14.4.13

'Dilayukan' Sebelum Berkembang

Usia 16 tahun lebih sekian bulan. 
Aku benci sekali ketika bangun di pagi hari ini. Minggu ospek masih berlangsung. Jam masuk sekolah tiba-tiba menjadi sangat pagi. Pukul 5.30 harus sudah di sekolah, tidak  boleh diantar, harus begini, begitu, dan begitulah. Capek! Belum lagi kalau sudah ada perintah dari panitia bahwa para murid baru harus ke aula. Ketahuilah, hai, Kawan! Akulah si murid baru beserta sekian ratus murid baru lainnya. Buatku, kata 'aula' yang sering disebutkan saat itu selalu berasosiasi dengan hal yang buruk. Sungguh buruk. Penuh dengan kecemasan. Ya! Kecemasanku. Aku benci ketika harus ke aula dan tingkat kecemasanku meningkat. Bagaimana tidak, di sana kami semua dibentak-bentak, dimarahi, ah.. pokoknya penyiksaan. Panitia jelas-jelas egois dengan peraturannya yang cuma ada dua pasal itu. Pasal 1 : Panitia tidak pernah salah. Pasal 2: Jika panitia salah, lihat pasal 1. Betul, kan, egois dan otoriter. Menyebalkan! 

Oh.. ternyata oh ternyata, tidak semua panitia yang notabene anak kelas tiga itu semuanya menyebalkan. Satu orang panitia menarik perhatianku. Bukan lelaki dengan tubuh tinggi yang mengikuti kegiatan ekstrakulikuler favorit di sekolah, tapi lelaki agak pendek (lebih tinggi dari aku) bertubuh gempal dengan kulit sawo matang. Entahlah apa yang membuatku menaruh perhatian padanya. Rasa suka kadang-kadang muncul tanpa diminta dan tanpa alasan. Betul? Termasuk rasa sukaku pada Mas Radya. Di sekolahku, adik kelas memanggil kakak kelasnya Mas dan Mbak. Maklum, daerah tempat tinggalku adalah daerah campuran antara Jawa dan Sunda tapi lebih kental Jawa-nya daripada Sunda-nya.

Dua bulan dari saat itu.
Rasa itu semakin kuat. Rasanya senang hanya melihatnya meskipun dari jauh. Serasa melayang ketika ia tersenyum padaku. Terkagum-kagum ketika ia bicara dengan matanya yang berbinar-binar. Menunggu saat-saat ia lewat di depan kelasku. Yang paling membuatku semakin kuat rasa sukanya adalah ketika dalam salah satu acara sekolah ia tampil. Bermain gitar dengan bagusnya. Oh, Tuhan, benar-benar lelaki impianku. Aku selalu memuja siapapun yang bermain gitar dengan apik. Kecuali pengamen jalanan yang menyanyi seadanya hanya karena target utamanya adalah mengumpulkan uang, bukan menghibur penumpang kendaraan umum. Tuhan, baru kali ini aku punya rasa yang kuat terhadap seorang lelaki di masa remajaku.

Tiga bulan setelah itu.
Aku melihat Mas Radya melewati lapangan basket. Jantungku berdebar-debar, mataku terasa (sepertinya) berbinar-binar. Ia tidak berjalan sendiri. Seorang perempuan bertubuh tinggi (melebih Mas Radya) kurus berjalan di sebelahnya. 

     "Itu Mbak Anne, pacarnya Mas Radya." Suara Litha tiba-tiba memecah kesunyian.
     " Oh, itu pacarnya." Aku sepertinya bisa mendapat piala citra. Kenapa? Karena aku menimpali dengan suara tenang sementara genderang bertalu-talu di dadaku. Hebat, kan?
     
     "Iya, katanya, sih, mereka pacaran dari kelas dua. " Litha berkata lagi. Aku belum pernah bercerita pada siapa pun (termasuk Litha) tentang perasaanku. Entahlah apa yang membuatnya menceritakan tentang Mas Radya dan Mbak Anne. Mungkin karena melihat aku memperhatikan mereka. 
     "Oh.." Hanya itu yang keluar dari mulutku.
     "Mbak Anne itu kakaknya Laydia." 
     "Oh.." Kembali aku mengucapkan 'oh'. Laydia adalah teman kami tapi beda kelas. Sama-sama siswa baru di sekolah ini.

Kringg!!! Suara bel masuk membuat kami berbalik badan dan menuju kelas. Saved by the bell.

Aku terus mengagumi. Hanya berani memendam rasa suka karena tahu ia sudah punya pacar. Selama setahun kami satu sekolah, aku beberapa kali melihat ia tampil bermain gitar, sering melihatnya di sekolah, di kegiatan ekstrakulikuler, dan semuanya tertata rapi di hatiku. Ya, hanya di dalam hatiku. Waktu terus berjalan. Rasa sukaku sudah kutiup jah-jauh sejak aku tahu ia sudah punya pacar. Sepuluh tahun kemudian, ketika aku bertemu dengan teman-temanku, aku tahu bahwa Mas Radya sudah menikah dengan Mbak Anne. Tapi, saat itu, rasa sukaku sudah hilang tak berbekas.

No comments:

Post a Comment