16.8.13

Tiga Senjata

Aku bingung apa yang harus kulakukan. Belum sempat aku berpikir, Kevin dan Niko sudah 'mendarat' di rumahku. Ayah masih tertawa terbahak-bahak. Kevin juga. Niko tersenyum. Ia menoleh ketika kepalaku 'nongol' di pintu.

     "Eh, Iliana. Yuk, pergi!"
     "Aku kan belum bilang mau atau tidak." Aku mencari-cari alasan.
     "Ayolah! Kamu pasti mau."
     "PD amat,kamu, Nik." 
     "Ayolah, Tante. Kevin sudah bosan diam di rumah terus. Teman-teman di sekitar rumah belum Kevin kenal. Papa pulang malam. Ayo, sekarang temani Kevin dan Papa jalan-jalan." Kevin ikut-ikutan bicara. Heran, kenapa bukan mengajak mamanya saja?

Ayah melihat ke arahku. Aku memberi tanda pada Ayah. Tanda tangan kanan menyilang ke pundak sebelah kiri berarti 'Ayah, tolong aku, aku tidak mau'. Hanya aku dan Ayah yang mengerti. Ayah memegang telinga kirinya. Itu adalah pertanda bahwa Ayah setuju menolongku. 

     "Nak Niko, Iliana sebenarnya ada janji sama Om." Ayah memberikan alasan pada Niko. Alasan pura-pura. Penjelasan pada Ayah, itu urusan nanti.
     "Wah..sayang sekali. Padahal saya ingin mengajak Iliana ke toko barang antik. Siapa tahu di sana kami menemukan barang-barang bagus. Ah..atau mungkin kita akan menemukan patung naga kecil yang dulu pe..." 

Belum selesai bicara, aku sudah memotong perkataan Niko.

     "Oke. Aku ikut. Ganti baju dulu, ya." 

Oh.. tidak! Niko mengungkit tentang patung naga. Harus segera kuhentikan sebelum Ayah mengetahuinya. Kalau tidak, jangan harap aku akan bisa melewati malam ini dengan selamat dari cengkeraman Ayah. Kulihat senyum kemenangan Niko sebelum aku bergegas ke dalam.

                                                              ***

Aha! Aku tahu rahasiamu, Iliana. Hati-hati. Satu senjata sudah kukeluarkan. Aku tahu arti kode tangan bersilang itu. Aku masih ingat dulu kamu pernah bercerita padaku tentang kode itu. Apa sih yang kamu sembunyikan dariku? Patung naga kecil. Patung naga kecil adalah senjata pertamaku. Patung kesayangan ayahmu yang pecah karena kau main bola di dalam rumah. Tapi, kau bilang pada ayahmu bahwa kucing liar telah masuk ke dalam rumah dan menyenggolnya. Jelas kamu berbohong, Iliana. Aku ada di sana waktu itu. Melihat reaksimu tadi, aku yakin, kau belum mengatakan kejadian yang sebenarnya pada ayahmu. 

Yang menjadi pertanyaanku, kenapa Iliana seakan enggan pergi denganku? Aku belum mengerti. Nanti akan kutanyakan padanya.

     "Yuk! Kita pergi sekarang." Iliana keluar dari dalam rumah. 

Rambut Iliana yang tadi terikat sekarang tergerai. Pakaiannya sudah diganti. Ah..Iliana, kau masih cantik seperti dulu. Iliana mencium ayahnya untuk berpamitan. Dasar, Iliana. Masa ia tidak malu sudah sebesar ini masih mencium ayahnya? Iliana memang penyayang. Hal itu terlihat dari bagaimana ia memperlakukan keluarga, sahabat, dan barang-barang kesayangannya. Ternyata sifat penyayangnya masih kuat tertanam dalam dirinya. Syukurlah. Aku tidak tahu kenapa aku merasa lega dan gembira mengingat hal itu. 

