15.8.13

Sepasang Sepatu Tua

               “Iliana, sepatumu itu sudah jelek. Kenapa masih kau pakai juga.” Ibu mengomentari sepatu kets yang sedang kupakai pagi itu.
                “Iya, Bu. Sudah tidak layak pakai, kan?” Aku menimpali komentar ibu sambil terus mengikat tali sepatu. Tali ini sudah berkali-kali kuganti. Hanya talinya saja yang kuganti. Sepatunya tidak. Sobekan di sana-sini semakin banyak menghiasi permukaan sepatu lamaku ini.
                “Tuh, kamu sendiri sudah tahu. Kenapa masih dipakai juga?”

                “Ibu, sepatu ini semakin tua semakin enak dipakai. Lentur. Iliana sudah beberapa kali membeli yang baru, tidak ada yang senyaman ini kalau dipakai. Iliana pergi dulu, ya, Bu.” Aku pamit pada Ibu untuk jogging di taman kompleks.

Ibu memang cerewet sekali tentang penampilan. Setiap kali melihatku memakai sepatu ini, bersih-bersih, atau hanya sekedar melewati rak sepatu, beliau akan berkomentar. Setiap kali itu pula aku mengabaikan komentar Ibu. Sebenarnya tidak hanya karena nyaman dipakai, nilai historisnya yang membuatku enggan untuk 'melepas' ke tempat sampah atau tukang loak. Jangankan dibuang, ada yang meminjam saja tidak kuizinkan. 

                                                               ***
                “Lari pagi lagi, Na?” Ibu bertanya padaku saat aku mengambil sepatu tuaku.
                “Iya, Bu. Mumpung libur dan masih pagi.” Aku duduk untuk memakai sepatu itu.
                “Na...” Ibu mengatakan sesuatu tapi aku langsung memotongnya.
                “Ibu mau berkomentar tentang sepatu ini, kan?”
     “Bukan. Ibu cuma mau bilang, kalau kamu memakai sepatu itu terus, mana ada lelaki yang tertarik padamu.”
      “Ah.. tetap tentang sepatu walaupun Ibu menyangkalnya. Kalau jodoh nggak akan ke mana, Bu. Bukan karena sepatu yang Iliana pakai. Dah, Ibu!”  Aku tersenyum dan mencium pipi Ibu. Ibu hanya menggelengkan kepala melihat tingkahku. 

                                                     ***
Aku berhenti di bangku taman setelah berkeliling dua putaran. Entah kenapa, hari ini aku merasa mudah sekali lelah. Tiba-tiba mataku tertumbuk pada sepatuku. Sepasang sepatu tua yang selalu 'kubela' kalau ada orang yang berusaha memisahkannya dariku. Ya, aku  masih belum rela untuk berpisah dengannya. Sepatu ini memberiku harapan. Hidupku jadi berwarna-warni. Semangat timbul jika kumengingat sepatu ini. Ingatanku melayang pada suatu waktu, awal kepemilikan sepatu ini. 

Adalah masa remaja dengan seragam abu-abu yang menorehkan sejarah pada sepatu ini. Dua belas tahun lalu. Saat itu, kelasku kedatangan anak baru dari Sulawesi. Seorang anak lelaki bernama Niko. Karena aku duduk sendiri, anak baru itu duduk di sebelahku. Sebagai teman sebangku, aku berusaha menjadi 'tuan rumah' yang baik. Kami berteman baik. Sampai suatu ketika, ia ingin membeli sepatu baru. Aku pun menemaninya. 

                "Na, lihat deh, beli satu gratis satu. Aku mau beli yang ini, kamu pilih buat kamu, ya. Jadi kita punya sepatu kembar," kata Niko saat itu. 
                "Enggak, ah. Buat kamu saja dua-duanya. Heran deh, biasanya cewek yang tergoda sale, kenapa kamu juga?"
                "Eh.. ya, nggak apa-apa, dong. Ayo, cepat pilih satu." 

Niko terus memaksaku memilih. Akhirnya aku pilih sepatu yang sama dengan Niko. Hanya beda ukuran. Niko sering memaksaku untuk memakai sepatu ini pada hari yang sama. Aku mengikutinya dengan terpaksa. Sebenarnya, aku tidak begitu suka dengan sepatu ini. Tapi, waktu itu, aku bosan dengan paksaan Niko agar aku memilih sepatu. Teman-teman di sekolah mulai ribut melihat kami berdua. Gosip kalau kami pacaran muncul. Tapi, aku dan Niko tenang-tenang saja. Kami merasa bahwa kami hanya bersahabat.

Orangtua Niko sering berpindah-pindah tempat kerja. Anehnya, sejak kami berpisah, aku jadi terus teringat padanya. Padahal, sebelum ia pindah, perasaan ini tidak pernah kualami. Kadang, perasaan ingin bertemu begitu membuncah sehingga aku meneleponnya. Kami berbicara panjang lebar seperti waktu kami masih sekolah. Niko pasti memberitahuku di mana alamat barunya. Sampai suatu, ketika ayahku pindah tugas dan aku menelponnya untuk mengabarinya, hanya nada sambung yang terdengar. Pernah ada yang mengangkat teleponku tapi ia tidak kenal dengan Niko yang kumaksudkan. Jadi, hubunganku dengan Niko hanya sampai di situ. Sepatu yang kami beli bersama-sama sering kupakai untuk memenuhi rasa rinduku. Apakah Niko juga rindu padaku? Pertanyaan itu sering muncul di kepalaku. Ketika kutanyakan pada teman-teman, mereka malah balik bertanya.

                 "Kamu, kan, yang paling dekat dengannya. Kenapa bertanya padaku?" 

Sudahlah. Toh aku tidak pernah berharap akan bertemu dia lagi. Aneh, kan? Aku rindu padanya tapi tak pernah berharap bertemu lagi. Kenapa? Karena kalau harapanku tidak tercapai, aku bisa kecewa. Jadi, aku sudah puas dengan memakai sepatu ini dan memandanginya. 'Orang aneh' begitu adikku mengataiku. Aku tak peduli. 

Suara ban meletus di jalan raya menyadarkanku dari ingatan terhadap Niko. Kupandangi lagi sepatuku. Aku tersenyum. Oke, sepatu. Ayo, kita pergi! Aku bersiap-siap akan bangkit dari bangku ketika sesosok tubuh menjulang di depanku. Pandanganku berpindah dari sepatuku ke sepatu di depanku. Sepatu yang sama denganku. Hanya ukurannya yang beda. Sepatu itu sama bututnya dengan sepatuku. Sobekan juga terlihat di sana-sini. Senyumku lenyap. Aku terkesiap. Pandanganku beralih dari sepatunya, sepatuku, dan perlahan-lahan kutatap wajahnya. Dia, orang yang kurindukan, orang yang membelikan sepatu ini, sekarang ada di depanku. Aku ternganga. Niko ada di depanku!

-Iin-  
#cerita24jam hari ke-1

No comments:

Post a Comment