16.8.13

Lima Menit Kemudian

Sambungan dari cerita Sepasang Sepatu Tua dan Tombol Pengingat
                                                       
                                                           ***
Orang yang berdiri menjulang di depanku adalah Niko. Betul! Niko. Ia memakai sepatu yang sama denganku, hampir sama, karena ternyata Niko melihat adanya perbedaan. Bulatan di ujung sepatu yang seperti tombol yang mengingatkan Niko pada sepatuku. Dengan adanya Niko di depanku saja aku sudah sangat terkejut. Apalagi ketika ia mengatakan kalau ia kangen padaku. Rindu yang seperti apa? Bagaimana bisa begitu? Aku memang rindu padanya. Namun, seperti yang sudah kukatakan, aku tidak terlalu berharap bertemu dengannya. Sekarang, ketika ia di depanku, kejadian ini sungguh merupakan berkah yang amat sangat. Lebih dari apa yang kuharapkan. 

Kami saling bertukar kabar seperti layaknya teman yang sudah lama tidak berjumpa. Ya, kami memang sudah lama berpisah, kan? Perasaan gembira dengan kejadian tak terduga ini masih sangat terasa sampai lima menit kemudian aku seperti tertimpa batu besar. Kekagetan gembira berganti dengan kaget yang menghantam dada. 

Lima menit kemudian setelah kami saling bertukar kabar dan melepas tawa, datang seorang anak kecil mendatangi kami. 

     "Pa, ayo pulang! Katanya mau main lego. Sekarang, yuk!"
     "Kevin, sabar, dong. Oh ya, kenalkan, ini teman Papa. Namanya Tante Iliana.Iliana, ini Kevin."

Senyumku hilang seketika. Aku mengutuk diriku sendiri kenapa aku begitu ekspresif dalam menanggapi sesuatu. Tidak bisakah aku bersikap poker face, pura-pura cool meskipun sangat mengejutkan? Niko pasti merasakan perubahan raut mukaku karena aku menangkap sekilas perubahan di wajahnya juga. Aku memang bukan ahli membaca raut wajah seperti dalam film 'Lie To Me', tapi aku cukup peka terhadap hal itu.

     "Rumahku dekat sini, Iliana. Tadi aku bilang pada Kevin kalau mau lari pagi ke sini. Yuk, main ke rumahku!" Ajak Niko.
     "Di mana rumahmu?" Aku berusaha menjawab dengan nada 'biasa-biasa saja.'
     "Tuh.. ke kanan, lima rumah dari rumah pertama. Rumahmu juga pasti dekat sini."
     "Ehmm.. memang. Itu rumahku berlawanan arah dengan rumahmu. Nomor 25."
     "Pa, ayo, dong!" Kevin, anak kecil yang memanggil Niko dengan sebutan 'papa' kembali mengajak papanya.
     "Kev, Papa belum lari-lari, lho." Kata Niko
     "Lho, lalu dari tadi Papa, ke mana?" Tanya Kevin
     "Papa di sini, tapi Papa mengobrol dengan Tante Iliana. Kami teman lama. Baru bertemu. Jadi Papa lupa kalau Papa mau lari."
     "Ajak aja Tantenya ke rumah. Yuk, Tan! Main ke rumah." Kevin mengajakku.
     "Ehm.. Tante ingin sih, main ke rumah Kevin, tapi Tante sekarang harus pulang. Tante ada janji. Lain kali saja, ya." Aku menolak ajakan Kevin dan Niko dengan halus.
     "Benar, ya, lain kali harus main, lho. Ternyata kita bertetangga." Kata Niko
     "Iya, Tante. Main-main, ya, ke rumah. Biar Papa nggak kerja melulu. Kevin kan nggak punya teman kalau Papa kerja terus." Kevin ikut menimpali.
    "Iya, kapan-kapan, Tante main ke sana."
     "Eh, tunggu! Nomor ponsel." Niko membatalkan langkahnya dan kemudian mengeluarkan ponselnya. Ia memberikannya padaku dan memintaku mengetikkan nomor ponselku. Aku menuruti keinginannya, lalu memberikannnya pada Niko. Niko mengamati layar ponselnya. Ia menempelkan ponselnya ke telinganya. Terdengar nada dering ponselku.
     "Itu nomorku. Simpan, ya." Sesudah itu, ia pergi. Kevin melambaikan tangan padaku. Niko tersenyum. Aku membalasnya. 

Aku menghembuskan napasku. Apa ini? Tuhan, Engkau memang Maha Pembolak-balik hati. Baru saja aku merasa sangat gembira dengan pertemuan tak terduga ini. Lima menit kemudian, kejadian tak terduga juga muncul. Sangat kontras. Anak. Ternyata Niko sudah punya anak. Tuhan, walaupun aku tidak begitu berharap bertemu dengannya, ternyata cukup menyakitkan juga bahwa ia memiliki seseorang yang disebut 'anak'. 