     "Pergi dulu, Om." Aku pamit pada ayah Iliana
     "Hati-hati, Nak Niko. Jangan pulang terlalu malam." Pesan ayah Iliana.
     "Baik, Pak. Kev, salim dulu." Aku berkata pada Kevin. Kevin menyalami ayah Iliana.

                                                                ***

     "Kamu jahat!" Aku memarahi Niko. Mukaku berubah.
     "Kenapa?" Niko bertanya dengan cueknya.
     "Kenapa kau ungkit-ungkit masalah patung naga?"
     "Karena aku tahu kamu berbohong. Kode tangan menyilang itu aku masih ingat artinya. Kenapa kau tidak mau pergi denganku?"
     "Dengan kami, Papa. Ada aku di sini." Kevin tiba-tiba unjuk bicara.
     "Iya, kenapa tidak mau pergi dengan kami?" Niko meralatnya.
     "Sudahlah, Papa dan Tante Iliana jangan bertengkar." Kevin menengahi 'pertengkaran' kami. 

Aku tidak tahu apakah aku harus tertawa, kagum, atau kesal pada anak kecil yang sok dewasa ini. Iliana, kenapa kamu marah-marah pada Kevin? Ia kan tidak bersalah, bisik hati kecilku. Maafkan aku, Kevin. Aku tidak bermaksud marah padamu, aku masih berkata dalam hati.

Mobil Niko memasuki pusat perbelanjaan yang terbesar di kota ini. Aku melirik Niko. 
     "Pembohong!" Aku berkata pada Niko
     "Kau pikir kita akan benar-benar ke toko barang antik? Tidak yang buka pada jam sekarang." Niko beralasan. 

Setelah mendapatkan parkir, aku keluar cepat-cepat. Kutinggalkan Niko dan Kevin. Kami bersama kembali di depan pintu lift. Kevin memegang tanganku.

     "Tante, maafkan Papa. Tante jangan marah, ya." Kevin menengadahkan kepalanya menatapku.

Aku menatap Kevin. Mata bening tak berdosa. Apakah itu cairan bening yang menutupi kelopak matanya? Oh Tuhan, kenapa anak ini yang meminta maaf? Aku mengutuk Niko dalam hati. Kenapa kekesalanku pada Niko kulampiaskan pada anak ini? Aku memegang tangan Kevin.

     "Kevin, itu urusan Tante dan Papamu yang harus diselesaikan oleh kami berdua. Kevin tidak perlu khawatir. Nanti akan kami selesaikan. Sekarang, kita bersenang-senang saja. Ok?"

Aku menenangkan Kevin. Tanganku masih menggenggam tangan Kevin. Aku tersenyum dan Kevin juga. Kami bergandengan. Tanpa sengaja, mataku melihat ke arah Niko. Ia tersenyum. Senyumku kutarik begitu aku melihat senyum Niko. Seorang perempuan muda memerhatikan kami. Apakah ia pikir aku dan Niko adalah pasangan yang sedang bertengkar? Sialan! Ini gara-gara Niko. Pintu lift terbuka. Aku masuk bersama Kevin. Niko menyusul kemudian. Aku mengacuhkannya.

                                                                      ***

Sebenarnya, aku tidak pernah 'menggunakan' Kevin sebagai senjata kedua. Aku tahu, Iliana sangat menyukai anak kecil. Ia akan mudah luluh pada anak-anak dan entah kenapa, banyak anak-anak cepat akrab dengannya. Ia seperti memiliki magnet bagi anak-anak. Termasuk Kevin. Sejak pertemuan Iliana dan Kevin tadi pagi, Kevin terus memintaku untuk mengajaknya bermain ke rumah Tante Iliana. Ia baru berhenti merengek ketika kubilang 'oke'.

Tidak enak juga rasanya pergi dalam suasana seperti ini. Iliana marah dengan caraku. Kevin yang tidak bersalah menjadi terseret-seret. Tapi syukurlah, tampaknya mereka berdua sudah 'akur'. Orang di sebelahku sering menatap kami. Mungkin ia berpikir kalau aku duda satu anak dan Ilana adalah pacarku. Masa bodo dengan pendapat orang lain. Aku cukup senang melihat mereka berdua sudah berdamai. Tidak apa-apa Iliana marah padaku, asal jangan pada Kevin. Anak itu segalanya buatku. Aku menyayanginya. 

