“Kamu berubah.”
Suara hening dan suasana temaram di kafe ini dipecahkan oleh
suara Thania. Bau rokok dari luar berhembus ke tempat kami berbicara.
“Kamu
juga, “ jawabku.
Jangan, jangan bayangkan kami, dua perempuan yang sedang
beradu mulut dengan suara tinggi. Apalagi saling menjambak. Kami duduk
berhadapan, dengan taraf suara normal. Kami tidak sedang bertengkar. Bukan juga
dua kawan yang sudah lama tidak bertemu. Kami berdua setiap hari bertemu karena
bekerja di tempat yang sama. Hanya sekarang-sekarang ini kami memang mulai
jarang saling bercerita.
“Berubah
apanya?” aku bertanya pada Thania.
“Dulu,
kalau aku bercerita, kamu akan memberikan komentar dengan tenang. Akhir-akhir
ini, waktu aku cerita padamu, tanggapanmu berbeda. Agak keras, “ Thania
menjelaskan padaku. Aku termenung, mencoba mengingat-ingat apa saja topik yang
belakangan aku bicarakan dengan Thania. Aha..dua topik terakhir yang kami
bicarakan adalah tentang ketidakhadiran Thania pada suatu acara dan masalah
dalam divisi Thania. Ya, kami memang berbeda divisi.
“Oh,
yang itu, ya.” Aku tidak menjelaskan tentang yang ‘itu’ tapi Thania mengiyakan.
Sepertinya kami memikirkan hal yang sama. “Hal itulah yang membuatku mengatakan
kamu berubah, Thania,” aku melanjutkan. Thania terdiam, seakan menunggu
melanjutkan berbicara. Aku pun melanjutkan.
“Thania
yang aku tahu adalah Thania yang bertanggung jawab. Ketika aku tahu kamu bolos
pada saat acara itu padahal kamu penanggung jawabnya, aku merasa kamu bukan
Thania yang aku kenal, “ aku mulai berbicara lagi. Thania tercenung. Entah apa
yang dipikirkannya. Apakah ia setuju atau tidak dengan pendapatku, aku tidak
tahu.
“ Saat itu, aku merasa bahwa masalah yang sedang menimpamu benar-benar berat dan mungkin kamu sudah tidak
mampu menahannya sehingga akhirnya kamu memutuskan untuk tidak datang pada
acara itu,” aku berhenti. Thania masih termenung. Ia memotong steak-nya dan menusukkan garpu pada
potongan steak itu. Di luar, hari
sudah semakin gelap. Aku menunggu Thania berbicara. Tapi, ia tak kunjung
bersuara. Jadi, aku bersuara lagi.
“Maafkan aku yang sudah berkata ‘pedas’.
Aku ingat aku mengatakan bahwa setiap orang penah melakukan kebodohan. Mungkin kata-kata
itu juga yang membuatmu kaget, Thania. Mungkin kamu berbeda pendapat. Sungguh,
aku tidak pernah punya maksud untuk menyakitimu. Aku hanya merasa peduli
padamu. Jika kamu lupa, aku berusaha menyadarkanmu. Sebagai temanmu, aku
berusaha untuk membantumu keluar dari masalah yang menekanmu. Jangan kau pendam
sendiri masalahmu. Kamu butuh melepaskan segala unek-unek yang kau rasakan.
Sepertinya kamu benar-benar mengalami masa-masa sulit. “ Thania masih diam. Apakah
ia marah? Ataukah ia sedang merenungkan ucapanku? Aku sama sekali tidak tahu.
“Ya, mungkin keputusanku salah
waktu itu, “ akhirnya aku mendengar suara Thania. Syukurlah, dalam hati aku bersyukur mendengar suaranya.
“Satu lagi, masalah yang kita
bicarakan di lab. Aku tidak bermaksud untuk berkata keras padamu. Mungkin kekesalan
mendorongku bernada agak keras. Melihat permasalahan itu, aku hanya melihat
adanya kesalahpahaman. Itulah yang membuat aku kesal. Maafkan aku, “ aku
memandang Thania yang sekarang sedang meminum jus-nya. Aku mengambil ice cappucino dan meminumnya. Kuambil
pisau dan mulai memotong steak. Kami berdua
sama-sama diam. Bau rokok kembali menyebar di ruangan ini.
“Than, jangan kau pendam sendiri masalahmu. Kamu
butuh keluar dari rutinitas. Itu yang menekanmu,” untuk kesekian kalinya aku
mengajaknya untuk ‘keluar’ dari kungkungan tembok-tembok rutinitas. Ia masih
tetap terdiam. Ada apa dengan Thania? Kenapa ia jadi pendiam sekali.
“Kei, kamu berubah, tapi kamu tetap
temanku, “ suara Thania memecah keheningan kami.
Aku tersenyum. Kuhabiskan steak. Hari semakin malam. Aku dan Thania keluar. Senang atau
tidak, setiap manusia mungkin akan mengalami perubahan. Life is not flat. Thania, aku
peduli padamu, bisikku saat kami berpisah. Aku ingin bertemu Thania yang dulu. Bagilah masalahmu. Jangan kau pendam sendiri. Apakah kamu ingin bertemu Keisha
yang dulu juga? Aku mulai melangkah pergi, meninggalkan kafe yang sering
kami datangi.
Bandung,
Minggu pagi.
Minggu pagi.
No comments:
Post a Comment