24.8.13

Di angka 12

Sambungan dari #cerita24jam hari-7 'Potret Bunda'
#cerpen24jam hari ke-8
#bagian 8

****

     "Tidak pernah aku membayangkannya. Ternyata begitu." 

Keluar juga perkataan dari mulutku. Ibu datang dari luar. Aku tidak meneruskan perkataanku.

     "Diminum, Nak Niko!" 
     "Iya, Tante." 

Ibu masuk.

     "Jadi, jangan menuduh orang sembarangan. Mama Kevin bukan istriku meskipun Kevin memanggilku 'Papa'." 

Sambil mengangkat minuman, Niko berkata padaku. Aku mendelik padanya. 

Apa ini? Aku mendengar ada yang bernyanyi. Nyanyian hatikukah?

Ada rasa senang di dadaku ketika mendengar ternyata Niko masih belum beristri. 

Pacar? Mungkin saja dia punya pacar.

     "Tidak usah diulang juga aku masih ingat, Nik." Aku menimpali perkataan Niko dengan sebal.
     "Sekarang tidak usah marah-marah lagi padaku. Aku kesal melihat kau baik pada Kevin, tertawa-tawa bersama sedangkan aku kau acuhkan."
     "Kamu cemburu?" Aku bertanya pada Niko.
     "Iya. Kekanak-kanakan. Masa cemburu sama Kevin." 

Jujur sekali Niko, aku berkata dalam hati.

     "Ngomong-ngomong, kenapa kamu masih memakai sepatu itu?" Niko bertanya lagi.
     "Kamu juga kenapa masih memakai sepatu butut, itu?" Aku balik bertanya.
     "Aku sering kangen kamu. Kalau aku kangen kamu, aku pakai sepatu itu."
     "Sama." Malu-malu aku 'menyamakan' pendapat dengan Niko
     "Kenapa kangen aku?"
     "Kamu kan sahabatku. Memangnya tidak boleh kangen dengan sahabat?"
     "Hanya sahabat?" Tanya Niko lagi.
     "Maksud kamu?" Aku mulai dag dig dug setelah Niko bertanya seperti itu.
     "Setelah aku kita berpisah, aku merasakan hal lain. Aku merasa kekosongan dalam diriku. Awalnya aku tidak mengerti mengapa dan apa yang membuatku begitu. Ternyata, setelah kupikir-pikir, karena tidak ada kamu. Aku berusaha mencari-cari kamu tapi ternyata tidak berhasil."

Hatiku berdesir mendengar pengakuan Niko. 

     "Kupakai sepatu itu untuk memenuhi rasa kangenku. Mungkin karena dulu kita selalu bersama-sama sehingga aku tidak merasa apa yang sebenarnya kurasakan. " 

Niko melanjutkan pengakuannya. Nyanyian di hatiku semakin jelas.

     "Sekarang giliran kamu. Jawab pertanyaanku, kenapa kamu memakai sepatu itu?" 
     "Kan tadi aku sudah menjawabnya."
     "Jawab dengan kalimat panjang, dong, Iliana! Mana Iliana yang cerewet dan banyak omong yang sering membuatku tak tahan dengan ocehannya?"
     "Ehmm... Aku juga sering kangen denganmu. Tapi aku tidak pernah berharap bertemu kamu lagi." Aku menjawab dengan suara pelan.

Niko kaget mendengar jawabanku.

     "Kenapa, Iliana? Kamu tidak mau bertemu aku lagi?" Ada nada kecewa pada suaranya.
     "Tidak, tidak! Bukan begitu. Aku takut kalau aku berharap, aku akan kecewa karena harapanku tidak terkabul. Jadi, aku hanya bisa memakai sepatu yang kita beli bersama sebagai gantinya."
     "Kenapa tidak kau cari?"
     "Hey! Aku sudah mencarimu ke mana-mana. Suruh siapa pindah tidak bilang apa-apa."

