2.3.13

Perjanjian di Meja Makan

Matahari terbit. Aku lahir saat matahari terbit. Kata ibuku, semburat jingganya memasuki kisi-kisi jendela ruang persalinan saat tangis pertamaku memekakkan telinga dan membahagiakan semua yang menunggu cemas di samping tempat tidur persalinan. "Matahari terbit adalah pertanda baik, karena saat Sang Surya menggeliat bangun dari lelapnya, seorang manusia lahir dan bersenandung melalui tangisan," begitu mendiang ibu berkata padaku sewaktu umurku masih lima.

Mungkin memang begitu adanya. Tetapi saat ini, matahari terbit menandakan deret tanggal yang kucoret satu persatu di kalender untuk menandai sudah hari keberapa menjelang pernikahan ayah dengan Tante Suci, ibu dari Bram, lelaki yang sudah delapan tahun ini kucintai dalam diam. Lelaki yang dengannyalah aku bisa tertawa dalam hujan, meskipun sesudahnya aku akan demam. Tapi Bram akan datang menjenguk karena rumahnya hanya beberapa langkah dari rumahku. Dia akan menceritakan hal-hal jenaka sehingga demamku seperti sembuh seketika. Aku turut berbahagia untuk ayah, tapi juga merasa tidak sanggup menerima kenyataan bahwa aku harus membunuh perasaan ini kepada Bram. Ah, biarlah, toh Bram tidak pernah tahu rahasia yang kusimpan dengan baik di kotak yang kukunci di palung hati.

Kadangkala pikiran-pikiran itu berkelebat di dalam pikiranku. Entah itu memang tulus dari relung hatiku, atau hanya sekedar defense mechanism -pertahanan diri yang kubangun- untuk mencari pembenaran terhadap yang terjadi saat ini. Aku memang tidak pernah bercerita pada siapa pun tentang Bram. Tidak juga pada ayah, orang yang paling dekat denganku selama ini. Kebahagiaan ayah adalah kebahagiaanku. Begitulah pikirku.

Namun, ternyata apa yang kupikirkan tak mudah untuk dilakukan. Mencoba untuk memandang Bram dari sudut pandang yang lain ternyata tak semudah memilih sepatu atau baju yang cocok. Mengubah persepsi dari 'sosok yang selama ini kuharapkan mendampingi hidupku menjadi kakak selama sisa hidupku' sungguh tak pernah kupikirkan sebelumnya. Bagaimana nanti kalau kami sudah hidup serumah sebagai 'kakak-adik'? Ada rasa perih setiap kali aku mengingat itu. Tapi aku berusaha kembali menguatkan diriku. Kebahagiaan ayah adalah kebahagiaanku.

***
Hari ini Bram main ke rumah, ia mengajakku untuk menontonnya bertanding sepak bola di kampus siang nanti. Jika Bram mengajakku menonton keahliannya menggocek bola, itu artinya sepulang pertandingan akan ada acara mampir di kedai es krim kesukaannya tak jauh dari rumah kami. Biasanya jika sedang lelah, Bram akan mengajakku berlama-lama ngobrol ngalor ngidul hingga senja.

Ingin rasanya menjadi saksi kehebatan Bram mengoper si benda bundar itu, tapi hari ini aku harus mulai membiasakan memberi sehasta jarak di hati kami. Aku tidak akan sanggup jika harus melakukannya sambil menatap mata bundarnya lama-lama dan menyesap banana shake di kedai es krim langganan kami. Tidak bisa. Pertahanan diriku pasti akan luluh-lantak dengan mudahnya.

Bram merasa aneh dengan penolakanku. Beda dari biasanya. Biasanya aku tidak pernah berkata, "Tidak." jika ia mengajakku. Kali ini, aku memberikan berjuta alasan agar aku tidak ikut dengannya. Bram heran. Tapi, ia tidak bertanya lebih lanjut. Mungkin karena sebentar lagi ia harus ada di lapangan sepak bola. Ia pun akhirnya pergi dengan wajah bertanya-tanya. Ayah yang melihat kami kemudian berkata kepadaku. 

"Tumben," kata Ayah. "Biasanya kamu selalu ikut kalau Bram mengajakmu pergi," kata ayah lagi. 

"Aku capek, Yah. Lagi pula banyak PR." Begitu aku menjawab pertanyaan ayah. Aku pun pamit ke kamar. 

Bagaimana kalau mamanya dan ayah sudah menikah? Akankah dia tinggal di sini? Atau aku yang tinggal di rumahnya? Aku dan ayah memang belum membicarakan hal ini. Bagaimana kalau aku dan Bram serumah? Bukankah secara fisik jarak kami begitu dekat? Apa yang akan kulakukan? Aku pusing. Aku bingung. Terbayang senyuman Bram yang serasa memberiku kehangatan. Apa yang akan kulakukan? Berkali-kali pertanyaan ini terngiang-ngiang di benakku.

