaku berada di ruangan ini. Ya. Aku merasa damai ketika aku melihat lukisan air terjun di dinding berwarna biru di sebelah kananku. Aku merasa damai ketika gemericik air terdengar dari air mancur di dalam ruangan ini. Ya, aku merasa damai ketika alunan musik instrumental menggaung di sekeliling ruangan ini. Tapi itu dulu. Saat ini, jiwaku tak tenang. Kedamaian yang kurasakan dua tahun lalu menguap seperti air terkena panas matahari di luar sana.
Dari tempatku,
aku melihat Pak Alex menuruni tangga di sudut kanan ruangan ini, dia kelihatan
buru-buru. Melihat Pak Alex yang makin dekat, Mas Tejo dengan sigap membukakan
pintu sambil melayangkan senyum yang persis seperti senyumnya kepadaku tadi.
Mungkin sudut bibirnya sudah terbiasa dengan senyuman seperti itu setiap hari,
sudah menjadi tuntutan pekerjaannya. Aku menghela nafas. Aku lebih tenang karena Pak Alex tidak
melihatku. Ya, dialah awal dari semua masalahku. Semuanya sempurna sebelum
dia menjadi atasanku. Dan dia bukanlah tipe atasan yang aku harapkan, tapi dia
benar-benar sosok lelaki yang aku idamkan.
Tuntutan pekerjaan
membuat kami bertemu. Berdiskusi, bertukar pikiran, bersilang pendapat, berbeda
arah. Aku benci setengah mati ketika kami harus berkolaborasi untuk membuat
keputusan. Aku benci kalau harus berdebat dengannya. Hari berganti hari.
Kesibukan kami berdua menangani klien yang berbeda kemudian membuat kami jarang
bertemu. Aku bukannya senang bisa terbebas dari dirinya. Aku rindu berdebat dengannya.
Aku rindu melihat senyumnya. Aku rindu dia. Rasa sukaku terlalu besar sehingga
aku sulit membendungnya. Tidak bisa! Ini tidak boleh terjadi. Tidak mungkin aku
bersamanya. Perbedaan kami terlalu jauh untuk disatukan. Aku memilih pergi. Untuk
mengikis rasa yang semakin membuncah.
Damaikah hatiku dengan keputusanku untuk pergi? Aku berusaha keras untuk
mengalihkannya. Hingga suatu ketika, panggilan dari kantor ini memaksaku untuk
datang. Hatiku yang berangsur-angsur damai kembali bergolak. Tidak bisa tidak. Mantan
sekretarisku mengatakan kalau aku harus datang. Tapi aku tidak siap untuk
bertemu Pak Alex. Bagaimana kalau kami bertemu? Apa yang harus kukatakan? Dan di
sinilah aku sekarang. Helaan nafasku membuatku sedikit tenang ketika Pak Alex
melewatiku tanpa melihatku. Aku memejamkan mata, mengatur napasku, berusaha
mengumpulkan ketenangan lebih banyak. Setelah kupikir aku sudah cukup tenang,
aku membuka mataku.
“Apa kabar, Rani? Sudah lama sekali kita tidak bertemu.”
Suara yang selalu membuat jiwaku tunggang-langgang menyapaku dengan tenang.
Tuhan! Ketenangan dan kedamaian yang susah payah kuhimpun lenyap seketika. Pak
Alex ada di depanku. Senyum manis menghias wajah tampannya.Tuhan! Apa yang
harus kulakukan?
@Jo_iin & @poetrazaman ( putrazaman.tumblr.com )
No comments:
Post a Comment