14.12.15

Selamat Hari Ibu, Bu.

Aku Indria. Umurku 5 tahun. Hari ini hujan turun lebat sekali. Aku menangis dengan suara keras. Mungkin aku ingin mengalahkan suara hujan dan petir yang bersahutan. Ibu berdiri di sebelahku. Mbak Zeta, kakakku, datang menghampiri kami. Rambutnya basah.      
     “Ini baru, In,” Mbak Zeta memperlihatkan padaku sepasang sandal jepit kecil. Sepertinya pas di kakiku. Rambutnya basah. 
     “Bohong,” teriakku di sela-sela tangisan. 
     “Itu baru, In,” Ibu ikut bicara. 
     “Iya,In. Sandal ini baru,” Mbak Zeta memberikan sepasang sandal itu kepadaku. Tubuhnya menggigil. 
     “Aku nggak mau yang itu. Aku mau sandal baru.” Ibu dan Mbak Zeta terus membujukku. Aku tidak terbujuk. Aku terus menangis. Tangisan yang sia-sia karena Ibu tetap tidak membelikanku sandal baru. 
                                           
                                            **** 
     Umurku bertambah. Sekarang aku 6 tahun. Aku sedang sakit panas. Penyakit yang biasa di kalangan anak-anak sebenarnya. Tapi aku terbaring seakan aku mengidap penyakit serius. Aku merengek pada Ibu. 
     “Ibu, aku mau sekolah,” kataku. 
     “Iya, nanti didaftarkan, “ kata Ibu sambil menyiapkan susu untukku. Aku sangat suka susu. Ibu selalu membuatkan secangkir setiap pagi. 
     “Kapan?” Tanyaku. 
     “Kalau kamu sembuh,” Ujar Ibu lagi. 
     ”Aku mau SD,” pintaku.
     “TK saja, ya. Kamu masih kecil.” kata Ibu. 
     “Nggak mau. Aku mau SD. SD Negeri 2 ya, Bu,” aku merengek. Ibu diam saja.

     Sesudah aku sembuh, aku sudah terdaftar menjadi murid Sekolah Dasar Negeri 2 kelas 1. Aku bahagia. Aku bangun pagi-pagi pada hari pertama masuk sekolah dengan riang gembira. 

                                          ****
     Aku sekarang sudah duduk di kelas 3. Sekolahku bukan sekolah besar. Ruang kelasnya terbatas. Karena itu, murid-murid bergiliran masuk pagi dan siang hari. Sekolahku sekompleks dengan Sekolah Dasar Negeri 1 dan Sekolah Dasar Negeri 3. Teman-teman mainku di rumah lebih banyak yang masuk ke Sekolah Dasar Negeri 1. Hanya aku yang sekolah di Sekolah Dasar Negeri 2. Itu karena permintaanku dulu. Hari ini aku berangkat siang. Begitu juga teman-teman mainku. Tiba-tiba saja, aku ingin pulang bersama teman-temanku di Sekolah Dasar Negeri 1. Padahal, aku pulang lebih dahulu. Aku melangkah ke salah satu kelas di Sekolah Dasar Negeri 1. Kubuka pintu kelas dan aku berdiri di samping pintu di dalam kelas. Gurunya sedang duduk di meja guru. Beliau membiarkanku masuk. Kulihat Reta, teman mainku, sedang mengerjakan tugas di bangkunya. Aku berdiri dengan sabar sampai lonceng sekolah Reta tanda pulang berbunyi. Murid-murid seketika menjadi gaduh. Mereka membereskan buku-buku yang berserakan di meja, berdoa, dan keluar. Aku menunggu sampai Reta berada di hadapanku dan kami pulang bersama. Saat aku berjalan dengan Reta, tetangga-tetangga melihat padaku. Aku heran tapi tidak bertanya. “Itu Indria. Ia tidak diculik,” teriaknya. Diculik? Aku diculik? Aku melihat pada tetanggaku dengan tatapan tak mengerti. Aku berjalan mendekati rumah. Tiba-tiba perasaanku tidak enak. Aku merasa bersalah. Aku takut Ibu marah. Benar saja. Aku melihat Ibuku. Wajahnya sangar. Beliau marah.

     “Kenapa kamu tidak langsung pulang?” Beliau bertanya dengan galak padaku 
     “Ibu, maaf.” Suaraku pelan. Kutundukkan wajahku. 
     “Ibu pikir kamu diculik, Indria.” Suaranya tegas. 
     “Maaf, Bu. Aku salah,” 
     “Kamu dihukum.” 