***
"Kirana, nanti malam kita makan bersama Bram dan Tante Suci, yah. Tante Suci sudah menyiapkan masakan kesukaanmu, gulai kepala ikan." ucap ayah pagi itu sambil membangunkanku di hari Minggu.

"Iya Yah." jawabku singkat. Aku melihat kalender. Lima hari. Hanya lima hari lagi. Dadaku dipenuhi udara yang menghimpit. Sepertinya terjadi demonstrasi besar-besaran di wilayah hati. Aku harus bagaimana?

***
Malam itu aku mengenakan mini dress hadiah ulang tahun dari ibu. Gaun berbahan sifon yang melambai searah dengan muara udara malam itu. Ada satu tekad dalam hatiku untuk membebaskan diri dari rasa yang menyiksa hati. Aku mesti bicara pada Bram.

Aku tidak ingin membiarkan perasaan ini terpendam tanpa pernah diketahui keberadaannya. Bukannya aku hendak mengacaukan pernikahan ayah dan Tante Suci. Aku sudah berpikir dan menimbang-nimbang. Aku akan meneruskan hidup dengan kejujuran yang kukuliti hingga inti terdalam.

Lalu biarlah, hubunganku dengan Bram menjadi sebeku salju. Aku terima. Setidaknya aku dapat merelakan perasaanku, apapun konsekuensi yang disandangnya. Aku mau ayah bahagia, dan aku mau belajar untuk menerima.

Dan di sinilah aku sekarang. Di ruang makan rumah Bram. Selama makan, aku berusaha untuk bersikap 'biasa saja'. Padahal, aku sekuat tenaga menjaga mataku agar tidak terus menerus mencuri pandang ke arah Bram. Aku menimpali obrolan Tante Suci, Bram, dan ayah. Sungguh! Kalau aku ikut pemilihan aktris berbakat, aku yakin aku pemenangnya. Aku sama sekali tidak menampakkan bebanku agar terlihat 'normal'. Padahal, kau tahu? Makanan yang kutelan seakan-akan batu berukuran besar sehingga aku merasa susah menelannya. 

Makan malam akhirnya selesai. Ayah berbincang-bincang dengan kami sebentar. Ia mengajakku pamit. Tapi aku bilang aku masih mau mengobrol dengan Bram. Ayah pun pulang lebih dahulu. Mama Bram sudah masuk ke dalam rumah. Aku dan Bram berbicara di depan rumah. Kursi taman ini mungkin sudah bosan dengan aku yang sering sekali mendudukinya. Aku menguatkan diri, meyakinkan diri. Aku ingat, tadi pagi matahari bersinar cerah. Beberapa hari sebelumnya, pagi hari selalu mendung. Semoga matahari membawa pertanda baik untukku. Aku mereka-reka kata-kata. Bram mengamatiku. Sekilas aku tatap matanya. Ada rasa hangat membungkus hatiku. Baiklah. Aku siap. Kutatap Bram dengan segenap keberanian yang kukumpulkan sejak tadi siang. 

"Bram.. Aku mau bicara." tetiba tenggorokanku rasanya seperti tercekat batu kali. Aku menelan ludah sambil memantapkan hati. Aku harus melanjutkan misi ini.

"Apa sih, Na! Kayak ke siapa aja. Eh, Na, tumben, yah, langit malam ini banyak bintangnya. Kemarin mendung terus." Bram menimpaliku sambil menatapku geli.

"Tapi Bram, aku harus bicara.. hmm.. gimana yah memulainya? Ah, pokoknya selama ini kamu gak pernah merasa ada yang aneh dengan udara sekitar kita, ya, tiap kali kita bersama? Hmm... Masalahnya aku.. aku merasa, hmm.. sepertinya aku sayang sama kamu Bram."

"Aku juga sayang kamu, Na, sayang banget. Kamu gak sadar, tiap hari untuk apa aku bela-belain ngantar kamu pulang naik sepeda padahal kamu berat banget?" Argh! Bram malah bercanda! Menyebalkan!

"Ya sudah, ya, Bram, sudah malam, aku pulang aja. Lagian Ayah pasti udah nunggu." jawabku ketus.

"Eeehh.. Kirana! Sebentar. Iya, deh, iya. Aku serius kali ini. Jangan ngambek, dong.. Hehe.. Sini kuberitahu sebuah rahasia." 

Kini giliran aku yang memandangnya dengan muka penasaran, "Apa? Kasih tau aku!"

"Iya, aku sadar kamu beda akhir-akhir ini. Aku juga bisa merasa. Seandainya kamu tak bicara pun aku sadar kok, Na. Seperti ada kembang api, yah, saat kita bertemu. Tapi kamu tahu sendiri ibuku dan ayahmu akan segera menikah. Kebahagiaan mereka lebih penting. Biarlah kita mengalah dan menanti saat yang tepat untuk saling melangkah. Siapa tahu kamu akan ketemu ksatria yang bisa memasakkan brownies kukus seenak buatan ibumu." 

