31.12.15

Tapi Iin Nggak Pernah Ngucapin Natal Ke Gue

               Kalimat itu dilontarkan sahabat saya pada Hari Natal yang lalu. Saya tidak langsung menjawab. Tidak mau impulsif atau bersikap reaktif. Takut akan membawa dampak tidak mengenakkan buat kami. Buat saya, menjawab pertanyaan ini tidak semudah menjawab pertanyaan kenapa saya suka mengumpulkan snowball? Atau pertanyaan seperti “kenapa saya mengucapkan Selamat Ulang Tahun atau Selamat Tahun Baru?” Saya harus hati-hati menanggapinya
               “Kalian nggak haram temenan ama gue (disusul stiker menangis)?” Ini awal mula percakapan saya dan sahabat saya. Saya masih di kereta api. Dua jam lagi baru sampai tujuan.
                “Apaan, sih? Lu abis baca apa?” Saya balik bertanya. Mungkin kalau berhadapan, suara saya terdengar kalem. “Pasti abis baca sesuatu,” tambah saya lagi (masih kalem).
                “Kan ngucapin Natal haram. Sama aja ngeharamin temen,” lanjutnya.
                “Kalau gue sih prinsipnya lakum diinukum waliyadin. Bagimu agamamu, bagiku agamaku. Artinya, kalau masalah ibadah itu masing-masing. Berteman dengan yang beda agama nggak masalah, tapi nggak akan ikut ibadah agama temen gue. Lu misa gue nggak akan ikut. Gue salat, gue nggak akan ngajak lu salat. Kalau berteman dengan non Islam haram, sahabat-sahabat gue nggak ada yang nonmuslim. Tapi gue punya (dan saya sebutkan sahabat-sahabat saya yang nonmuslim),” jawab saya.
                “Trus apa yang salah dengan ngucapin Selamat Natal? Ngucapin doang kan nggak berarti lu ngejalanin ibadah gue. Gue ngucapin Lebaran ke lu nggak berarti gue ngeyakinin agama lu. Gue ngucapin karena ngehormatin lu sebagai temen. Sahabat malah. Tapi Iin nggak pernah ngucapin Natal ke gue. Nah ini udah jadi masalah gue dari sejak sahabat gue SMA nggak pernah ngucapin. Gue diem-diem aja karena gue juga menghargai. Tapi itu gue rasain sebagai minotitas di sini. Gue ngerasa kalian nggak mengakui keberadaan kami. Even my best friend nggak mau mengakui keberadan gue, jati diri gue.”
                Cukup membuat saya harus berpikir keras menjawabnya. Saya tidak mau kehilangan sahabat saya karena masalah ini. Sampai dua jam kemudian saya tiba di tujuan, sampai di rumah pun, diskusi ini belum berakhir.  Dan baru kali ini saya mengalaminya.
                Berada dalam situasi di mana saya berada pada lingkungan majemuk (berbeda keyakinan) saya alami saat SMP, SMA, dan kuliah. Kuliah lebih beragam lagi. Beberapa sahabat saya nonMuslim seperti Kristen atau Katolik. Teman-teman saya selain Kristiani ada juga yang Hindu dan Budha. Berada  pada lingkungan yang majemuk membuat pengalaman saling menghargai saya dapatkan. Saya tidak suka kalau ada yang menjelekkan atau mencemooh agama teman-teman saya. Kenapa? Karena saya jarang dicemooh atau diejek oleh sahabat atau teman-teman saya yang nonmuslim. Pernah terjadi sekali ketika saya di SMP. Tapi pengalaman itu tidak begitu membekas dan bahkan lupa. Saya sering menginap di kosan sahabat saya yang Kristiani dan salat di sana. Ia tidak pernah melarang kamarnya dijadikan tempat salat. Setiap malam dan pagi hari ia berdoa dan membaca Alkitab. Saya tidak pernah mengusiknya. Itulah prinsip beragama yang saya jalankan. Lakum diinukum waliyadin. Bagiku agamaku, bagimu agamamu. Saya menghormati orang yang berbeda agama untuk menjalankan ibadahnya. Saya tidak akan mengajaknya mengikuti saya ketika saya beribadah. Ketika dalam suatu kegiatan ada ibadah agama yang bukan saya anut, saya tidak akan mengikuti. Itu juga yang saya terapkan ketika momen Natal tiba. Natal adalah diyakini sebagai suatu perayaan keagamaan. Di dalamnya terdapat ibadah. Ada satu prinsip dalam agama saya yang tidak selaras dengan prinsip keyakinan mereka. Perbedaan prinsip itu yang membuat saya mengikuti prinsip yang saya yakini. Ketika Natal tiba, berbagai pendapat mengenai bagaimana hukum Selamat Natal pasti bermunculan di media sosial. Saya tidak pernah mengungkit hal itu. Saya tidak menyatakan sikap saya mengenai hal itu di media sosial. Mengapa? Karena saya tidak ingin mempeributkan hal tersebut. Ketika Natal tiba, ingin rasanya saya mengucapkan ‘Selamat Natal’ pada teman-teman Kristiani saya, apalagi sahabat saya. Tapi, saya hanya ingin menjalani apa yang saya yakini.
                Perbedaan keyakinan bukan berarti saya tidak menghargainya. Tidak mengucapkan Natal tidak berarti saya mengabaikan keberadaan dan jati diri teman-teman saya yang nonmuslim.  Bagi saya, kalian ‘ada’. Saya akui jati diri kalian. Saya akui keberadaan kalian. Kita hanya berbeda dalam prinsip hidup.
                Saya tahu bagaimana rasanya jadi minoritas. Betapa susahnya mencari tempat untuk ibadah (baca: salat) sampai saya harus nebeng di tempat-tempat makan, bahkan tidak layak. Betapa susahnya saya mencari makanan halal sampai kadang cuma makan nasi saja. Tapi itu saya jalani karena saya mengharapkan berkah Allah, bukan manusia. Saya bukan orang suci. Saya hanya berharap surga.
                Saya senang dianggap sebagai teman yang lebih dari sekedar teman (baca: sahabat) oleh sahabat saya. Saya senang sahabat saya terbuka tentang apa yang ia rasakan. Saya senang kita sering bersama meski beda keyakinan. Semoga kau (dan teman-temanku lainnya) bisa memahami apa yang saya rasakan dan kita tetap bersahabat.
                Dulu, saya pernah membaca salah satu cerita pendek di majalah remaja. Dulu sekali. Dan saya masih ingat ceritanya. Dua orang berbeda keyakinan yang saling bersahabat sejak mereka sekolah. Mereka masih tetap bersahabat sampai mereka kemudian berpisah. Suatu saat, mereka bertemu lagi. Yang muslim sudah menjadi hajjah, dan yang Katolik menjadi biarawati. Mereka masih tetap bersahabat. Entah kenapa, saya suka sekali dengan cerita itu. Sampai sekarang. Selamat Tahun Baru.


#curahan hati menuju pergantian tahun.
#kau tetap sahabat saya

No comments:

Post a Comment