30.12.15

Deja Vu

Pukul 11.30 siang. Matahari siang memanggang bumi.
                Damn! Aku mengutuk kemacetan ini. Tak ada yang mendengar tentu saja. Aku sendirian di dalam mobil. Kalau saja Ana, adikku, tidak datang hari ini, aku takkan keluar dan menghadapi kemacetan. Aku benci macet. Tapi aku harus keluar menjemput Ana di bandara. Ia pulang hari ini. memang, tidak biasanya aku melewati jalan ini. Alih-alih menghindari kemacetan karena libur yang berderet, aku malah terjebak ke dalam kemacetan yang semula ingin kuhindari. 
                Kulayangkan pandang ke sekeliling. Mobil berderet diam di depanku. Di sebelah kanan dan kiri juga sama. Dari kaca spion kulihat di belakang juga begitu. Kuhembuskan napas. Kedua tangan kuletakkan di atas stir. Menunggu.
                Syukurlah. Antrian sudah mulai maju. Aku menjalankan mobilku sekitar 2 kilometer sebelum kemudian terjebak lagi dalam antrian yang panjang. Entah kapan akan berakhir.      
                Damn! Aku mengutuk lagi dalam hati. Ana sudah tiba di bandara. Kembali kulayangkan pandanganku ke sekeliling. Aku tertegun. Di mana aku pernah melihat keadaan seperti ini? Apakah ini ilusi? Fatamorgana? Kubelalakan mata. Keadaan yang kulihat tetap sama. Berarti bukan ilusi. Kupejamkan mata dan kubuka lagi. Sama! Kututup lagi mataku. Kuhitung sampai 10 sebelum kubuka mata. Tidak ada yang berubah, masih sama seperti sebelum aku menutup mata. Ada selintas ingatan yang muncul di benakku. Toko  besi di sebelah kananku. Di sebelah kiri toko besi ada kantor desain. Tulisan 10+ terpampang besar-besar di jendela kacanya. Di sebelah kanan kantor desain ada bank. Di sebelah kiri toko besi ada tanah kosong dengan warung tenda berdiri di atasnya. Tak ada aktivitas di sana. Hanya meja dan bangku panjang yang ditumpuk di atas meja. Kulihat antrian di depanku masih belum bergerak. Kucoba memanggil ingatan yang muncul tadi. Nihil. Aku menengok lagi ke sebelah kanan. Tidak berubah. Rasanya familiar. Kupejamkan mata rapat-rapat sambil menghitung lagi.
                Tet....tet....!
                Hitunganku mencapai 23 ketika suara klakson mengagetkanku. Seketika membuat aku membuka mata. Mobil di depanku sudah berjalan sekitar  5 meter. Aku cepat-cepat menjalankan mobilku sambil melihat ke arah kanan. Deretan bangunan di sebelah kananku tidak berubah. Dan warung itu.... tetap ada di sana. Di mana aku pernah melihat hal yang sama? Toko bangunan, kantor desain, bank, dan ..... sebuah warung. Apakah aku sering  melewati jalan ini? Tidak! Baru kali ini aku lewat ke sini. Tapi rasanya aku pernah melewatinya. Sering malah. Tapi kapan? Di mana? Kapan aku pernah ke sini? Ataukah aku mengalami deja vu?
                                                                     ***
                “Kenapa? Dari tadi diam sambil mikir gitu.” Ana bertanya padaku dalam perjalanan pulang dari bandara.
                “Deja vu.”
                “Apa?” Suara Ana terdengar heran.
                “Deja vu. Aku mengalami deja vu,” aku berkata pelan.
                “Deja vu apa?”
                “Ah.. sudahlah. Kenapa tadi delay?” Aku mengalihkan pembicaraan.
                Deja vu. Ya. Deja vu.  Kata itu berkeliaran di dalam kepala. Aku masih terus memikirkan jalanan yang kulewati tadi. Pun di rumah sesudah menjemput Ana. Di mana aku pernah melihat hal yang sama seperti ‘pemandangan’ saat perjalanan ke bandara?
                Ingatan itu masih terpikirkan sampai aku tertidur. Warung itu muncul di dalam mimpiku. Alam bawah sadar sialan!
