Aku berada di pesawat dari Denpasar menuju Jakarta. Setelah mendengar
berita kecelakaan Lion Air kemarin sore, aku sedikit was-was untuk naik pesawat.
Ditambah lagi dengan hujan lebat yang mengguyur kota ini disertai angin dan
guntur yang menggelegar sejak subuh.Untunglah, sampai di bandara Ngurah Rai hujan
reda. Mendung masih menggantung. Mudah-mudahan
perjalanan lancar sampai tujuan, gumamku dalam hati. Tak ada delay untuk penerbanganku. Syukurlah. Kalau
delay, rencanaku bubar semua.
Pilot
sudah memberitahukan bahwa sebentar lagi pesawat take off. Jadi para penumpang diminta untuk mengencangkan sabuk
pengaman dan mematikan ponsel. Penumpang di sebelahku mulai berdoa. Ah..buat apa berdoa, pikirku. Kuambil majalah
dan mulai membaca. Pesawat mulai terbang
dan melayang di udara. Cuaca masih mendung. Pesawat agak berguncang-guncang. Orang di
sebelahku semakin khusyu berdoa. Untuk apa
berdoa seperti itu? Pastilah selamat.
Sekarang kan sudah canggih, kataku dalam hati.
Orang di sebelahku sudah
melepaskan seat belt-nya. Lho.. tandanya
kan masih menyala. Aku ingin memberitahukannya tapi lidahku kelu. Tidak ada
satu pun kata keluar dari mulut ini. Lima belas menit sejak take off, tanda seat belt masih menyala. Aku melirik bangku depan dan sebelah kanan
gang kursi penumpang. Kenapa tanda seat
belt mereka sudah mati? Orang yang berada di sebelah kananku sudah membaca
buku. Bahkan orang yang berada di sebelahnya lagi sudah berdiri dan berjalan
menuju toilet. Awak pesawat sudah membawa-bawa troli makanan.
Kenapa tanda seat belt
di depanku masih menyala? Kenapa hanya punyaku? Kurasakan guncangan pesawat. Di
luar langit masih mendung. Aku melihat keadaan di dalam pesawat. Semua berjalan
seperti tidak ada apa-apa. Tapi mengapa aku merasakan guncangan begitu keras? Akhirnya aku memutuskan untuk berdoa, kegiatan yang tadi kucemooh. Tapi tak satu pun doa kuingat. Sudah lama aku tidak berdoa. Aku mulai cemas. Aku membayangkan jika
pesawat ini jatuh, sudah pastilah aku hancur. Aku mengumpulkan ingatanku. Ingatan
tentang doa-doa dan ayat-ayat suci yang pernah aku baca dan hafalkan. Dulu,
dulu sekali ketika aku kecil. Ya Allah, tidak ada yang kuingat sedikitpun. Aku pejamkan
mataku. Konsentrasi Renata, konsentrasi. Kamu
pasti bisa, kumotivasi diri sendiri. Keringat mulai bercucuran. Kecemasan semakin
meningkat. Guncangan tak sekalipun mereda. Bahkan semakin keras. Aku tidak
berhasil memanggil kembali ingatanku tentang doa-doa dan ayat-ayat suci. Aku pasrah.
Kusebut-sebut nama Tuhanku. Ya, hanya nama Tuhanku yang aku ingat. Aku mulai
menangis. Ada ketakutan yang amat sangat. Kusebut-sebut nama Tuhan, pencipta
diriku dan alam semesta. Aku menangis karena terbayang dosa-dosaku. Betapa aku
selama ini melupakan diri-Nya.
Pasrah. Sekarang aku pasrah. Apa pun yang
terjadi, kuserahkan hidupku pada-Nya. Ketenangan mulai kurasakan. Kulihat
sekeliling. Tidak ada keanehan, kepanikan, kecemasan. Semua tenang. Kenapa hanya
aku saja yang merasakan? Kupejamkan mataku. Kusebut nama Allah. Guncangan kurasakan mulai berkurang. Pesawat tenang kembali. Kubuka mataku. Matahari
mulai muncul di balik awan. Aku mengucap syukur tak henti-hentinya. Kuusap air
mataku. Ya Allah, apa yang terjadi denganku? Kuedarkan pandangan. Semua berjalan
seperti biasa. Tenang. Orang-orang dengan aktivitasnya masing-masing. Awak pesawat masih berkeliling menawarkan makanan dan mengantarkan pesanan. Apa yang terjadi
padaku? Aku tidak mengerti apa yang terjadi. Namun, aku mengerti bahwa aku tidak bisa melawan Tuhan.
No comments:
Post a Comment