24.8.13

Potret Bunda

Sambungan dari #cerita24jam hari-6 'Pengantar Pesan'
#cerpen24jam hari ke-7
#bagian 7

****
Niko sudah berada di depanku. Aku agak kesal karena ia datang sendiri. 

     "Yuk, pergi!" Niko 
     "Tidak. Sudah kubilang, aku tidak akan pergi kalau tidak ada istrimu."

Niko tersenyum. 

     "Baiklah. Kita di sini saja."
     "Kevin baik-baik saja?"
     "Kenapa sih, dari tadi kamu bertanya terus tentang Kevin?"
     "Sikapnya aneh."
     "Aneh kenapa?"
     "Ia seperti ingin berbicara tentang mamanya. Tapi, ia hanya bilang 'mama' dan tidak melanjutkannya. Tatapan matanya sedih."

Niko terdiam. Aku semakin heran. Ada apa sebenarnya dengan mama Kevin dan kenapa Niko saat ini pergi sendiri menemuiku. Apakah mereka berpisah?

     "Kenapa sih, kamu tertarik sekali dengan mama Kevin?"

Niko bertanya padaku. Iya, aku sendiri belum pernah benar-benar berpikir kenapa aku tertarik dengan mama Kevin. Atau karena ia istri Niko? Lalu apa hubungannya juga denganku? Kuteringat dengan pernyataanku 'tidak pernah berharap bertemu Niko'. Kalau tidak berharap, kenapa aku begini?

     "Oke, aku akan ceritakan tentang mama Kevin. Tapi, sebelum itu, aku mau bertanya dulu dan jawablah dengan jujur." 

Persyaratan apa pula itu? 

Tapi demi memenuhi rasa ingin tahuku, aku menyetujuinya.

     "Oke." Jawabku dengan setengah hati.
     "Pertama, waktu di taman. Kamu berubah ekspresi setelah Kevin datang dan memanggilku 'Papa'. Kenapa?"
     "Berubah ekspresi?"
     "Tidak. Aku biasa-biasa saja." Tentu saja aku berbohong.
     "Aku sahabatmu. Aku tahu bagaimana ekspresi wajahmu kalau suasana hatimu berubah. Aku belum lupa."

Kenapa pertanyaan Niko bukan seperti Niko sahabatku, tapi seperti seorang penyidik yang sedang menginterogasiku?

     "Aku kaget ternyata kamu sudah punya Kevin?"
     "Kenapa kaget? Bukannya kamu seharusnya senang karena sahabatmu sudah punya anak?"
     "Aku tidak tahu." Ini jujur. Sejujurnya aku tidak tahu kenapa aku bukannya senang tapi kaget yang tidak senang.
     "Kenapa tadi malam kamu marah padaku?"
     "Jelas aku kesal. Pertama, kamu menggunakan rahasiaku untuk mengancamku agar aku ikut denganmu. Kedua, aku pergi dengan suami orang dan anaknya. Aku tidak enak pada istrimu. Sebagai seorang suami, tidakkah lebih baik kalau kamu pergi dengan istrimu daripada denganku?"

Niko tersenyum. 

     "Bagaimana kamu bisa menyimpulkan kalau aku sudah punya istri?"

Pertanyaan macam apa itu?

     "Lho, ada Kevin, kan?"
     "Memangnya aku pernah mengatakan kalau aku sudah punya anak dan istri?"

Aku makin bingung dengan pertanyaan Niko? Lalu Kevin? Bukankah Kevin memanggilnya 'Papa'? Sebodoh itukah aku?

     "Kamu cemburu, ya?" 

Pertanyaan to the point dari Niko mengagetkanku. Tiba-tiba Ibu datang dengan membawa kantong plastik besar. Mungkin hasil beres-beres di dapur. Kehadiran Ibu menyelamatku dari pertanyaan Niko dan membuat Niko tidak melanjutkan mendesakku.

     "Na, minumannya mana?"
     "Oh, iya. Tunggu, ya, Nik." 

Kesempatan. Ini kesempatan untuk memikirkan jawabannya. Niko menatapku sebal. Aku pergi ke dalam rumah dan datang lagi beberapa lama kemudian. Aku sengaja memperlama membuat minuman. 

     "Kamu melarikan diri?" Niko berkata pelan padaku saat aku datang lagi. "Jadi jawab pertanyaanku sekarang. Kamu cemburu?"
     "Cemburu pada siapa?"
     "Cemburu pada orang yang kamu sebut sebagai mama Kevin atau istriku, yang sering kau sebut-sebut, yang membuatmu marah padaku tadi malam karena aku tidak mengajaknya, yang membuatmu tidak mau kuajak pergi sekarang karena aku tidak membawa istriku."