                                                                      ****
                Hari ini aku kembali melewati jalanan sewaktu aku menjemput Ana di bandara. Penasaran. Bangunan dan urutannya tetap sama seperti seminggu lalu. Bedanya, bank yang seminggu lalu  tutup sekarang sudah buka. Aku tak juga bisa memanggil memori tentang urutan bangunan yang mengganggu pikiranku seminggu ini. Termasuk warung itu.
                Baiklah... aku menyerah. Kulewati deretan bangunan itu dengan satu tekad: lupakan saja! Kulayangkan warung tenda yang minggu lalu kosong. Sekarang ada kesibukan di sana. Lotek Ceu Edoh.  Lotek Ceu Edoh! Lotek Ceu Edoh tertulis di kain penutup warung. Tiba-tiba, ingatan yang enggan muncul beberapa hari ini bermunculan.  Seperti air yang keluar dari kran. Mengucur deras.
                Perih. Seiring dengan ingatan yang bermunculan, rasa perih itu muncul menyeruak mengganggu metabolisme mentalku. Sialan! Aku pun kembali menjadi pengumpat.
                                                                     ****
                “Selamat ulang tahun, Vira. Semoga, sehat, banyak rejeki, bahagia terus bersamaku,” Danis menyalamiku.
                “Terima kasih,” aku menyambut uluran tangannya dengan bahagia. Tangan yang sudah bertahun-tahun menjadi penyambung hidupku. Tangan yang memegang harapanku agar ia bisa terus menjadi pendamping hidupku. Belum! Ia belum jadi suamiku. Tapi, tak bisa kupungkiri. Bersamanya, hidupku terasa lengkap. Akan lebih lengkap lagi jika aku bersanding dengannya di depan altar. Sudah sering pikiran itu terlintas tapi kami tak jua membicarakannya dengan serius. Biarlah. Aku tak ingin kehilangan saat-saat bahagiaku bersamanya.
                “Ke tempat biasa?” Danis bertanya padaku. Kuanggukkan kepala. 
                “Let’s go!”
                Kami pun masuk ke dalam mobil dan menuju ‘tempat biasa’. Jangan! Jangan berpikir macam-macam. Tempat biasa kami adalah sebuah warung makan di pinggir jalan di Lembang. Sebelah kanannya terdapat toko bangunan. Sebelah kanannya lagi ada satu kantor desain, dan kemudian bank. Nama kantor desainnnya berbeda, tapi nama bank-nya sama. Warung itu sebuah warung lotek. Rasa loteknya biasa. Tidak sangat enak sehingga kami rela menempuh jarak jauh hanya untuk merayakan ulang tahunku atau ulangtahunnya. Bukan candle light dinner romantis di restoran, ucapan selamat disertai setangkai bunga dan kartu, atau surprise tengah malam. Bukan makan mie seperti orang Cina atau makan sup rumput laut seperti orang Korea. Suatu ‘kebiasaan’ yang tidak biasa untuk merayakan ulang tahun. Ditraktir lotek. Yang menjadikan makan lotek pada ulang tahun kami sebagai sesuatu hal yang istimewa adalah kami berdua. Danis menyatakan cintanya di warung itu 5 tahun lalu. Saat kami sedang kelaparan dan menemukan warung itu dalam perjalanan menuju Gunung Tangkuban Perahu bersama teman-teman satu fakultas. Tidak romantis. Memang! Sangat tidak romantis. Tapi, aku adalah orang yang menurutku paling bahagia pada hari itu.
                Sejak saat itu, setiap kami berulang tahun (aku atau Danis) kami akan ke Lembang, makan di warung itu, dan mengingat kembali awal kami jadian.
                Hari ini genap 6 tahun hubunganku dengannya. Cukup lama. Tapi tetap saja, belum ada dari kami yang membicarakan pernikahan. Biarlah. Toh aku masih menikmati hubungan kami. Begitu pula Danis. Putus nyambung pernah terjadi. Tapi alasannya bukan karena topik ‘pernikahan’.  Lebih banyak karena kecemburuan. Suatu hal yang biasa, kan?
                “Vir, duduk di sini,” Mama memanggilku suatu malam.
                Mendengar nadanya saat ini, aku tahu, yang akan dibicarakan adalah masalah serius. Aku bisa membedakan nada suara mama jika akan membicarakan hal yang serius dan yang tidak. Aku duduk di depan Mama.