Aku menatap sepatu yang kupakai. Kuperhatikan tombol pengingat (menurut Niko) di ujung sepatuku. Apakah saatnya sepatu ini pensiun? Kutatap jam tanganku. Sudah waktunya pulang. Aku mau mengantar Ibu belanja. Aku berdiri dan berjalan pulang. 

Lima menit kemudian aku sampai di rumah. Kulepas sepatuku dengan setengah hati. Ibu yang baru keluar dari dalam rumah mengamatiku.
     
     "Tumben kamu nggak semangat begitu buka sepatunya." Ibu mengomentariku. Tiada hari tanpa komentar Ibu itu seperti sayur tanpa garam. Hambar. "Kamu nggak sedang sakit, kan, Iliana?"  Ibu terdengar khawatir. 
     "Tidak, Bu. Aku sehat wal afiat. Bu, sepatu ini kalau mau Ibu buang, buang saja. Aku sudah ikhlas sekarang." 
     "Iliana, yakin kamu tidak apa-apa?" Ibu mendekatiku dan meraba keningku. "Normal."
     "Ibu, kan tadi aku sudah bilang, aku ini sehat." Berdebat dengan Ibu seperti memasak dengan takaran garam yang pas. Enak. Tidak berdebat dengan Ibu rasanya ada yang kurang.
     "Alhamdulillah. Akhirnya kau lepaskan juga sepatu butut itu. Ibu sudah sebal melihatnya. Semoga jodohmu datang setelah sepatu itu pergi, Nak."

Begitulah Ibu. Beliau akan memanggilku 'Nak' jika kemauannya kupenuhi atau sedang merajuk. Aku tersenyum melihat tingkah Ibuku. 

     "Sudah, sekarang kamu mandi, makan, lalu kita pergi belanja. Dandan yang cantik supaya banyak lelaki melirikmu."

Duh.. Ibu, memangnya aku ini pajangan, aku bersungut-sungut. Kuperhatikan sepatuku. Mungkin ini saat terakhir aku melihatmu. Sudah saatnya aku berpisah. Aku ikhlas, gumamku dalam hati. Kubawa sepatuku ke dalam rumah dan kuletakkan di rak sepatu. Serasa ada yang hilang dari hatiku.

                                                               ***

Malam ini aku malas menemani Ibu menonton televisi. Tadi, Ibu sempat heran karena hari ini aku terlihat seperti orang yang kehilangan semangat. Betul. Memang hari ini semangatku hilang diambil oleh kenyataan. Aku berada di puncak kebahagiaan dan terhempas hanya dalam waktu lima menit kemudian. Ingin rasanya kuhilangkan ingatan pagi tadi, namun, semakin kucoba menghilangkannya, aku malah semakin jelas menggambarkan kejadian tadi dalam benakku.

Jadi, Niko sudah mempunyai anak. Anaknya sudah cukup besar. Paling tidak TK besar atau awal SD. Seperti apakah istrinya? Tuk! Keketuk kepalaku dengan tanganku. Katanya tidak mau berharap banyak, Iliana. Tapi kenapa kau begitu terpengaruh oleh kejadian tadi pagi? Aku memarahi diriku sendiri. Enyahlah kau, pikiran tak jelas! Aku mengusir pikiran itu dari kepalaku. Tiba-tiba, ponselku berbunyi. Aku amati nama yang tertera di layar. Niko!

     "Halo!"
     "Halo, Iliana. Lagi apa?" Suara Niko yang empuk terdengar di seberang sana.
     "Lagi di rumah. Kenapa, Nik?"
     "Ehm.. Kalau kamu tidak ada kesibukan, main, yuk! Eh, tapi ini kan malam Minggu. Kamu tidak pergi ke mana-mana?"

Bagaimana, ini? Niko mengajak main. Apakah bersama istri dan anaknya juga? Aku pasti akan merasa tidak nyaman berada di antara mereka.

     "Halo! Iliana! Halo!"
     "Iya, aku masih di sini."
     "Bagaimana? Cuma aku dan Kevin saja, kok."

Lalu, apa istrinya tidak ikut?

     "Istrimu?"
     "Ha? Oh... tidak, tidak ada. Ayolah, Iliana. Aku kangen, nih. Atau kamu sedang menunggu pacarmu?"
     "Tidak."
     "Nah, kebetulan, kan? Aku sudah di depan rumahmu. Tak berpagar dan ada ayunan di depan rumah, kan? Ah.. kamu masih suka main ayunan rupanya. Sudah, ya."

Apa? Lalu hubungan terputus. Aku buru-buru menuju ke pintu depan. Pintu depan terbuka. Aku melongok ke teras. Niko, Kevin, dan Ayah sedang berbicara. Mereka sedang tertawa-tawa. Dan aku? Aku kebingungan. 

Iin
#cerpen 24jam, hari ke-3
     

No comments:

Post a Comment