5.5.13

Pesawat

Aku berada di pesawat dari Denpasar menuju Jakarta. Setelah mendengar berita kecelakaan Lion Air kemarin sore, aku sedikit was-was untuk naik pesawat. Ditambah lagi dengan hujan lebat yang mengguyur kota ini disertai angin dan guntur yang menggelegar sejak subuh.Untunglah, sampai di bandara Ngurah Rai hujan reda. Mendung masih menggantung. Mudah-mudahan perjalanan lancar sampai tujuan, gumamku dalam hati. Tak ada delay untuk penerbanganku. Syukurlah. Kalau delay, rencanaku bubar semua.

Pilot sudah memberitahukan bahwa sebentar lagi pesawat take off. Jadi para penumpang diminta untuk mengencangkan sabuk pengaman dan mematikan ponsel. Penumpang di sebelahku mulai berdoa. Ah..buat apa berdoa, pikirku. Kuambil majalah dan mulai membaca. Pesawat mulai terbang dan melayang di udara. Cuaca masih mendung. Pesawat agak berguncang-guncang. Orang di sebelahku semakin khusyu berdoa. Untuk apa berdoa seperti itu? Pastilah selamat. Sekarang kan sudah canggih, kataku dalam hati. 

Orang di sebelahku sudah melepaskan seat belt-nya. Lho.. tandanya kan masih menyala. Aku ingin memberitahukannya tapi lidahku kelu. Tidak ada satu pun kata keluar dari mulut ini. Lima belas menit sejak take off, tanda seat belt masih menyala. Aku melirik bangku depan dan sebelah kanan gang kursi penumpang. Kenapa tanda seat belt mereka sudah mati? Orang yang berada di sebelah kananku sudah membaca buku. Bahkan orang yang berada di sebelahnya lagi sudah berdiri dan berjalan menuju toilet. Awak pesawat sudah membawa-bawa troli makanan.

Kenapa tanda seat belt di depanku masih menyala? Kenapa hanya punyaku? Kurasakan guncangan pesawat. Di luar langit masih mendung. Aku melihat keadaan di dalam pesawat. Semua berjalan seperti tidak ada apa-apa. Tapi mengapa aku merasakan guncangan begitu keras? Akhirnya aku memutuskan untuk berdoa, kegiatan yang tadi kucemooh. Tapi tak satu pun doa kuingat. Sudah lama aku tidak berdoa. Aku mulai cemas. Aku membayangkan jika pesawat ini jatuh, sudah pastilah aku hancur. Aku mengumpulkan ingatanku. Ingatan tentang doa-doa dan ayat-ayat suci yang pernah aku baca dan hafalkan. Dulu, dulu sekali ketika aku kecil. Ya Allah, tidak ada yang kuingat sedikitpun. Aku pejamkan mataku. Konsentrasi Renata, konsentrasi. Kamu pasti bisa, kumotivasi diri sendiri. Keringat mulai bercucuran. Kecemasan semakin meningkat. Guncangan tak sekalipun mereda. Bahkan semakin keras. Aku tidak berhasil memanggil kembali ingatanku tentang doa-doa dan ayat-ayat suci. Aku pasrah. Kusebut-sebut nama Tuhanku. Ya, hanya nama Tuhanku yang aku ingat. Aku mulai menangis. Ada ketakutan yang amat sangat. Kusebut-sebut nama Tuhan, pencipta diriku dan alam semesta. Aku menangis karena terbayang dosa-dosaku. Betapa aku selama ini melupakan diri-Nya. 

Pasrah. Sekarang aku pasrah. Apa pun yang terjadi, kuserahkan hidupku pada-Nya. Ketenangan mulai kurasakan. Kulihat sekeliling. Tidak ada keanehan, kepanikan, kecemasan. Semua tenang. Kenapa hanya aku saja yang merasakan? Kupejamkan mataku. Kusebut nama Allah. Guncangan kurasakan mulai berkurang. Pesawat tenang kembali. Kubuka mataku. Matahari mulai muncul di balik awan. Aku mengucap syukur tak henti-hentinya. Kuusap air mataku. Ya Allah, apa yang terjadi denganku? Kuedarkan pandangan. Semua berjalan seperti biasa. Tenang. Orang-orang dengan aktivitasnya masing-masing. Awak pesawat masih berkeliling menawarkan makanan dan mengantarkan pesanan. Apa yang terjadi padaku? Aku tidak mengerti apa yang terjadi. Namun, aku mengerti bahwa aku tidak bisa melawan Tuhan.

No comments:

Post a Comment