                “Apa rencanamu dengan Danis?” Straight to the point. Tanpa basa-basi, Mama bertanya padaku. Aku tidak tahu apa yang akan Danis katakan kalau Mama menanyakannya langsung padanya. Ini saja sudah cukup membuatku gelagapan walaupun sudah mengira sebelumnya.
                “Ee....ee... Belum tahu, Ma.” 
                “Sudah cukup lama kan, kalian pacaran?”
                “Iya.”
                “Untuk apa kalian pacaran kalau tidak untuk menikah?”
                “Kami belum membicarakan tentang itu.”
                “Lalu kapan? Kalian tidak akan menikah?”
                “.......” Aku diam. Belum tahu mau menjawab apa.
                “Vir?”
                “Siapa sih yang nggak ingin menikah, Ma?”
                “Lalu, kapan?”
                “Ma....”
                “Besok, minta Danis datang ke sini. Mama mau bicara.”
                “Bicara apa, Ma?”
                “Mama mau tanya padanya. Serius nggak dia sama kamu.”
                “Seriuslah, Ma.”
                “Kalau serius, kenapa sampai sekarang dia tidak melamar kamu?”
                Aku diam. Tidak tahu harus menjawab apa.
                “Besok, atau tidak sama sekali.”
                “Ma!”
                Mama pergi meninggalkan aku yang masih terdiam di sofa.
                                                                     ****
                “Hai! Belum tidur?” Suara Danis di ujung sana
                “Belum ngantuk. Ehmmm... Dan.....”
                “Kenapa?”
                “Ehmmm... Mama meminta kamu datang besok.”
                “Ada apa?”
                “Ehmmm....” Aku masih menimbang-nimbang. Bicara jujur atau pura-pura tidak tahu.
                “Vir?”
                “Tadi Mama nanya kalau kita serius nggak.”
                “Ya..seriuslah.”
                “Syukurlah kalau begitu.”
                “Kenapa?”
                “Mama tanya, kapan kita nikah,” akhirnya aku katakan juga apa yang Mama tanyakan.
                “......”  Tidak ada suara di ujung sana.
                “Dan!”
                “Ya.”
                “Kamu besok ke sini jam berapa?”
                “Ehm... besok aku ada meeting. Belum tahu sampai jam berapa. Lihat besok saja.”
                Deg! Kenapa Danis menjawab seperti itu? Apakah memang dia tidak punya niat sedikit pun untuk datang menemui Mama? Selama ini, Danis memang jarang ke rumah. Kalau Mama atau Papa mengajak berbincang-bincang, Danis seperti gelisah. Lalu, dia akan mengajakku pergi dari rumah. Aku pernah bertanya padanya tentang hal itu. Segan. Itu jawabnya. Toh kemudian aku tidak pernah mempermasalahkannya. Lebih sering aku yang mengunjungi mamanya daripada Danis mengunjungi keluargaku. Aku kenal dekat mamanya. Bahkan sering beliau memintaku menemaninya belanja.
                “Vir!” Suara di seberang menyadarkanku dari lamunan tentang kami.
                “Ya.”
                “Sudah malam. Tidur!”
                “Oke. Selamat tidur.”
               Kuletakkan ponselku di kasur. Aku masih memikirkan jawaban Danis. Malam itu aku bermimpi. Kami menikah dan.... Danis meninggalkanku di altar.
                “Mimpi sialan!” Aku mengumpat. Kulempar selimut dan pergi ke kamar mandi. Hari ternyata sudah siang.
                                                                     ****
                “Jam berapa Danis ke sini?” Mama bertanya sesampai aku di rumah sepulang kerja.
                “Dia ada meeting, Ma. Belum tahu bisa ke sini atau tidak,” jawabku.
                “Mama akan tunggu sampai dia datang. Tak peduli jam berapa.”
                “Ma!”
                “Kalau dia tidak ke sini hari ini berarti stop.”
                “Apa itu artinya?”
                “Kamu dan dia, end!”
                “Ma!”
                “Berarti dia tidak serius. Tidak usah saja.”
                “Ma!”
                Tiba-tiba aku merasa pusing. Selama hubunganku dengan Danis, tidak pernah aku merasa sepusing ini.
