28.4.13

Di Kafe, Suatu Sore

           “Kamu berubah.”
Suara hening dan suasana temaram di kafe ini dipecahkan oleh suara Thania. Bau rokok dari luar berhembus ke tempat kami berbicara.
            “Kamu juga, “ jawabku.
Jangan, jangan bayangkan kami, dua perempuan yang sedang beradu mulut dengan suara tinggi. Apalagi saling menjambak. Kami duduk berhadapan, dengan taraf suara normal. Kami tidak sedang bertengkar. Bukan juga dua kawan yang sudah lama tidak bertemu. Kami berdua setiap hari bertemu karena bekerja di tempat yang sama. Hanya sekarang-sekarang ini kami memang mulai jarang saling bercerita.
            “Berubah apanya?” aku bertanya pada Thania.
            “Dulu, kalau aku bercerita, kamu akan memberikan komentar dengan tenang. Akhir-akhir ini, waktu aku cerita padamu, tanggapanmu berbeda. Agak keras, “ Thania menjelaskan padaku. Aku termenung, mencoba mengingat-ingat apa saja topik yang belakangan aku bicarakan dengan Thania. Aha..dua topik terakhir yang kami bicarakan adalah tentang ketidakhadiran Thania pada suatu acara dan masalah dalam divisi Thania. Ya, kami memang berbeda divisi.
           “Oh, yang itu, ya.” Aku tidak menjelaskan tentang yang ‘itu’ tapi Thania mengiyakan. Sepertinya kami memikirkan hal yang sama. “Hal itulah yang membuatku mengatakan kamu berubah, Thania,” aku melanjutkan. Thania terdiam, seakan menunggu melanjutkan berbicara. Aku pun melanjutkan.
           “Thania yang aku tahu adalah Thania yang bertanggung jawab. Ketika aku tahu kamu bolos pada saat acara itu padahal kamu penanggung jawabnya, aku merasa kamu bukan Thania yang aku kenal, “ aku mulai berbicara lagi. Thania tercenung. Entah apa yang dipikirkannya. Apakah ia setuju atau tidak dengan pendapatku, aku tidak tahu.
 “ Saat itu, aku merasa bahwa masalah yang sedang menimpamu benar-benar berat dan mungkin kamu sudah tidak mampu menahannya sehingga akhirnya kamu memutuskan untuk tidak datang pada acara itu,” aku berhenti. Thania masih termenung. Ia memotong steak-nya dan menusukkan garpu pada potongan steak itu. Di luar, hari sudah semakin gelap. Aku menunggu Thania berbicara. Tapi, ia tak kunjung bersuara. Jadi, aku bersuara lagi.
“Maafkan aku yang sudah berkata ‘pedas’. Aku ingat aku mengatakan bahwa setiap orang penah melakukan kebodohan. Mungkin kata-kata itu juga yang membuatmu kaget, Thania. Mungkin kamu berbeda pendapat. Sungguh, aku tidak pernah punya maksud untuk menyakitimu. Aku hanya merasa peduli padamu. Jika kamu lupa, aku berusaha menyadarkanmu. Sebagai temanmu, aku berusaha untuk membantumu keluar dari masalah yang menekanmu. Jangan kau pendam sendiri masalahmu. Kamu butuh melepaskan segala unek-unek yang kau rasakan. Sepertinya kamu benar-benar mengalami masa-masa sulit. “ Thania masih diam. Apakah ia marah? Ataukah ia sedang merenungkan ucapanku? Aku sama sekali tidak tahu.
“Ya, mungkin keputusanku salah waktu itu, “ akhirnya aku mendengar suara Thania. Syukurlah, dalam hati aku bersyukur mendengar suaranya.
“Satu lagi, masalah yang kita bicarakan di lab. Aku tidak bermaksud untuk berkata keras padamu. Mungkin kekesalan mendorongku bernada agak keras. Melihat permasalahan itu, aku hanya melihat adanya kesalahpahaman. Itulah yang membuat aku kesal. Maafkan aku, “ aku memandang Thania yang sekarang sedang meminum jus-nya. Aku mengambil ice cappucino dan meminumnya. Kuambil pisau dan mulai memotong steak. Kami berdua sama-sama diam. Bau rokok kembali menyebar di ruangan ini.
 “Than, jangan kau pendam sendiri masalahmu. Kamu butuh keluar dari rutinitas. Itu yang menekanmu,” untuk kesekian kalinya aku mengajaknya untuk ‘keluar’ dari kungkungan tembok-tembok rutinitas. Ia masih tetap terdiam. Ada apa dengan Thania? Kenapa ia jadi pendiam sekali.
“Kei, kamu berubah, tapi kamu tetap temanku, “ suara Thania memecah keheningan kami.

Aku tersenyum. Kuhabiskan steak. Hari semakin malam. Aku dan Thania keluar. Senang atau tidak, setiap manusia mungkin akan mengalami perubahan. Life is not flat. Thania, aku peduli padamu, bisikku saat kami berpisah. Aku ingin bertemu Thania yang dulu. Bagilah masalahmu. Jangan kau pendam sendiri. Apakah kamu ingin bertemu Keisha yang dulu juga? Aku mulai melangkah pergi, meninggalkan kafe yang sering kami datangi.

Bandung, 
Minggu pagi.

No comments:

Post a Comment