18.8.13

Menulis Takdir

#cerpen24jam hari ke-5
#bagian 5

****
Aku melambaikan tangan dan tersenyum pada Kevin.

     "Tante, nanti kita main bersama, ya." Kevin berkata kepadaku.

Aku hanya tersenyum tanpa membalas perkataan Kevin. Aku tidak mau membuat harapan palsu padanya. Tiba-tiba, Kevin berbicara pada Niko lalu membuka pintu mobil. Ia lalu menghampiri aku. Kevin memberi tanda agar aku menunduk. Aku menurutinya. Kevin membisikkan sesuatu di telingaku. Aku tertawa mendengar bisikannya. Sesudah berbisik di telingaku, Kevin mencium pipiku dan menuju pintu depan penumpang. Tak sengaja aku melihat Niko. Ia diam mengamati kami. Tidak ada senyum seperti sebelumnya. Ada apa dengannya? Masa bodo, ah, gumamku dalam hati. Mobil kemudian meninggalkanku tanpa ada kata sepatah pun dari Niko.

Ayah ada di ruang tamu. Ia menatapku saat aku masuk dan langsung bertanya padaku.

     "Kenapa tiba-tiba berubah pikiran?"
     "Aku baru ingat kalau ada yang harus aku bicarakan dengan Niko." Aku beralasan. 

Bohong, kata hatiku. Ternyata benar apa yang dikatakan orang. Sekali melakukan kebohongan, akan terus melakukan kebohongan lagi. Semoga ini kebohongan yang terakhir, kata hatiku. Kalau kamu mengatakan 'semoga' maka kamu akan melakukan kebohongan lagi, Iliana, kata otak bawah sadarku. Aku pusing!

     "Ya, sudah, masuk sana!" Suara Ayah menyadarkanku dari pertarungan dalam diriku. 

                                                      ***
Aku menuju meja di kamarku. Duduk, dan memandang dinding di depanku. Apa yang terjadi hari ini? Ratusan kali pertanyaan itu terlintas sejak pertemuanku dengan Niko di taman. Entahlah, ke mana perginya jawaban untuk pertanyaanku itu. Tiba-tiba, mataku menatap laptop. Kubuka dan kunyalakan. Kucari folder 'diary'. Folder yang berisi curahan-curahan hatiku. Sudah lama aku tidak membuat cerita dan menyimpannya dalam folder itu.

Bandung, 18 Agustus 2013

Kepada Yth, 
Tuhan Penguasa Hati dan Semesta

Ya Allah, Tuhanku. 
Ini adalah surat pertama yang kutulis untukmu. Selama ini, aku hanya bercerita secara lisan padamu. Tuhan, meskipun teknologi sudah sangat canggih, tapi tetap saja aku tidak bisa mendapatkan jawaban secara langsung dari-Mu atas pertanyaan-pertanyaanku. Memang begitulah ketentuannya, kan?

Ya, Allah yang Maha Menguasai Hati setiap manusia. 
Apa yang terjadi hari ini padaku apakah itu skenario dari-Mu? Ah..tentu saja. Engkau adalah Sang Maha Penulis Skenario yang handal. Sutradara Alam yang tidak ada tandingannya. 

Tuhan, aku bingung dengan apa yang terjadi hari ini. Aku ini orang yang aneh, ya. Kenapa hatiku suasananya naik turun dengan begitu drastisnya? Seperti seorang manic-depressive yang mudah berubah-ubah dari senang ke sedih dan sebaliknya dengan cepat. Aku bingung dengan diriku sendiri. Engkau pastilah tahu isi hatiku. Tidak pernah kutinggalkan harapan tinggi dengan berangan-angan untuk bertemu Niko, sahabatku. Aku memang sering merasa kangen dan ingin bertemu. Hanya sebatas itu, Tuhan. Tidak lantas aku memupuk harapan untuk bertemu dengannya suatu hari lagi. Aneh, kan? 

Tuhan Sang Penguasa Semesta,
Engkau sebenarnya memberikan lebih banyak dari yang kuminta. Apakah Kau bosan dengan aku yang begitu menyayangi sepatu itu sebagai pengganti Niko? Apa yang Kau berikan dengan mempertemukanku dengan Niko ternyata tidaklah mudah kuterima. Memang, Niko hanya sahabatku. Aku tidak pernah berpikir lebih dari itu. Tapi kenapa begitu aku melihat kenyataan yang ada di depanku, aku jadi merasa kecewa? Kevin yang sudah menemani hidup Niko membuatku terkaget-kaget. Kevin anak yang manis, Tuhan. Aku sangat menikmati bersama Kevin. Dan merasa bersalah! Betul, Tuhan. Bagaimana aku bisa pergi dengan Niko dan Kevin? Kenapa mama Kevin tidak diajak? Tuhan, aku merasa bersalah pada istri Niko. Kenapa aku yang justru pergi bersama mereka. Itu yang membuat aku marah pada Niko, Tuhan.