Mereka membisu. Tergugu dalam biru.

***
Di kejauhan, tanpa mereka sadari percakapan mereka tak sengaja terbawa angin ke telinga Tante Suci. Penantian, sebuah kata yang mampu menyedot semua perhatian karena rasa yang belum bisa tersampaikan. Apa ia tega? melihat anak laki-lakinya membumihanguskan rasa?

Apa yang harus kulakukan? Tante Suci membatin sambil memandang kedua insan di taman. berbagai hal berlarian di benaknya. Bram adalah jiwaku. Kebahagiaannya adalah kebahagiaanku. Selama ini, dialah yang menjadi kekuatan batinku, semangatku, oborku, mesinku, hingga aku bisa bertahan sampai sekarang. Sejak papanya yang tidak bertanggung jawab meninggalkan kami. Karena Bram aku bisa bertahan. Tidak ada hal lain di dunia ini yang mampu mengalahkan diriku selain Bram. Tidak juga ayah Kiranan. Kirana. Perempuan dengan senyum manis itu selalu berada di dekat Bram. Aku melihat kebahagiaan bersinar dalam diri Bram setiap kali ia bersama Kirana. Hal itulah yang membuatku merasa bahwa Kirana dan Bram adalah dua jiwa yang saling menguatkan. Aku sudah menganggap Kirana seperti anakku sendiri. Bodohnya aku! Mengapa aku tidak melihat betapa mereka saling membutuhkan dan mendukung satu sama lain? Ibu macam apa aku ini? Apakah aku tega melihat Bram dan Kirana terluka demi kepentinganku? Kebagiaan Bram adalah kebahagiaanku. Dan Bram bahagia bersama Kirana. Apa yang akan kulakukan hampir saja membuat mereka terluka. 

Lima hari ke depan. Keputusan ada di tangannya. Bram atau pernikahannya. Penantian baginya berarti melangsungkan pernikahan itu, menjadi ibu untuk Kirana dan menghadirkan ayah untuk Bram. Sementara itu, bagi Bram dan Kirana, lima hari ke depan adalah penantian mereka terhadap pemakaman rasa cinta yang tak dapat terealisasi. Keputusan harus diambil. Tante Suci masuk. Ia menuju meja telepon, mengambil gagangnya, meletakkannya di telinga kiri, dan menekan angka-angka. Ia diam. Menunggu jawaban dari ujung sana. Keputusannya sudah bulat.

***
Kirana membuka pintu rumah. Ia mengucapkan salam pada Bram yang mengantarnya dan kemudian masuk ke dalam rumah. Ia mengunci pintu. Pintu terkunci, begitu pula hatinya. Kirana melangkah menuju kamarnya. Ia melihat ayahnya sedang berbicara di telepon. Kirana berhenti sejenak. Melambaikan tangan pada ayahnya. Namun, ayahnya tidak melihat. Ayahnya terdiam dengan mata menerawang. Atau berpikir? Entahlah. Sepertinya, ayah sedang menerima telepon penting. Siapa sih, malam-malam begini telpon? Kirana bertanya-tanya dalam hati. Ia masuk kamar. Sang ayah masih terlibat pembicaraan dengan lawan bicaranya. 

***
Esok hari, di sore yang hangat.
Ayah, Kirana, Tante Suci, dan Bram bertemu di meja makan rumah Bram. Mereka membicarakan keputusan. Seakan ruang sidang pengadilan. Ada hakim yang akan memutuskan. Tanpa jaksa penuntut, terdakwa, saksi, atau pengacara. Pernikahan ayah Kirana dan ibunda Bram berakhir di sebuah perundingan. Perundingan di meja makan. Sebuah pertunangan! Bukan! Bukan untuk generasi sebelumnya. Tapi untuk Bram dan Kirana. Ayah kirana menyadari, kesepian tak mungkin membunuhnya. Namun kehilangan senyum di wajah putri satu-satunya berarti kiamat. Ayahnya tak sanggup kehilangan putrinya. Begitu pula Tante Suci. Ia tidak sanggup melihat Bram kehilangan harapan. Kini mereka saling menatap dalam diam, tanpa bermaksud memandang. Masing-masing dengan pikiran yang yang berlarian dalam benak mereka. Keputusan sudah ditentukan. Di atas meja makan. Kehangatan serta-merta menyelimuti mereka.

***
Tuhan mengedip di singgasana-Nya. Penantian keempat manusia itu dilebur dalam satu skenario. Tuhan-lah Sang Maha Sutradara.

***** 

Kolaborasi panjang antara Iin dan Ayu (@nengayuu), dari dua tempat dan waktu yang berbeda.

No comments:

Post a Comment