Kalimat itu dilontarkan
sahabat saya pada Hari Natal yang lalu. Saya tidak langsung
menjawab. Tidak mau impulsif atau bersikap reaktif. Takut akan membawa dampak tidak
mengenakkan buat kami. Buat saya, menjawab pertanyaan ini tidak semudah
menjawab pertanyaan kenapa saya suka mengumpulkan snowball? Atau pertanyaan
seperti “kenapa saya mengucapkan Selamat Ulang Tahun atau Selamat Tahun Baru?” Saya
harus hati-hati menanggapinya
“Kalian nggak haram temenan ama gue (disusul stiker
menangis)?” Ini awal mula percakapan saya dan sahabat saya. Saya masih di
kereta api. Dua jam lagi baru sampai tujuan.
“Apaan, sih? Lu abis baca apa?” Saya balik bertanya. Mungkin
kalau berhadapan, suara saya terdengar kalem. “Pasti abis baca sesuatu,” tambah
saya lagi (masih kalem).
“Kan ngucapin Natal haram. Sama aja ngeharamin temen,”
lanjutnya.
“Kalau gue sih prinsipnya lakum diinukum waliyadin.
Bagimu agamamu, bagiku agamaku. Artinya, kalau masalah ibadah itu
masing-masing. Berteman dengan yang beda agama nggak masalah, tapi nggak akan
ikut ibadah agama temen gue. Lu misa gue nggak akan ikut. Gue salat, gue nggak
akan ngajak lu salat. Kalau berteman dengan non Islam haram, sahabat-sahabat
gue nggak ada yang nonmuslim. Tapi gue punya (dan saya sebutkan sahabat-sahabat
saya yang nonmuslim),” jawab saya.
“Trus apa yang salah dengan ngucapin Selamat Natal? Ngucapin
doang kan nggak berarti lu ngejalanin ibadah gue. Gue ngucapin Lebaran ke lu
nggak berarti gue ngeyakinin agama lu. Gue ngucapin karena ngehormatin lu
sebagai temen. Sahabat malah. Tapi Iin nggak pernah ngucapin Natal ke gue. Nah
ini udah jadi masalah gue dari sejak sahabat gue SMA nggak pernah ngucapin. Gue
diem-diem aja karena gue juga menghargai. Tapi itu gue rasain sebagai minotitas
di sini. Gue ngerasa kalian nggak mengakui keberadaan kami. Even my best
friend nggak mau mengakui keberadan gue, jati diri gue.”
Cukup membuat saya harus berpikir keras menjawabnya. Saya
tidak mau kehilangan sahabat saya karena masalah ini. Sampai dua jam kemudian
saya tiba di tujuan, sampai di rumah pun, diskusi ini belum berakhir. Dan baru kali ini saya mengalaminya.
Berada dalam situasi di mana saya berada pada
lingkungan majemuk (berbeda keyakinan) saya alami saat SMP, SMA, dan kuliah.
Kuliah lebih beragam lagi. Beberapa sahabat saya nonMuslim seperti Kristen atau
Katolik. Teman-teman saya selain Kristiani ada juga yang Hindu dan Budha. Berada
pada lingkungan yang majemuk membuat
pengalaman saling menghargai saya dapatkan. Saya tidak suka kalau ada yang menjelekkan
atau mencemooh agama teman-teman saya. Kenapa? Karena saya jarang dicemooh atau
diejek oleh sahabat atau teman-teman saya yang nonmuslim. Pernah terjadi sekali
ketika saya di SMP. Tapi pengalaman itu tidak begitu membekas dan bahkan lupa. Saya
sering menginap di kosan sahabat saya yang Kristiani dan salat di sana. Ia tidak
pernah melarang kamarnya dijadikan tempat salat. Setiap malam dan pagi hari ia
berdoa dan membaca Alkitab. Saya tidak pernah mengusiknya. Itulah prinsip
beragama yang saya jalankan. Lakum diinukum waliyadin. Bagiku agamaku, bagimu
agamamu. Saya menghormati orang yang berbeda agama untuk menjalankan ibadahnya.