                                                            ***
Kevin ternyata anak yang manis dan menyenangkan. Kami cepat akrab. Di toko buku, kami memiliki minat topik yang sama. Pembicaraan kami jadi berlanjut panjang lebar tentang topik itu. 

     "Pa, aku lapar." Kevin berkata pada Niko
     "Oke, kita makan, tapi sekarang Papa yang menentukan kita makan di mana. Oke?"
     "Oke." 

Aku belum bicara pada Niko. Niko pun tidak berusaha membuka pembicaraan denganku. Ia hanya mengikuti kami berdua. Niko berkeliling mencari makanan apa yang diinginkan sedangkan aku dan Kevin duduk. Niko kemudian datang sambil membawa nomor pemesanan. Aku melirik nama yang tercantum dalam nomor pemesanan itu. Aku terkejut membaca nama tempat makan di mana Niko memesan makanan.

Seorang pramusaji datang membawa pesanan Niko. Kangkung cah jamur, cumi asam manis, dan sapo tahu. Semuanya makanan kesukaanku. Kutatap Niko dengan wajah sebal. Ia masih ingat makanan kesukaanku. Tapi jangan harap aku akan luluh dari amarah dengan adanya makanan ini. Aku tidak mudah 'disuap' dengan makanan, Niko! Lagi-lagi ia hanya tersenyum. 

     "Wow.. sudah lama aku tidak makan makanan ini, Papa. Tante, Papa ini pelit. Ia jarang memberiku makan dengan makanan yang mahal harganya. Untung Tante Iliana mau pergi. Jadi, aku bisa makan enak. Terima kasih, Tante."

Lucu, Kevin benar-benar lucu. Kenapa ia berterima kasih padaku, bukan pada papanya?

     "Kenapa Kevin berterima kasih pada Tante Iliana, bukan sama Papa? Yang beli makanan ini kan, Papa." Niko protes pada Kevin.
     "Kalau tidak ada Tante, pasti Papa akan mengajakku makan ayam goreng. Aku bosan, Papa."

Berarti Niko masih suka ayam goreng seperti dulu. Yang aku tahu, ia tidak begitu suka makanan yang ia pesan ini. Tapi kenapa ia memesannya? Sudahlah, aku tak peduli. Aku lapar. Makanan ini terlalu lezat untuk dibiarkan begitu saja. 

                                                           ***

Iliana masih suka makanan ini. Aku sempat melihat binar matanya ketika makanan ini disajikan. Aku sendiri tidak begitu menyukainya. Tapi, aku gunakan ini sebagai senjata ketigaku untuk berdamai dengan Iliana. Ia masih menatapku dengan pandangan sebal, tapi binar senang ketika menyantap makanan ini tidak hilang. Kuanggap sebagai ucapan terima kasih saja. 

Malam ini, tiga senjata sudah kukeluarkan. Senjata pertama, aku gunakan untuk 'mengancam' Iliana untuk mengikuti kemauanku dan berhasil. Namun, resiko yang harus kutanggung adalah menghadapi wajah kecut Iliana padaku. Senjata kedua, Kevin, aku tidak sengaja menggunakannya. Ternyata, senjata kedua cukup ampuh untuk menyamarkan kemarahan Iliana padaku. Aku iri pada Kevin. Senjata ketiga sengaja kukeluarkan untuk menarik perhatian Iliana dan ini pun berhasil. Untuk selanjutnya, aku akan berpikir lagi, bagaimana caranya berbaikan lagi dengan Iliana. Aku tidak mau hubunganku dengan Iliana menjadi jelek gara-gara senjata pertama yang kugunakan.


#cerpen24jam hari ke-4 (sambungan dari hari-hari sebelumnya)

No comments:

Post a Comment