Tuhan Yang Maha Tahu,
Engkau pasti mempunyai jawaban atas pertanyaan-pertanyaanku. Siapa istri Niko? Apakah ia wanita yang menyenangkan seperti Kevin? Kapan Niko menikah? Kemanakah ia? Tuhan, aku tidak tahu apa-apa tentang istri Niko. Ah..tentu saja karena aku dan Niko belum pernah membicarakannya, kan? Kenyataan bahwa Niko sudah mempunyai anak saja membuat aku kaget. Dan kecewa? Hmm.. mungkin. Ngomong-ngomong, kenapa aku juga harus kecewa? Aku saja tidak berharap bertemu Niko, jadi ketika aku bertemu Niko dan mengetahui kenyataan bahwa ia memiliki Kevin mengapa aku harus kecewa? Oh Tuhan, aku baru sadar bahwa aku begitu kekanak-kanakan. 

Tuhan Yang Maha Mengetahui Isi Hatiku.
Baiklah, aku akan membuat refleksi dari kejadian hari ini.
1. Niko adalah sahabatku. Aku tidak pernah berharap akan bertemu dia lagi. Memakai sepatu yang kami beli bersama-sama sudah merupakah obat kangen yang luar biasa. Jadi, ketika Engkau mempertemukan dengannya, aku harus menerima apapun kenyataan yang terjadi. Bertemu kembali dengannya kuanggap bonus dari-Mu.

2. Niko ternyata memiliki Kevin, Kevin anak yang baik, manis, sopan, dan menyenangkan. Seharusnya aku ikut senang dengan berkah yang dimiliki Niko dan istrinya. 

3. Suasana hati yang turun naik adalah respon terhadap kekagetanku bertemu Niko dan ketidaksiapan menghadapi kenyataan bahwa ia sudah berkeluarga. Aku tidak seharusnya bertindak seperti itu. Baca kembali refleksi nomor 1.

4. Aku kesal dengan Niko yang mengajakku pergi karena aku teringat dengan istrinya. Bagaimana ia bisa mengajak aku tanpa mengajak istrinya. Jelas saja aku merasa tidak enak dengan istrinya. Itu yang membuatku kesal. Oke, berarti aku harus mengenal istrinya. Aku akan bilang pada Niko untuk bahwa aku memang kesal padanya dan aku harap dapat mengenal istrinya. 

5. Ini bukan refleksi Tuhan, ini hanya pertanyaan, kenapa Niko tidak pernah menyinggung tentang istrinya? Apakah ia sudah bercerai? Kevin juga tidak pernah sekalipun menyinggung mamanya. Aneh, ya. Kenapa Niko berkata kalau ia kangen padaku? Apakah sama dengan kangen yang kurasakan? Nanti aku tanyakan padanya.

Baiklah, Tuhan. 
Lima nomor sudah kutuliskan. Aku akan menjalankan apa yang kutuliskan di dalamnya. Maafkan aku yang bertindak tidak dewasa dengan emosiku, Tuhan. 
Tuhan, menulis surat ini, rasanya seperti aku sedang menuliskan takdir-Mu. Bagaimana selanjutnya? Takdir apa yang akan kau tetapkan jika aku mengikuti empat ketentuan yang kutuliskan? Tuhan, aku menunggu Engkau menjawab pertanyaan seperti yang kutuliskan dalam nomor lima. Terima kasih, ya, Allah, atas semua ini. Terima kasih karena aku sudah belajar dari kejadian hari ini.

Aku, 
Iliana yang mulai menerima kenyataan.


Kutekan tombol 'simpan', kututup program words, dan kumatikan komputer. Aku merasa lega. Tiba-tiba ponselku berbunyi. Niko! Aku tersenyum dan mengatakan 'Hai, Niko!' dengan suara yang ceria.

                                                              ***
Aku heran mendengar suara ceria Ilana. Ternyata suasana hati Iliana yang mudah berubah-ubah masih ada. Tadi ia cemberut terus padaku. Sebal rasanya melihat ia bersikap manis yang natural pada Kevin tapi tidak padaku. Sekarang ia terdengar ceria. 

     "Iliana, kita harus bicara."
     "Oke. Kapan? Oh ya, lain kali jangan telepon aku selarut ini. Aku tidak enak dengan istrimu. Satu lagi, aku mau kenal dengan istrimu. Nanti ajak istrimu juga, ya. Jadi, kapan kita ketemu?"

Aku bengong mendengar perkataan Iliana yang agak panjang dalam satu kesempatan. Istri? Mengajak istriku? Aku diam berpikir. Kutepuk kepalaku. Bodohnya aku! Rasanya aku tahu kenapa Iliana kesal padaku.

     "Iliana, besok aku jemput jam 11, ya. Tidak. Kita pergi berdua saja. Sampai ketemu besok."

Kututup telepon. Rasakan, Iliana! Aku tersenyum dan mematikan lampu kamar. Aku ingin cepat-cepat tidur sebelum Kevin datang dan menggangguku. Malam ini aku ingin tidur sendiri. Tanpa Kevin!

....bersambung

No comments:

Post a Comment