16.8.13

Tombol Pengingat

Aku berniat untuk lari pagi di taman ini. Taman yang hanya kulewati di pagi dan malam hari jika ke kantor dan sebaliknya.  Kesibukan di kantor memaksaku pergi pagi pulang malam. Banyak yang harus kuurus karena kepindahanku ke kota ini baru seminggu yang lalu. Jadi, baru kali ini aku datangi taman ini. Taman yang rindang dan cukup banyak orang berlalu lalang atau berolah raga.

Aku masuk ke dalam taman itu. Sejuknya udara membuat banyak orang yang menikmati duduk-duduk di bangku taman. Aku belum mulai berlari. Rasanya ingin kunikmati sejuknya udara pagi ini dengan berjalan kaki. Mungkin juga karena sekarang hari Sabtu sehingga orang lebih banyak yang datang ke taman ini. 

Setengah taman sudah kulewati. Tiba-tiba aku melihat seorang perempuan sedang duduk di bangku sebelah kolam. Aku amati perempuan itu. Aneh, apakah perempuan itu gila? Mengapa ia senyum-senyum sendiri? Oh..mungkin ia sedang berbicara di telepon, pikirku. Tapi, tidak ada earphone yang menggantung di telinganya.Perempuan itu tidak pernah sekali pun menghilangkan senyum di wajahnya. Tunggu, rasanya wajah perempuan itu tidak asing buatku. Kalau dia gila, sayang sekali. Wajahnya manis, senyumnya indah, matanya berbinar-binar. Ah.. tapi itu kan hanya dugaanku saja.  Aku semakin penasaran dengan perempuan itu. Apa sih yang menyebabkan dia tersenyum seperti itu?

Kulayangkan pandanganku mengikuti pandangannya. Sepatu! Ia mengamati sepasang sepatu. Mata berbinar-binar itu begitu cerita menatap sepatu yang dipakainya. Apakah itu sepatu baru? Rasanya bukan. Sepatu itu sudah jelek. Banyak sobek di sana-sini. Warnanya sudah luntur. Tunggu! Sepatu itu....

Kuarahkan pandangan dari kaki perempuan itu ke kakiku. Aku tertegun. Sepatu yang dipakainya sama dengan sepatu yang kupakai. Sepatu yang kubeli sewaktu aku menjadi murid baru di kota Garut. Aku memaksa Iliana, teman sebangku yang kemudian menjadi sahabatku untuk memilih sepatu yang sama. Walaupun ia bersikeras menolak ajakanku, aku terus memaksa dan akhirnya ia menyerah. Sepatu itu, sepatu yang sama dengan yang kupakai. Sama jeleknya sekarang. Mungkin ia juga sering memakainya sama sepertiku.

Kulangkahkan kakiku mendekati perempuan itu. Aku berdiri di depannya. Ketika aku sampai di depan perempuan itu, senyumnya perlahan memudar. Pandangannya berpindah-pindah dari sepatunya, sepatuku, dan terakhir adalah wajahku. Ia kaget melihatku. Entah apa yang dipikirkannya. Aku tersenyum padanya.

     "Iliana, kan?" Aku menyebut namanya
     "Niko?"
     "Hai, apa kabar?" 
     "Kamu kemana aja, menghilang di telan bumi."

Aku ikut duduk di sampingnya. Kekagetannya sudah mulai berkurang. Senyumnya sekarang berkembang. Kami saling tersenyum, bertanya kabar, cerita ke sana-kemari.

     "Kenapa kamu begitu yakin kalau aku Iliana? Mungkin saja, kan, aku hanya mirip Iliana." Iliana bertanya padaku.
     "Sepatu kita sama. Sama warnanya, hanya ukuran yang berbeda. Tidak bisa dibilang sama persis sebenarnya, karena ada satu perbedaan yang membuat aku yakin kalau kamu adalah Iliana."

Iliana mengernyitkan dahinya. Mungkin ia bingung dengan apa yang kukatakan.

     "Apa itu? Model sepatu kita sama. Apa yang berbeda?" Iliana berbicara dengan nada penasaran.
     "Kamu lihat bagian depan sepatumu? Itu bedanya."

Iliana mengamati sepatunya. Ia lalu mengamati sepatuku.

     "Bulatan-bulatan itu, ya?" Iliana bertanya dengan nada ragu.
     "Ya, bulatan-bulatan seperti tombol itu. Bulatan itulah yang mengingatkanku bahwa itu pasti sepatumu."
     "Aku bahkan tidak tahu." Kata Iliana.

Aku tersenyum. 

     "Ya, ternyata bulatan itu adalah tombol pengingat kalau kamu adalah Iliana. Ngomong-ngomong, kenapa kamu masih memakai sepatu itu? Sudah jelek."
     "Lho, kamu juga. Kenapa kamu masih memakai sepatu itu? Sama jeleknya."
     "Aku kangen dengan pemilik sepatu kembaran sepatu ini." Jawabku sambil tersenyum.

Iliana tampak kaget mendengar jawabanku. Aku mengatakan yang sejujurnya. Aku memang kangen dengan Iliana. Apakah ia sekarang sudah memiliki pasangan sehingga ia kaget mendengar perkataanku? Entahlah, aku tidak tahu. Pembicaraan kami belum sampai pada hal-hal pribadi kami berdua.

Aku menunggu Iliana berkata sesuatu, namun tampaknya ia tidak berniat untuk berbicara. Iliana masih diam setelah mendengar ucapanku. Tiba-tiba, seorang anak kira-kira berumur 6 tahun datang menghampiriku dan menarik-narik tanganku.

     "Pa, ayo pulang! Katanya mau main lego. Sekarang, yuk!"
     "Kevin, sabar, dong. Oh ya, kenalkan, ini teman Papa. Namanya Tante Iliana.Iliana, ini Kevin."

Aku mengenalkan Kevin pada Iliana. Kevin dan Iliana bersalaman. Kuperhatikan wajah Iliana. Aku tidak menyadari ternyata senyum Iliana sudah hilang. Ekspresi kaget tergambar jelas di wajahnya. 

#cerita 24jam hari ke-2

No comments:

Post a Comment