Aku diam saja. Kulihat Niko. Ia sepertinya hendak bicara lagi. Mulutnya mulai terbuka.
     
     "Itulah yang dari dulu tidak aku suka dari dirimu. Kamu sering mengambil kesimpulan sendiri. Dari mana kamu tahu aku sudah beristri? Dari mana kamu tahu kalau mama Kevin adalah istriku? Hanya karena Kevin memanggilku 'Papa' kamu langsung mengambil kesimpulan sendiri. Pernahkah kamu bertanya padaku secara langsung? Tidak, kan?" Ada nada kesal pada suaranya.

Oh Tuhan, apakah Niko sedang memarahi aku saat ini? Jadi kesimpulannya?

     "Oke, aku tanya kamu, apakah kamu sudah punya istri?" Aku bertanya pada Niko.
     "Belum. Aku belum beristri."

Aku kaget. Kenapa akhir-akhir ini aku sering terkaget-kaget jika sedang bersama Niko? Lalu Kevin? Niko meneruskan perkataannya.

     "Kaget? Makanya, jangan membuat kesimpulan sendiri tanpa bukti.Itulah mengapa aku tidak segan mengajakmu pergi. Aku tidak takut istriku marah, aku tidak takut meneleponmu malam-malam, aku ingin kita pergi berdua. Itu karena aku belum beristri. Jelas?"
     "Tanpa bukti? Kevin adalah buktinya." Aku ngotot membela diri.
     "Karena memanggilku 'Papa''?"

Aku diam. Katanya diam tanda setuju.

     "Kevin. Tiga tahun lalu, aku menemukannya menangis di pinggir jalan. Aku tidak melihat ada orangtua di sekitarnya. Ketika kutanya, ia kehilangan mamanya. Katanya, mamanya akan mengajaknya ke taman bermain. Lalu mamanya berkata mau ke kamar mandi. Mana ada kamar mandi di tengah-tengah jalan yang tanpa bangunan di sekitarnya? Awalnya, aku kira itu kejahatan. Banyaknya isu tentang kejahatan yang menggunakan anak menangis sempat membuatku curiga. Namun, hati kecilku tidak bisa membiarkan anak itu menangis. Kudekati dirinya. Ia mengatakan bahwa namanya adalah Kevin. Tapi ia tidak dapat menjelaskan siapa orangtua dan alamatnya. Kevin bercerita bahwa tadi ia pergi dengan mamanya naik angkutan umum lalu turun di tempat ia ditemukan menangis. Tidak ada identitas yang ditinggalkan pada Kevin. Kubawa Kevin ke kantor polisi terdekat. Tapi aku tidak tega meninggalkannya di sana. Akhirnya aku bawa pulang ke rumah. Aku tinggalkan nomor ponselku di kantor polisi kalau-kalau ada yang mencari. Namun, sampai sekarang, tiga tahun setelahnya, tidak pernah ada yang mencarinya. Mamaku akhirnya mengurusnya. Mamaku senang karena sejak pensiun, ia tidak memiliki kegiatan. Sejak itu, Kevin memanggilku 'Papa'. Aku tidak pernah memintanya memanggilku 'Papa' tapi aku juga tidak keberatan dengan panggilan itu. Seminggu ia terus menangis memanggil mamanya. Setiap hari aku menelepon kantor polisi untuk menanyakan perkembangan. Tapi nihil. "

Niko berhenti bicara. Aku tercenung teringat Kevin. Anak yang ceria, ramah, menyenangkan, dan sorot mata sedih ketika ia mengucapkan 'mama' sebelum ia meninggalkan rumahku tadi. Terbayang bagaimana ia begitu menuruti perkataan Ibu saat Kevin membantu memasak. Tak kukira dibalik tawa gembiranya, tersimpan kenangan yang menyedihkan dalam diri Kevin. Mulutku tercekat, tenggorokanku kering, aku merinding. Tega sekali ibunya meninggalkan Kevin.

     "Iliana, kamu tidak apa-apa?"

Suara Niko membuyarkan bayangan tentang 'potret bunda' yang dimiliki Kevin. Aku memandang Niko. Entah bagaimana ekspresiku saat itu. Niko pasti bisa menangkapnya. Seperti biasa. 

                                                          ***
....bersambung

No comments:

Post a Comment