     Ya, aku dihukum. Pulang sekolah harus langsung pulang dan harus minta izin jika bepergian. Itu adalah aturan. Dan Ibu, adalah sosok yang sangat ketat terhadap aturan. Aku dihukum karena melanggar aturan itu. Ibuku termasuk orang yang galak. 

                                            **** 
     Aku sekarang sudah kelas 6. Suatu hari, Ibu sakit. Semakin lama, semakin parah. Ibu dirawat di rumah sakit sampai suatu ketika, keadaan Ibu berangsur-angsur membaik. Walaupun belum sembuh benar, Ibu bisa berjalan lagi. Beliau bisa duduk di kursi ruang tamu untuk merasakan kehangatan sinar mentari. Aku senang sekali. Namun, setelah itu, Ibu kembali ambruk. Kondisinya semakin lemah. Di rumahpun, botol infus selalu berada di sebelah tempat tidur. Setiap bangun tidur, aku pergi ke kamarnya. Kuperhatikan dadanya. Ketika kulihat dadanya kembang kempis, aku lega. Ibu masih hidup. Sesudah itu, aku akan pergi ke kamar mandi dan bersiap-siap ke sekolah. 

                                                 **** 
      Kupandangi foto Ibu. Wajahnya tersenyum. Beliau cantik sekali. Foto itu adalah foto kesayanganku. Kuambil dari album foto keluarga. Aku menyelipkannya di dompetku. Ketika rasa kangen muncul, kukeluarkan foto itu. Kupandangi wajahnya. Kubalas senyumnya. Kemudian, memori-memori itu bermunculan. Urutan yang sama: meminta sandal jepit baru, minta sekolah, disangka diculik dan dihukum, dan mobil ambulans. Aahh... yang terakhir belum aku ceritakan. Tentang mobil ambulans. 

                                                  ****

     Aku lega ketika melihat Ibu terbaring dengan mata tertutup namun tetap bernapas. Suatu hari, masa kelas enamku akan segera berakhir. Aku ujian akhir di sekolah lain. Aku pergi ujian naik sepeda. Pada hari kedua ujian, aku pulang bersama teman-temanku. Ketika aku hampir sampai rumah, sebuah mobil ambulans menuju ke arahku. Tiba-tiba saja aku merasa cemas. Kutanya temanku dari mana mobil itu datang. Temanku menggeleng. Hatiku semakin berdebar-debar ketika rumahku semakin dekat. Kulihat banyak orang berdiri di pinggir jalan. Aku berhenti di depan rumahku. Aku mendengar ada yang berbicara,
     
     ” Indria datang.” 

Kulihat tanteku berjalan menghampiriku. Tangisku pecah. Aku tahu apa yang terjadi. Tanteku datang dan memelukku. “Ibu pergi,” bisiknya. Tangisku semakin keras. 

                                                   ****
     Ingatan tentang ambulans masih kuat di kepalaku. Kupandangi foto Ibu. Sudah mulai lusuh karena begitu seringnya foto itu kukeluarkan dari dompet. Ibu, pertemuan kita tidaklah lama. Hanya dua belas tahun. Tapi aku belajar banyak tentangmu. Kau galak dalam benak masa kecilku. Tapi aku tahu kau menyayangiku. Ketika aku meminta sandal baru, saat itu, kau tidak punya uang. Tapi karena sayangmu padaku, kau meminta Mbak Zeta mencuci sandal agar terlihat baru. Gara-gara mencuci sandal, Mbak Zeta kehujanan dan menggigil kedinginan. Ibu, sayangmu membuat aku bisa masuk ke sekolah dasar padahal kau menginginkan aku masuk TK. Rasa sayangmu membuatmu marah ketika aku tidak meminta izinmu pulang terlambat. Ya, kau takut aku diculik, Ibu. Ibu, aku hanya bisa mendoakanmu agar kau tenang di alam sana. Aku minta maaf karena pernah membuatmu marah. 

                                                  **** 
     Sebuah tangan menyentuh pundakku. Aku menengadah. Kutatap wajah Rio. Ia tersenyum. Kubalas senyumnya. Kuusap tangannya yang masih berada di pundakku. Kubuka dompet dan kupandang foto Ibu sambil berkata dalam hati, “Ibu, sudah ada penggantimu yang akan menjagaku. Jangan khawatir, Bu.” Kumasukkan foto Ibu ke dalam dompet. Aku sayang padamu, Bu. Selamat Hari Ibu. ****


Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Writing Project #DearMama yang diselenggarakan Nulisbuku.com dan Storial.co

No comments:

Post a Comment