Aku menjawab pertanyaannya dengan kesal. Menyebalkan.
     "Dan kamu kaget setelah melihat Kevin."
     "Iya."
     "Lalu kamu sekarang merasa senang karena ternyata aku masih sendiri."
     "...."
     "Aku melihat itu tadi. Ingat, mata dan wajahmu bicara."
     "Kamu terlalu percaya diri."
     "Jadi, sekarang kamu mau, kuajak pergi? Kita kencan."
     "Ge-er. Kamu tidak bertanya apakah aku punya pacar atau tidak?"
     "Kamu belum punya pacar, kan? Kalau kamu punya, kenapa malam minggu kamu di rumah saja. Ponselmu tidak berdering selama kita pergi tadi malam. Seorang yang memiliki pacar setidaknya akan ditelepon atau pesan singkat. Tapi kamu tidak."
     "Tadi malam aku tidak membawa ponsel."
     "Bohong. Kamu bohong."

Iya, aku bohong. 

Sampai kapan aku akan menyembunyikan perasaanku? Oh tidak, aku tidak menyembunyikan perasaanku. Pasti Niko dapat menangkapnya dari ekspresi wajah dan mataku. Aku hanya tidak mengatakan yang sebenarnya.

     "Yuk, kita pergi sekarang. Kita pakai sepatu butut itu, yuk!" 
     "Lho, kamu kan tidak memakainya?"
     "Ada di mobil."
     "Oke."

Aku melangkah dengan ringan ke dalam rumah. Hatiku berbunga-bunga. Kudekati rak sepatu. Mataku terbelalak. Sepatu itu tidak ada di sana.

     "Bu, sepatu kets-ku mana?" Aku bertanya pada Ibu
     "Sudah Ibu buang. Kebetulan tadi ada tukang loak waktu Ibu buang sampah. Kamu ini bagaimana, sih? Katanya ikhlas mau melepasnya. Ibu kan sudah bertanya lagi padamu."

Aku lemas. Ya, betul. Aku memang sudah meminta Ibu untuk membuangnya. Aku menemui Niko dengan lunglai. Niko menatapku heran.

     "Kenapa? Ada masalah apa?"

Ya, Niko memang selalu bisa melihat ada 'sesuatu' dengan hanya melihat wajahku.

     "Sepatu itu tidak ada. Ibu tadi memberikannya pada tukang loak sewaktu membuang sampah. Tadi, waktu Ibu menyapamu. Kemarin, sepulang dari taman, aku memang membolehkan Ibu membuangnya. Ibu sudah memintanya dari dulu karena menurut Ibu, sepatu itu sudah sangat jelek sekali. Maafkan aku." 

Ada rasa penyesalan di hatiku. Niko terdiam mendengar penjelasanku. Tiba-tiba, ia tertawa terbahak-bahak.
     
     "Hahaha.. kenapa kamu melepasnya setelah pulang dari taman? Kecewa karena menganggap aku punya istri dan anak?"

Aku diam saja. Ya, waktu itu aku marah dan kecewa. Aku berkata dalam hatiku.

     "Sudahlah. Lupakan saja sepatu itu. Kita beli sesuatu yang baru. Jangan sepatu, ya. Kita beli cincin saja. Kamu tidak mau pergi kalau aku tidak mengajak istriku. Nah, sekarang aku mau mengajak istriku, eh..calon istriku. Kamu! Kamu mau kan, sekarang?"

Entahlah, apa yang ada di hatiku sekarang. Rasanya dunia bernyanyi untukku. Tak sengaja aku melirik jam tanganku. Jarum panjang dan pendeknya tepat di angka dua belas. Betul. Tepat di angka dua belas. Entah ini pertanda atau kebetulan semata. Aku ingat perkataan Ibu tentang sepatu itu setelah aku mengikhlaskan sepatu tua itu untuk dibuang. 

Alhamdulillah. Akhirnya kau lepaskan juga sepatu butut itu. Ibu sudah sebal melihatnya. Semoga jodohmu datang setelah sepatu itu pergi, Nak.

Rasanya, dunia begitu bersahabat denganku. 

                                    Tamat

No comments:

Post a Comment