                                                                      ****
                “Dan, jam berapa kamu ke sini?” Aku menelpon Danis.
                “Ini masih meeting, Vir. Bakalan panjang dan masih lama. Tidak bisa ke sana.”
                “Dan, Mama bilang kalau kamu nggak ke sini, kita end.”
                Hening. Tak ada sahutan di seberang sana.
                “Dan!” Aku panggil namanya.
                Masih hening.
                Aku mulai ragu. Seberapa besar cintanya padaku. Aku tidak pernah bertanya.
                “Baiklah.” Akhirnya Danis menyahut.
                “Baiklah apa?”
                “Baiklah kalau itu mau mamamu.”
                “APA?? Apa maksudmu.” Aku kaget mendengar jawabannya.
                “Mamamu ingin kita putus? Ok!”
                “Dan, kenapa pikiranmu sedangkal itu? Mama meminta kamu datang, hanya itu.”
                “Iya. Hanya meminta datang, kemudian menanyakan kapan aku akan melamarmu. Begitu,kan?”
                “Kenapa kamu begitu terganggu dengan pertanyaan itu? Wajar, kan? Sudah lama kita pacaran.”
                Aku mulai meragukan Danis.
                “Aku belum siap. Selama ini kamu tidak pernah mempermasalahkan hal ini. Kenapa sekarang kamu mempermasalahkannya?”
                Tiba-tiba aku merasa asing dengan orang yang menjadi lawan bicaraku. Siapa dia?
                “Jadi, kamu tidak akan datang ke sini?”
                Tidak ada jawaban.
                “Aku harus masuk lagi. Rapat sudah mulai.”
                Dan... keheningan melingkupi sekelilingku.
                Mama akhirnya masuk kamar. Tak ada kata-kata yang keluar dari mulutnya. Aku hanya menangkap ekspresi mukanya. Aku periksa ponselku. Tidak ada panggilan tak terjawab. Tak ada pesan.           Jam berdentang dua belas kali. Hari sudah berganti. 23 Desember. Kulihat ponselku. Idle. Tak ada notifikasi pesan dari media sosial manapun. Danis pun sama sekali tidak menghubungi Mama untuk meminta maaf atau sekedar basa-basi karena kemarin tidak datang. Pukul 23.58. Dua menit lagi hari akan berganti. Selamat ulang tahun, Vira. Aku menyelamati diri sendiri. Hari ini hari ulang tahunku. 23 Desember. Jam di ruang tengah berdentang. Tepat jam 00.00. Hari berganti. Beralih menjadi 24 Desember. Danis tidak mengucapkan selamat ulang tahun. Dia belum menghubungiku sejak aku menelponnya kemarin sore. Aku juga tidak menghubungi dirinya.
                Aku teringat pertanyaanku pada Danis sewaktu aku menelponnya. “Jadi, kamu tidak akan datang ke sini?” Sebenarnya, aku sudah tahu jawabannya sejak kemarin malam Mama masuk ke kamar pada jam 23.30.
                                                                     ****
                Ingatan 2 tahun lalu itu muncul seperti kaleidoskop akhir tahun. Selama 6 tahun aku berpacaran dengan Danis, baru kali itu aku merasa tidak berharga. Ada rasa perih di dadaku. Dan tidak ada lotek pada hari ulang tahunku. Hari ini aku kembali menyusuri jalan itu. Sepertinya sudah otomatis ketika melewati Warung Lotek Ceu Edoh, aku memalingkan wajah ke arahnya. Aku teringat deja vu yang dulu aku kira. Bukan, ternyata bukan deja vu. Hanya pengalaman yang sudah berakar dalam ingatanku kemudian muncul pada keadaan yang mirip dengan pengalaman itu.
                “Vir, Mama mau beli lotek. Kamu mau?” Mama mengagetkanku yang sedang terhanyut oleh kenangan masa lalu.
                “Jangan tawari aku lotek, Mama. Aku benci lotek.”
                Ya. Aku benci lotek. Sejak kapan? Sejak Danis memutuskan untuk tidak datang memenuhi undangan Mama sehari sebelum hari ulang tahunku!

                                                                     ****

#Selamat ulang tahun, Ika.#

No comments:

Post a Comment