Saya tidak akan mengajaknya mengikuti saya ketika saya beribadah. Ketika dalam
suatu kegiatan ada ibadah agama yang bukan saya anut, saya tidak akan
mengikuti. Itu juga yang saya terapkan ketika momen Natal tiba. Natal adalah
diyakini sebagai suatu perayaan keagamaan. Di dalamnya terdapat ibadah. Ada satu
prinsip dalam agama saya yang tidak selaras dengan prinsip keyakinan mereka. Perbedaan
prinsip itu yang membuat saya mengikuti prinsip yang saya yakini. Ketika Natal
tiba, berbagai pendapat mengenai bagaimana hukum Selamat Natal pasti
bermunculan di media sosial. Saya tidak pernah mengungkit hal itu. Saya tidak
menyatakan sikap saya mengenai hal itu di media sosial. Mengapa? Karena saya
tidak ingin mempeributkan hal tersebut. Ketika Natal tiba, ingin rasanya saya
mengucapkan ‘Selamat Natal’ pada teman-teman Kristiani saya, apalagi sahabat
saya. Tapi, saya hanya ingin menjalani apa yang saya yakini.
Perbedaan keyakinan bukan berarti saya tidak menghargainya. Tidak mengucapkan Natal tidak berarti saya mengabaikan keberadaan dan jati diri teman-teman saya yang nonmuslim. Bagi saya, kalian ‘ada’. Saya akui jati diri kalian. Saya akui keberadaan kalian. Kita hanya berbeda dalam prinsip hidup.
Perbedaan keyakinan bukan berarti saya tidak menghargainya. Tidak mengucapkan Natal tidak berarti saya mengabaikan keberadaan dan jati diri teman-teman saya yang nonmuslim. Bagi saya, kalian ‘ada’. Saya akui jati diri kalian. Saya akui keberadaan kalian. Kita hanya berbeda dalam prinsip hidup.
Saya tahu bagaimana rasanya jadi minoritas. Betapa
susahnya mencari tempat untuk ibadah (baca: salat) sampai saya harus nebeng di
tempat-tempat makan, bahkan tidak layak. Betapa susahnya saya mencari makanan
halal sampai kadang cuma makan nasi saja. Tapi itu saya jalani karena saya
mengharapkan berkah Allah, bukan manusia. Saya bukan orang suci. Saya hanya berharap
surga.
Saya senang dianggap sebagai teman yang lebih dari
sekedar teman (baca: sahabat) oleh sahabat saya. Saya senang sahabat saya
terbuka tentang apa yang ia rasakan. Saya senang kita sering bersama meski beda
keyakinan. Semoga kau (dan teman-temanku lainnya) bisa memahami apa yang saya
rasakan dan kita tetap bersahabat.
Dulu, saya pernah membaca salah satu cerita pendek di majalah remaja. Dulu sekali. Dan saya masih ingat ceritanya. Dua orang berbeda keyakinan yang saling bersahabat sejak mereka sekolah. Mereka masih tetap bersahabat sampai mereka kemudian berpisah. Suatu saat, mereka bertemu lagi. Yang muslim sudah menjadi hajjah, dan yang Katolik menjadi biarawati. Mereka masih tetap bersahabat. Entah kenapa, saya suka sekali dengan cerita itu. Sampai sekarang. Selamat Tahun Baru.
Dulu, saya pernah membaca salah satu cerita pendek di majalah remaja. Dulu sekali. Dan saya masih ingat ceritanya. Dua orang berbeda keyakinan yang saling bersahabat sejak mereka sekolah. Mereka masih tetap bersahabat sampai mereka kemudian berpisah. Suatu saat, mereka bertemu lagi. Yang muslim sudah menjadi hajjah, dan yang Katolik menjadi biarawati. Mereka masih tetap bersahabat. Entah kenapa, saya suka sekali dengan cerita itu. Sampai sekarang. Selamat Tahun Baru.
#curahan hati menuju
pergantian tahun.
#kau tetap sahabat saya
No comments:
Post a Comment